Pages

Monday, May 28, 2012

Bukan sekedar di atas kertas, sebuah ilustrasi

Hujan turun, deras, aku bercerita tentang seorang anak manusia yang sudah cukup lama aku kenal, amat lama. Beberapa berkeluh-kesah pada datangnya hujan, tetapi anak-anak pembawa payung-payung besar itu, begitu riang ketika hujan datang, karena berarti 'profesi mereka sebagai pengojek payung' sudah pasti menuai rezeki.

Suara titik-titik hujan itu begitu terdengar keras, membasahi setiap mili dari atap rumah tempat anak manusia itu berada kini. Sekedar ingin bercerita tentang bahwa kualitas seorang anak manusia bukan sekedar apa yang tertera di atas kertas.

Suatu ketika, ketika aku tidak tahu harus memulai darimana, suatu ketika dimana aku merasa tidak bebas dengan kamu, tempat dimana aku terbiasa bercerita, berceloteh tentang tingkah laku manusia, penghuni bumi ini, penghuni bumi nusantara, Indonesia.

Dan anak SD yang jujur itu pun sudah beranjak dewasa

Dan tangis itu pecahlah, sesenggukan ia, sore menjelang sholat maghrib itu, ketika dia mengetahui bahwa dia satu-satunya orang yang mendapatkan nilai mutu terendah dari teman-teman satu kelasnya. Sebenarnya nilainya bukan menandakan bahwa dia tidak lulus untuk mata kuliah itu, dia lulus, tetapi dengan semua apa yang dia usahakan, dia merasa keadaan sudah berlaku tidak adil padanya.

Temannya berkata, "Bill gates berkata, orang sukses itu adalah orang yang tau bagaimana dunia bekerja". Hatinya berkecamuk, dia marah entah pada siapa, marah pada dirinya karena tidak bisa bekerja seperti dunia bekerja, dia mampu, dia tidak mampu, dia tidak mau. 

"Apakah aku harus berbuat curang pula seperti mereka, untuk sukses di dunia?" begitu dia berkata pada temannya yang berada disaluran telepon selulernya

"Ya, supaya kamu bisa mendapatkan hasil seperti apa yang teman-teman kamu dapatkan, jika memang itu perlu menurut kamu" begitu jawab temannya

"aku tidak bisa" begitu jawabnya

"Kenapa kamu tidak bisa?" tanya temannya
"Bekerja seperti apa dunia bekerja, kalau kamu merasa bahwa kamu diperlakukan tidak adil, kalau kamu merasa bahwa perlu agar orang lain tau, kamu tidak sebodoh itu. Maka kamu temui dosenmu, tanyakan mengapa nilai kamu paling rendah diantara yang lainnya. Daripada kamu berkeluh kesah yang tidak menghasilkan apa-apa" begitu ujar temannya pula

Snak perempuan itu terus menarik nafas panjang, kepala dan hatinya terus berpikir, kemudian
"menemui dosen? untuk apa? bertanya mengapa nilaiku bisa seperti ini? kalau pun aku diberikan lembaran-lembaran hasil ujianku, aku percaya memang aku pantas dengan nilai itu. Lalu? aku harus berkata apa lagi? mengatakan bahwa hampir 100 % peserta ujian berlaku curang? bekerja sama? menyamakan jawaban setiap kali ujian?"

"ya kalau memang perlu" begitu jawab temannya

"Tidak, aku tidak mau begitu, aku tidak ingin begitu. Berlaku jujur, sudah menjadi keputusanku, meskipun dari dulu aku sudah tahu akan seperti ini konsekwensinya, tetapi tetap saja kali ini begitu mengecewakan aku. Mereka yang sama sekali tidak tahu menahu, yang kadang hanya bermain-main ketika dosen-dosen itu menyampaikan materi di depan kelas. Dan masih banyak lagi hal-hal lain yang membuat aku kecewa. Rasa kesal itu selalu ada, begitu setiap kali ujian diadakan, kejadian sama berulang. Persaingan ini tidak sehat, kompetisi ini tidak menguntungkan aku." ujar anak perempuan itu

lalu tambahnya

"yang semakin membuat aku merasa malu, ketika bagian administrasi tempat dimana aku menuntut ilmu, memperlakukan aku seperti berbeda dengan teman-teman aku yang lainnya. Mereka tidak menatap wajahku ketika aku bertanya tentang subjek yang harus aku ulang di semester depan. Mungkin hanya perasaanku saja, tetapi pada saat itu aku ingin berkata -aku tidak bodoh, pada saat ujian itu diadakan, aku sedang dalam keadaan sakit-, semakin tidak berpihak kepadaku ketika banyak yang berlaku curang pada saat ujian. Itu selalu terjadi, meskipun dosen pengawas melihat, meskipun pengawas ujian berada di sana, seperti tidak terjadi apa-apa. Mereka yang mengawas turut berperan dalam prilaku curang yang dilakukan oleh teman-temanku" begitu ujar anak perempuan itu sembari terus sesenggukan menahankan tangisnya

"Dengar,........." temannya mengomentari celoteh panjangnya
"keluh kesahmu tidak akan menghasilkan apapun itu, temui dosenmu, katakan apa yang terjadi, supaya berhenti tangismu, supaya berhenti keluh kesahmu. Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kalau kaum itu sendiri tidak berusaha untuk mengubahnya" tambahnya

Anak perempuan itu terdiam, dia teringat ketika beberapa tahun yang lalu, ketika dia duduk di bangku sekolah dasar, bagaimana dia dikucilkan karena diminta untuk membocorkan jawaban ujiannya kepada teman-teman satu kelasnya. Hal yang menyakitkan, dan lebih terasa menyakitkan ketika dia masuk ke perguruan tinggi, dimana dia berpikir bahwa masa lalu pada saat SD itu sudah berlalu, ternyata itu hanya bayang dan harapan semu. 

