Pages

Monday, October 10, 2011

cerita tentang manusia, cerita yang tua

Lihat bagaimana rasa kenyang bisa mematikan hati, akal dan pikiran.
Saya terjebak dengan bertumpuk-tumpuk makanan siap makan. Dengan beberapa bungkus makanan yang tidak lagi bisa dimakan untuk beberapa hari ke depan. Lihat, lihat lah bagaimana rasa kenyang itu bisa membuat manusia seperti aku, terjebak dalam rasa malas yang terkadang membebaniku dengan bujuk rayunya, dengan tarian-tarian erotisnya yang mengingatkan aku tentang betapa "nikmatnya bergulat dengan kasur empuk itu"

Sial, kenapa harus pula keluar kata "sial" itu, ah anggap saja sebagai bentuk aktualisasi diri. Sebagai ujud dari keinginan untuk dianggap -wah-, meskipun tidak jelas dengan benar, -wah- dari segi apa. Mungkin saja sisi kegelapan yang sedang ingin muncul, yang kemudian diwakilkan dengan kata -sial-.
Baiklah para pembaca dunia maya sekalian, mari hentikan omong kosong tentang aku, yang merupakan manusia sebagian, manusia yang belum juga lengkap otaknya secara implisit. 
Ingin sedikit bercerita tentang profesi memalukan yang semakin lama semakin marak di Indonesia. Profesi ini menjadi sebuah keniscayaan, lahir dari apa yang kita sebut dengan -KEMALASAN-. Muncul ke permukaan sebagai akibat dari hilangnya rasa malu, putusnya urat syaraf malu dari manusia-manusia yang katanya -penghuni- asli bumi ini, penguasa dunia, yah setidaknya begitulah asumsi saya saat ini. 

Profesi ini menjadi bisnis, bisnis yang menguntungkan. Semakin marak karena tingkat pertumbuhan ekonomi yang kian menjanjikan. Bisnis dan profesi ini memiliki target dan segmen pasar tersendiri. Dengan menyerang rasa iba manusia, dengan mengandalkan rasa belas kasih yang tertanam sejak lahir pada setiap diri anak adam dan hawa. Dengan memposisikan diri seolah-olah sebagai manusia paling menderita dari pada pelanggannya, maka bisnis ini semakin berkembang pesat saja di bumi Indonesia.

This boy, hiding his cellphone from me using his right hand. He is a beggar
MENGEMIS - PENGEMIS - beggar

Dengan omset luar biasa, mari kita asumsikan si -acep- beroperasi dari pkl 7 pagi sampai pkl 9 malam. Di wilayah padat merayap dengan tingkat populasi pejalan kaki, pengendara kendaraan roda dua dan empat yang apabila dikalkulasikan bisa mencapai 1 juta orang setiap harinya. Berasumsi lagi yang beriba memberikan dia uang sekitar 300 - 500 orang setiap harinya. Dengan kisaran -receh- yang didapatkan Rp 300 - Rp 1000 / harinya. Silahkan menghitung berapa omset yang -acep- dapatkan setiap harinya, minimal acep bisa mendapatkan Rp 90.000/hari dan maksimal Rp. 500.000/ hari. Lalu asumsikan dia beroperasi setiap hari selama 1 bulan, jadi jumlah penghasilan si acep, maksimal adalah Rp @#$%^&&& (silahkan hitung sendiri).

Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Bayangkan atau tak perlu bayangkan, karena bahkan pengemis pun memiliki ponsel genggam di tangannya. Bahkan pengemis pun memiliki strategi di dalam usahanya. Bahka secara tidak sadar, mengaplikasikan operasi managemen di dalam waktu efektif kerjanya. 

Ada banyak kisah yang menginspirasi mata, akal, pikiran dan hati saya. Merangsang setiap titik-titik syaraf  untuk berpikir tentang apa, mengapa, kenapa. Beberapa kisah, sungguh membuat geli hati karenanya, beberapa meninggalkan luka pedih karenanya. 

