Pages

Saturday, June 23, 2018

Bagai dua sisi mata uang

Apakah kita berbahagia dengan jalan hidup yang kita pilih?

Bahagia itu kita yang rasa, kita yang mengusahkannya, kita menemukannya, kita yang menghadirkannya.

Berbagi kebahagiaan tetapi bukan memamerkan kebahagiaan. Karena memamerkan itu sejatinya semu, kadang memunculkan riak-riak energi negatif yang baru. Apa yang didapatkan manusia dari memamerkan setiap perjalanan hidupnya? Apa yang didapatkan dari kita yang menampilkan semua sisi kehidupan kita? Likes di kanal media sosial kita? Puluhan, ratusan orang mengagumi kita? Pujian semu yang menyanjung ini anu itu?
Kita mencari apa? Pengakuan dari sesama manusia? Semu, semuanya semu.

Apakah kita berbahagia? Tidak perlu menunjukkannya, berbagilah dengan menebarkan energi positif kepada sesama. Terpusatlah pada mereka yang menyayangi kita, yang membutuhkan uluran tangan & kasih sayang dari kita. Bukan memusatkan pada masa lalu, pada mereka yang membuat kita kecewa. Karena sejatinya, hal-hal yang kita anggap sakit itu, yang membuat kita kecewa dan marah itu, berperan jua dalam perjalanan pendewasaan diri kita. Berperan jua dalam membentuk jati diri kita, menajamkan naluri, menguatkan nyali menapaki hidup ini di kemudian hari.

Ironi

Waktu terus berlalu, hari berganti, yang pergi telah pergi, tahun berganti. Tetapi hati tetap sulit memaafkan masa lalu, begitu benci menerima kekurangan manusia yang lainnya. Ada banyak hal yang bisa saja berjalan tidak seperti apa yang kita inginkan, apakah kita berhenti berjalan, memutuskan untuk tidak berbahagia dengan apa yang telah Allah berikan, amanahkan, percayakan pada kita saat ini? Ironi bukan, menggelikan sekaligus menyedihkan.

Ketika banyak manusia lainnya berjalan, menengadahkan kepala, menarik nafas, menghembuskannya dengan ikhlas, menengok sesekali ke belakang, melongok pada masa lalu. Yang putih, biru, abu-abu, yang hitam, kemudian berjalan dengan tenang, bahagia, memaafkan, sesekali mengingat untuk menertawai kemudian tersenyum pergi.

Di sini, kita masih tergopoh-gopoh, terengah-engah, sulit bernafas, begitu mengingat masa lalu yang kelabu. Perasaan kecewa, merasa dihianati oleh sesama manusia, manusia yang kita anggap sempurna, padahal sejatinya mereka, aku, kamu, kita ditetapkan sebagai hamba yang berkeluh kesah, pelupa dan penuh alpa.

Di titik ini, kita terus menerus tenggelam dalam marah, kecewa yang tak berkesudahan selama bertahun-tahun lamanya. Menghabiskan waktu yang Allah berikan pada kita untuk terus kecewa pada manusia. Menaruh simpati pada manusia, maka bersiaplah untuk kecewa.

Belajarlah memaafkan masa lalu, berjalanlah dengan riang, langkah kan kaki mu dengan ringan. Bahagia itu kita yang hadirkan, kita yang rasakan. Bersyukurlah pada takdir yang Allah tetapkan. Karena setiap jalan hidup manusia tidak pernah sama. Karena jodoh kita, itulah yang insya Allah terbaik untuk kita, yang bisa menerima kita apa adanya.

Aku berbahagia insya Allah, atas izin Nya, atas takdir Nya, atas masa lalu, masa kini dan masa depan yang digariskan oleh Nya.

Terima kasih untuk masa lalu, bukan untuk disesali, tetapi jadi pelajaran untuk diri. Apa yang sudah terjadi, waktu tidak dapat diputar kembali, Allah Yang Maha Mengetahui betapa diri ini mencintai Nya berpasrah diri terhadap ketentuannya.

Memaafkan

Semoga Allah melapangkan hati memudahkan jalan hidayah Nya untuk menyentuh hati