menghela nafas panjang
seorang wanita yang duduk mengamati kelap-kelip layar netbooknya yang menemani sekaligus menebarkan radiasi dalam skala kecil dari hari ke hari.
kembali menghela nafas panjang, seperti orang yang sedang mengalami kesusahan.
wanita itu atau anak perempuan ini, tinggal di dalam sebuah kamar berukuran 4 x 4 meter. Dengan berbalut dinding tipis yang ketika panas maka dia akan kepanasan, ketika dingin dia akan menggigil kedinginan.
ketika hujan? maka suara hujan akan begitu nyaring terdengar. seperti sebuah tong kosong yang dilempari dengan batu kerikil. Kecil memang, tetapi dengan intensitas yang tinggi, dapat membuat yang tertidur jadi tidak ingin tidur, meskipun saat itu cuaca sedang mendung mendukung, dan udara saat itu sedang sejuk bertiup.
anak perempuan itu tinggal di sebuah kamar kecil yang lantainya terbuat dari kayu, yang memuai ketika panas, yang menghasilkan bunyi derit "ngikkkk, ngeeeekk" setiap kali dia menapakkan kakinya tepat di bagian lantai yang tidak rata permukaannya. Dan aku sudah katakan, anak perempuan itu tinggal di kamar yang berdinding tipis bukan? yang bahkan bisa mendengar tangis anak lelaki yang berteriak-teriak karena ibunya belum juga menongolkan wajahnya ke kamar mandi, untuk mencuci *maaf pantatnya yang baru saja selesai dari buang hajat.
dan anak perempuan itu bahkan dapat mendengar "curhat" seorang suami kepada istrinya. Dan bahkan anak perempuan itu dapat mendengar suara gadis remaja, kelas 1 SMA yang berteriak-teriak kepada neneknya atau pamannya. Untuk terakhir kalinya, dari dinding kamar yang tipis itu pula, anak perempuan itu dapat mendengar seorang lelaki tua, renta, "abah" begitu anak perempuan itu menyebutnya, membawakan ayat-ayat suci Al Quran, dengan cara yang lama, lambat, berat, tepat setiap habis maghrib dan selepas isya.
"hhhhhh, menyenangkan" begitu ujarnya suatu ketika
anak perempuan itu mengusap-usap matanya. Ia tidak belia, tidak juga tua. Dewasa? dari sisi usia? atau prilakunya? entah lah aku tak tahu. Aku hanya salah satu dari sekian banyak makhluk Tuhan yang diberikan kesempatan untuk berada di dunia. Menerangi dengan bantuan cahaya matahari, karena aku tidak dapat berdiri sendiri. Lalu, siapakah aku? ya, aku tahu, kita tidak sedang bermain "kuis siapa dia" yang dibawakan oleh Aom kusman, yang sudah meninggal beberapa waktu yang lalu.
"flying to the moon" sekarang, kamu sudah mengenal aku?
ya aku bulan, yang nampak jauh dari keindahan, tapi begitu dingin, gelap, lembab, tak mulus begitu kamu mendekat, melihat dengan lekat.
anak perempuan itu menguap, pukul 21.31 malam. Dia masih terjaga, jari-jemarinya menekan tuts keyboard netbooknya. Dia mulai menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya mungkin tidak gatal, sembari menahan mulutnya agar tidak terbuka ketika rasa kantuk melanda.
sesat, beberapa waktu yang lalu, anak perempuan itu menangis tersedu. Anak perempuan itu terkadang ingin seperti manusia yang lainnya, teman-teman sebayanya. Tetapi, dia berada pada garis hidup yang berbeda. Berhentilah tangisnya seketika, dia sibuk membenahi setiap letak barang-barang yang ada di dalam kamar kecilnya.
Sembari sesekali menitikkan air mata, ketika dia mulai teringat dengan ibu dan bapaknya di desa, jauh di sana. Sembari menyeka air matanya, ketika dia teringat pada suatu pagi, melihat seorang lelaki muda, seorang mahasiswa, yang berjalan di depannya, tergesa-gesa, terseok-seok, menahankan sepatu sebelah kirinya, yang sudah lepas alasnya, yang memaksa lelaki muda itu berjalan dengan menggeser kakinya, agar tak semakin terbuka lubang di dasar sepatunya.
anak perempuan itu terus saja menangis, ketika melihat seorang tukang strika, janda, yang memakan 3 bungkus kue sekedar untuk menahan lapar, karena si majikan belum membelikan apa-apa untuk makan siangnya.
dan ketika anak perempuan itu melayangkan pandangan matanya berkeliling ke setiap sudut kamarnya, dia terdiam, menghitung berapa jumlah pakaian yang tergantung, yang terlipat, yang tersimpan di dalam lemarinya, di kamar ini, dan di rumahnya, di desa.
"hhhhhhh" dia menghela nafas panjang
"hhhhhh" kembali menghela nafas panjang
"apa yang kamu pikirkan?" begitu aku bertanya
"aku menghitung berapa banyak yang harus aku pertanggungjawabkan" jawab anak perempuan itu
"tanggung jawab apa? pada siapa?" tanyaku tak mengerti
"semua yang aku punya"
"pertanggungan jawab pada Dia, Allah azza wajalla" begitu jawabnya
aku terdiam, aku tak mengerti apa yang sedang ia pikirkan. Pertanggungjawab-an apa? semua yang dia punya? memangnya dia memiliki apa? yang aku tahu, dia tidak memiliki apa-apa. Rumah, kendaraan, harta benda? dia tidak memiliki itu semua.