Kisah seorang bapak berambut -gondrong-, dia duduk di sudut sebuah pertokoan. Dengan pakaian lusuhnya, menghadapi dinginnya cuaca bumi parahiyangan di malam hari. Tak ada aktifitas bermakna yang dia kerjakan, selain hanya sesekali melihat kantung plastik bawaannya. Sekilas saya pikir dia -pengemis-, tidak jauh berbeda seperti yang lainnya. Tetapi, lelaki paruh baya yang satu ini berbeda, dia bukan pengemis sepertinya. Lebih tepatnya dia manusia yang mengais rezeki dari tempat-tempat pembuangan sisa makanan -tempat sampah-. Mengambil gelas dan botol plastik bekas, sepertinya akan dijual.

Malam yang dingin, rasa sedih, rasa kesal akibat sopir angkutan umum jurusan kalapa-ledeng yang asal. Rasa marah akibat tersasar hingga harus berjalan lumayan jauh, membuat aku kembali menjadi manusia yang lebih banyak pikir -tentang hal tak berguna-, dari pada mengimplementasikannya.

Saat itu, ada rasa ingin menghampiri lelaki paruh baya, sekedar bercakap-cakap sekenanya. Atau mungkin membelikannya sesuatu untuk ia kunyah, telan, kemudian disalurkan menuju sistem pencernaan. Tetapi, yang ada aku hanya diam, berlalu pergi, meninggalkan lelaki paruh baya dengan tumpukan sampah plastiknya. 

Malam semakin larut, dingin semakin menusuk, bersyukur tubuh ku yang kurus dan terlihat ringkih ini terlindungi oleh tebalnya jaket kumal berwarna merah menyala, yang terkadang membuat lelaki itu -tersulut rasa kelelakiannya-. 

Menyusuri jalan raya, dengan kaki yang sudah mulai memberontak, ia melaporkan perbuatanku kepada otak yang berada di dalam kepalaku "hentikan, aku sudah cukup lelah wahai manusia serakah". Aku abaikan pemberontakan kecil itu, sebagai ujud otorisasi kediktatoranku atas tubuh kurusku. "Tap, tap, tap" begitu derap langkah kaki ku, dan sejenak terhenti bersamaan dengan tertegunnya kedua buah bola mataku. Tertumpu pada seorang wanita, seorang ibu dengan seorang bayi berusia beberapa bulan di pangkuannya.

Kisah tentang seorang ibu, apakah mungkin dia ibunya? atau hanya sekedar ibu sementara saja? entahlah. Tapi, benarkah begitu tega seorang ibu membaringkan bayinya dipinggil jalan, di atas trotoar, tepat bersandar pada tiang lampu merah. Drama semakin memilukan ketika plot kejadian diletakkan pada suasana malam hari yang dingin, dengan tiupan angin yang menusuk. Aku terus memaksakan kaki ku untuk berjalan, sembari isi kepala ku mengisyaratkan jari-jemari untuk segera mengambil Hp blackberry dengan sinyal edge itu. 

Ingin meng-capture apa yang dilihat oleh mata, membawanya ke dunia maya, mencoba membuka mata manusia yang lainnya, bahwa inilah wajah indonesia, wajah kota bandung, wajah bumi parahiyangan, dibalik sisi glamor dan borjuisnya. 

Hampir saja saya mengambil gambar anak beranak itu, kalau bukan karena si ibu melihat saya sejenak, kemudian memalingkan wajahnya. Dia duduk bersandar sembari bersenandung untuk bayi kecil yang berada tepat di sampingnya. "yah, mungkin itu anaknya" saya kembali berjalan, sembari berpikir si ibu begitu bertolak belakang dengan lelaki paruh baya yang aku lalui beberapa menit yang lalu. "tapi tunggu" atau mungkin mereka suami istri? siapa yang tahu. Tapi, seperti inilah kehidupan, rasa malas, kebutuhan perut akan makan, menjadi sebuah keniscayaan.

Entahlah, aku sempat terdiam, termangu sesaat, tergugu, hanya tenggelam dalam pikiran, untuk kemudian melangkah pergi, setengah berlari, bersembunyi dari pahitnya sisi muram dari kehidupan. 

Malam yang kelam, rembulan menutup kedua matanya, menangis ia, melihat banyak anak manusia seperti si ibu beserta anaknya. Mencari serpihan-serpihan 'rupiah' di tengah-tengah keramaian hilir mudik kendaraan. Mengabaikan serangan timbal asap kendaraan, demi apa yang kita sebut dengan 'uang'. 