Semakin kejam ketika orang-orang dewasa lebih percaya dengan apa yang tertera di atas kertas, daripada apa yang ada di dalam kepala manusia yang memiliki kertas. 

"Sekarang kamu mau apa?" tanya temannya
"Menyerah? perjuangan kamu belum selesai, dunia luar lebih kejam daripada ini, lebih absurd, lebih aneh, sampai saling membunuh. Apa yang terjadi pada mu, dihadapkan pada keadaan dimana orang-orang disekelilingmu berbuat curang massal pada saat ujian? itu masih hal yang kecil, dan memang seperti itulah dunia bekerja. Kalau kamu tidak bisa menerima, bersabar, berlaku curanglah, karena memang seperti itulah dunia bekerja saat ini." begitu ujar temannya saat itu

"Tidak, aku tidak mau. Ibu bilang -nak, yang penting ilmunya, bukan nilainya, biarkan orang berpikir bahwa kita bodoh, yang penting kita tidak bodoh-. Dulu, ibu juga pernah bilang -kita tidak perlu berkata kita pintar untuk membuat orang lain berpikir bahwa kita pintar-. Dan aku tahu, aku tidak ingin berlaku curang seperti itu, aku merasa Allah melihatku, -........,dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan, bukan sebaliknya.....-" ujar anak perempuan itu

"Kalau begitu, tegakkan kepalamu. Memiliki nilai B itu bukanlah aib karena kamu berusaha dengan dirimu sendiri, bukan dengan bantuan orang lain. Tidak perlu merasa malu, tidak perlu merasa iri, menjadi jujur itu adalah pilihanmu. Negara ini memang seperti ini dan kamu sudah tau itu, kalau kamu tidak bisa bertahan, maka kamu harus pindah ke luar dari negeri ini. Negeri ini sudah sampai dimana orang-orang yang berlaku jujur itu dianggap aneh" begitu ujar temannya

Anak perempuan itu masih terdiam, dia membenarkan apa yang disampaikan oleh temannya pada saat itu, malam itu, hari itu. Dan semakin membenarkan ketika dia berpikir, ketika hatinya berkata bahwa orang-orang yang tidak berlaku curang, dianggap aneh, semakin lama semakin menjadi minoritas. Sama seperti agama Islam, agama yang dianutnya, yang datang dalam keadaan aneh, dan akan kembali dianggap aneh, bahkan saat ini pun sudah dianggap aneh.

Anak perempuan itu menghentikan tangisnya, dan aku bersyukur dia sepertinya mulai mengerti jalan hidup yang dia jalani saat ini. Anak perempuan itu semakin menyadari bahwa apa yang dia katakan dahulu bahwa -hidup itu pilihan- seperti inilah nyatanya. Dia yang memilih untuk menjadi berbeda, maka dia harus berusaha lebih karena jalan hidup yang dia pilih. Dunia belum berakhir dengan anggapan miring orang-orang tentangnya, dunia belum berakhir dengan nilai B di lembar kertas miliknya.

"Makasih ya kak" begitu ujar anak perempuan itu kepada kakaknya yang sudah seperti teman baginya

Malampun semakin larut, anak perempuan itu mencoba berdamai dengan hati dan akal pikirannya. Memberikan semuanya kepada Allah yang menentukan takdirnya, menerima semuanya sebagai rezeki, sebagai nikmat yang harus dia syukuri.

---------------------------------------------

"Jadi gitu cep ceritanya" begitu ujar temanku itu kepadaku

Pagi, ketika lelaki itu datang, duduk kemudian bercerita tentang adik perempuannya yang berkeluh kesah kepada kakak lelakinya, dia. Tentang apa yang terjadi di lingkungan tempat adik perempuannya bersekolah, di sebuah Institut teknologi ternama. 

Aku hanya mengangguk, sesekali tersenyum, mengiyakan, menggelengkan kepala, lalu ujarku
"seperti inilah dunia tempat dimana kita berada"

Angin semilir bertiup, sejuk, membawa matahari berjalan semakin jauh, semakin membumbung tinggi kemudian tertutup awan. Aku dan temanku itu kembali duduk dalam diam, seperti tenggelam dalam alam pikiran kami masing-masing tentang bumi nusantara dan manusianya yang semakin bertambah tua, semakin menjadi tingkah lakunya, semakin menyedihkan, tetapi memang beginilah 'dunia bekerja saat ini', memang seperti inilah dunia yang diterima oleh manusia zaman kini.



Sebuah ilustrasi tentang manusia zaman kini
cerita tentang anak SD yang dikucilkan karena tidak membagi jawaban ujian kepada teman satu kelasnya, cerita setahun yang lalu, membuahkan inspirasi untuk menuliskan cerita ini