"maaf, tapi aku tak mengerti" ujarku
"hhhhhhh" anak perempuan itu kembali menghela nafas panjang
dia menjatuhkan tubuhnya tepat ke atas kasur busa. Menatap langit-langit kamarnya, lalu
"itu, kamu lihat tumpukan pakaian yang belum sempat aku strika"
begitu jawabnya tanpa melihat, dia mengarahkan telunjuknya ke arah kiri.
aku mengangguk
"itu, kamu liat juga kan, berapa yang digantung?" katanya
aku kembali mengangguk
"di dalem lemari, kamu juga liat kan" katanya
aku kembali mengangguk
"yang di rumah, di desa, kamu juga tau kan" begitu ujarnya
aku kembali mengangguk
"hhhhh" dia kembali menghela nafas panjang. Dia menutup kedua matanya, dengan kedua telapak tangannya. Lalu.......
"rasulullah aja, waktu meninggal, cuma punya beberapa helai pakaian" begitu lanjutnya
"terus, katanya, setiap apa yang kita punya, nanti diminta pertanggungjawabannya. Dari mana asalnya, untuk apa, semuanya, semuanya ditanya" begitu tambahnya
"terus, semakin banyak yang kita punya, semakin lama kita dihisabnya, semakin banyak ditanyanya" begitu jawabnya
"hhhhh" dia kembali menghela nafas panjang
"sekarang kamu tau kan, aku ini kenapa?" ujar perempuan itu
aku kembali mengangguk.
aku temani dia dengan pantulan cahaya, bukan dari aku, tetapi dengan bantuan sinar matahari yang sedang menerangi bagian yang lain dari bumi ini.
perempuan itu tetap menutupi kedua matanya, sembari berkata
"aku belum bisa berbuat apa-apa. Aku merasa tersindir ketika membaca sebuah tulisan yang berkata -jangan cuma bisa 'ngritik' atau mikir tapi gak kreatif-. Aku merasa, aku seperti itu 'Lan" ujar perempuan itu.
"aku merasa sedih, melihat seorang lelaki, pergi menuntut ilmu, dengan sepatu yang sudah rusak alasnya. kamu tau, dia terseok-seok, susah payah menahan supaya dapat berjalan dengan sepatunya itu. Sementara aku? kamu tau kan ada berapa jumlah sepatu ku?".
"aku merasa ingin menangis, melihat seorang janda, hampir setengah abad, makan keripik untuk menahankan rasa laparnya".
"dan aku cuma bisa terdiam, ketika melihat seorang anak remaja, kusut, lusuh, duduk di depan pagar sembari makan biskuit, yang entah dia dapatkan darimana"
"dan aku merasa malu, karena -ketidak syukuranku- sekali waktu atas apa yang sudah Dia berikan padaku"
"dan aku cuma bisa menangis, kamu tau 'Lan, aku cuma bisa menangis. Ketika semua yang enak tidak berpihak pada orang miskin, tidak berpihak pada orang yang lemah".
"aku seperti berteriak-teriak sendiri tanpa ada yang mendengar 'Lan. Kepada penguasa negeri ini, kepada orang-orang kaya, kepada pejabat-pejabat yang berpendidikan tapi tidak ada satupun dari mereka yang mendengarkan teriakan ku. Mereka seperti tuli, mereka seperti buta melihat saudara-saudara mereka yang tidak mampu".
"mereka seperti seolah-olah enggak tau, seperti enggak melihat, di kiri dan kanan mereka yang cuma bisa makan dengan -kerak nasi-, yang hanya bisa makan dengan tempe, yang hanya bisa makan nasi 1 hari sekali. Kemana hati nurani mereka pergi 'Lan".
"dan sampai kering tenggorokanku, mengata-ngatai mereka yang tega menghisap darah saudaranya sendiri. Bagaimana bisa mereka menelan apa yang bukan hak mereka 'Lan? apa tidak cukup dengan rumah mewah, fasilitas serba ada, masih juga ingin mengambil yang bukan milik mereka, masih juga tak henti-hentinya mencari selah untuk mengkorupsi uang 1000 rupiah milik saudara mereka sendiri".
anak perempuan itu terdiam, dia tidak menangis, dia terlalu lelah untuk menangis, dia terlalu malu untuk menangis, dia hanya dapat
"hhhhhhh" menghela nafas, menarik nafas sedalam-dalamnya, karena hanya itu yang tersisa dari negeri ini, yang gratis, tak berbayar, yang dapat dinikmati oleh semua makhluk Nya tanpa memandang strata, usia, status dan kedudukan atau ras bangsanya.
"hhhhh" dia menarik nafas panjang, berat
untuk semua pertanyaan yang tak pernah ada jawabnya, atau sama saja jawabnya.
untuk semua kebuntuan yang belum ia temukan jalan keluarnya
untuk semua cita-cita, keinginan yang ada di dalam kepalanya, yang masih terpenjara, terkekang, terkurung oleh pikirannya tentang "keterbatasan, keberanian, kegagalan, kesombongan"
anak perempuan itu, beristirahat di dalam pikirannya, di dalam pejam-an kedua matanya
"selamat malam bulan" katanya
"selamat malam anak manusia" begitu jawabku