Derap langkah kaki semakin jauh, meninggalkan pemandangan pahit seorang ibu dengan anak bayinya yang berada di tepi jalan. Meninggalkan lelaki paruh baya dengan tumpukan gelas-gelas plastiknya. Rasa lapar yang mulai perlahan menyerang sisi sensitif dari syaraf yang berada di kepala. "Aku sakit" begitu ujar kepala kepada kumpulan syaraf yang berada di sana, "ya kita sakit" begitu sahut yang lainnya. Derap langkah kemudian terhenti, di sebuah warung tenda di pinggir jalan, mencari kenikmatan sesaat bagi lidah, mencoba memenuhi hasrat, mengobat rasa sakit di dalam kepala akibat rasa lapar yang mendera.

Tentang dua orang waria yang pria
"Krincing, krincing" dua orang manusia bernyanyi dengan suara seadanya. Dengan tampilan khas wanita, wanita jalanan yang beroperasi dengan alat musik seadanya. Melahirkan gelak tawa dari aku dan beberapa pengunjung warung yang lainnya. Sedang si penjual martabak asyik masyuk dengan alat penggorengannya, aku beserta jiwa dan ragaku berjibaku mengamati tingkah laku kedua anak manusia yang bernyanyi dengan suara pas-pasan itu.
He is a man, but to earn money he dressed like a girl, he talk like a girl and his act like a girl
"Permisi teh" begitu ujarnya, "walau malam gelap, tiada berbintang. Asalkan lagu ku ....." yah sepenggal lirik yang masih benar, kemudian secara serampangan, silang lintang, jumpalitan. Kacau tidak keruan, tidak beraturan, hingga aku sampai pada kesimpulan, anak manusia berdua ini tidak hapal dengan lirik lagu yang mereka nanyikan.

"Waria", mereka bukanlah wanita, melainkan pria yang berpakaian wanita. Seorang dipanggil dengan sebutan "saya ule' teh, tinggal di kopo, caringin", oh ya, saya tahu caringin, tapi tidak dengan kopo. Interview, sombongnya saya seperti seorang pimpinan perusahaan yang sedang menginterview calon karyawan. Bertanya tentang berapa usia, hingga tentang apakah mereka wanita atau pria sejati mulai dari fisik dan mentalnya. Lalu bertanya tentang sebab dan musabab mengapa meraka bisa menjadi seperti itu rupanya.

his name ule'
"Uang" semua karena uang pada akhirnya, dengan alasan tidak ingin meminta uang dari orang tua, mereka bekerja sekenanya. Pekerjaan yang ringan, hanya 'cring cring' dapat uang. Tidak perlu tenaga, hanya cukup membuang rasa malu jauh-jauh ke tempat yang paling jauh. Seorang berusia 26 tahun, lahir pada tahun 1985, dan kalau tidak salah dengan sekolah menengah pertama pun tidak selesai. Sedang yang seorang yang pemalu berusia 19 tahun. Dengan berkata "main ke tempat teman" seperti itulah cara mereka mengelabuhi kedua orang tuanya. "Tapi, kita gak jual diri teh" begitu selanya, "kalau pagi kita norma" begitu tambahnya, demi membuktikan kesejatian dari gelar lelakinya.

Mengapa dengan wanita, mengapa berdandan sepreti wanita? beberapa survey mengatakan pria percaya bahwa lebih mudah mendapatkan uang bila manusia tersebut adalah wanita. Benar begitu? belum tentu, karena pada kenyataannya ke-perempuan-an ku merasa tersulut api, ketika beberapa profesi meletakkan pria sebagai kriteria utamanya.

Apapun itu, banyak kisah, banyak cerita, cerita tentang anak manusia. Aku pun seorang anak manusia, meng-capture potret-potret kehidupan, pagi, siang, sore dan malam. Mengeksploitasi dari sisi lain kehidupan, aku terjebak dalam alam pikiran tanpa pernah bisa melakukan sesuatu atas potret yang aku ambil dengan kedua indera penglihatanku.

Pun terjebak pada rasa inginku, pada rasa laparku, hingga membuat aku membuang apa yang sebenarnya lebih berguna bila orang lain yang memanfaatkannya.
Rembulan, berpikir apakah dia melihat bulan yang sama dengan yang aku lihat setiap harinya? Apakah begitu wahai rembulan?. Pastinya begitu, mungkin begitu, dan rembulan pun tersenyum dalam diam sembari menatap lekat wajahku.
"Begitu nampak jelas kah wajah kusut ku di hadapanmu, sahabat karib ku" begitu aku bertanya pada rembulan di separuh malam yang kelam. "ya, setidaknya begitu lah yang nampak oleh ku" begitu jawabnya. "Lama rasanya engkau tidak menyapaku, anak manusia yang lupa"

"Ya, aku terlalu sibuk dengan ke-aku-an ku. Terlalu diperbudak oleh mimpi dan angan-anganku tentang dunia yang semua" tak berani aku menengadahkan wajah, menatap wajahnya yang nampak indah dari kejauhan, namun kelam, dingin, pekat bila aku menatapnya dalam dan lekat.

"Nampak semakin rapuh dan angkuh, itulah kamu yang sekarang ini. Senang itu membuat mu lupa akan aku yang dahulu sejatinya menemani malam-malam sendu mu itu" begitu ujar rembulan padaku.


"Entah lah, tapi aku tahu itu, aku tahu. Senang dan sedih, rasa bersalah dan lepas, antara jatuhnya air mata dan bahagia, mereka berlari-lari di dalam hatiku. Di dalam akal dan pikiranku, membuat aku bingung untuk memetakan perasaanku".

Malam semakin larut, bintang-bintang tak nampak dalam jarak beberapa juta kilometer dari rembulan berada. Aku terjebak dengan alam pikiran ku, setidaknya semakin hari aku semakin menyadari itu. Semakin aku pikirkan, semakin aku tidak tahu tentang untuk apa aku berpikir tentang banyak sesuatu itu.

"Manusia, kalian memang selalu begitu. Tidak kah kamu tahu, aku melihat setiap gerak-gerikmu. Aku tatap lekat, aku mengingat setiap tingkah laku dan polahmu. Dan aku malu, aku menangis akan hal itu" ia tutupkan wajahnya, bersembunyi sejenak di balik awan kelabu yang bertebaran di luasnya malam yang gelap gulita. Sedu sedannya sesekali terdengar, terasa menusuk hati, menghujam seluruh tubuh ini. Dan rembulan pun terluka, dan rembulan pun menangis, di tengah malam yang gelap, yang gulita.

"Aku pergi" begitu ujarnya, "Pikirkan tentang apa dan seperti apa kini, kamu wahai anak manusia. Pikirkan dalam dan lekat, kenyataan bahwa saat ini kamu benar-benar terjebak, terjerembab, jatuh ke dalam palung kehidupan yang gelap, kelam, dingin dan lembab. Tak ada sesuatu yang dapat membawa mu kembali ke permukaan, kecuali rasa inginmu untuk itu, kecual rasa belas kasih Nya padamu" begitu rembulan berkata. "Setiap bait kata yang aku sampaikan padamu, bukan sekedar untaian-untaian bait yang tidak bermakna. Dan pikirkan bahwa hidup kalian, manusia tidak akan lama, tak pernah lama kecuali hanya 1 hari saja" 

Dia pergi, menghilang di gelapnya malam. Meninggalkan aku berjalan sendirian, menapaki jalan setapak, berusaha mengingat-ingat setiap kejadian. Serpihan-serpihan memori yang tersimpan hampir usang, dan menjadi sebuah pengingat yang lembut namun menyakitkan.

Helaan nafas itu aku hembuskan, rasa sakit mulai aku rasakan. Tumor ini seperti mulai menunjukkan ke-aku-an nya atas aku yang menjadi inang baginya. "Apa yang harus aku lakukan, tak pernah aku sebuntu ini", begitu kemudian aku berbicara pada layar putih yang berada di hadapanku kini. Namun ia hanya terdiam, tanpa ada sepatah dua patah kata keluar dari dirinya.

Sore semakin menjelang, begitu padat cerita tentang kehidupan. Kembali menelaah dari 1 hari 1 malam yang sekejap, namun meninggalkan bekas, meninggalkan ribuan bahkan jutaan kata yang tak mampu aku sampaikan. Setiap kata, setiap bait, setiap kalimat yang ada, sebagai pengingat untuk ku beberapa hari, minggu, bulan, tahun berikutnya. Dan rembulan tetap tak bergeming, diam, belum ingin, atau memang ia sedang tak berkenan untuk berbicara padaku, sahabat lamanya