Merasakan bagaimana menjadi hampir -victim- dari sebuah peristiwa yang biasanya hanya saya lihat dari layar kaca.
Awal september mendekati tengah malam, masih berada dekat dengan pelabuhan. Ketika kapal yang saya tumpang bersenggolan dengan bagian tubuh kapal yang lain, yang saat itu sedang mengisi muatan. Kapal sempat kehilangan keseimbangan dan rasa ingin tahu orang Indonesia, semakin memperparah keadaan. Kapal -miring- ke satu sisi, ke sebelah kanan tepatnya.
Sontak, semua yang berada di dalam kapal merasakan panik yang luar biasa. Para lelaki sibuk pergi menyelamatkan keluarganya, yang single sibuk pergi meninggalkan lawan bicara yang baru saja dikenalnya. Wanita dan anak-anak mulai berteriak, histeris, tangis mereka bercampur baur dengan hilir mudik manusia yang lari berebutan, demi mendapatkan pelampung yang disediakan pihak kapal.
"jadi beginilah rasanya" setidaknya itu yang ada di dalam pikiran saya saat itu. Saya tidak tahu apakah saat itu saya merasa panik atau tidak, yang pasti saya hanya berjalan ringan. Menuju tempat pelampung penyelamat berada, mengenakannya lalu berusaha keluar, "setidaknya saya tidak berada di dalam ruangan ini" begitu pikir saya saat itu.
"jadi seperti inilah rasanya, mereka yang kapalnya mengalami masalah", yang karam, yang kapalnya terbakar, yang kapalnya tenggelam. Saya bersyukur, kapal yang saya tumpangi bisa tiba dengan selamat di pelabuhan merak. Saya bersyukur, kepanikan tidak berlangsung lama dan saya bersyukur meskipun saya tidak dapat berenang, saya memiliki pelampung sempat memakainya untuk beberapa lama, kemudian saya kembalikan.
Tahukah kamu apa yang ada di dalam pikiran saya saat itu? saya bingung tentang ekspresi apa yang harus saya perlihatkan. Lihat lah, bahkan untuk disaat genting pun saya masih saja banyak berpikir. Saya membayangkan bila keadaan semakin buruk, kapal tenggelam dan saya hanya tinggal nama yang tertera di layar televisi.
Lelaki-lelaki yang beristri, yang ber-anak, sibuk mencari-cari pelampung demi anak dan istrinya. Ada yang memarahi petugas kapal, karena tak dapat menemukan pelampung untuk anggota keluarganya. Beberapa wanita yang berteriak mulai menangis, anak-anak yang ketakutan mulai berteriak, menambah riuh ramai suasana kapal. Dan saya masih tidak tahu, saya harus memposisikan diri saya seperti apa. Berteriak? ah tak mungkin, menangis? buat apa. Saya hanya diam, berjalan, mencari tempat dimana setidaknya saya bisa berpikir bahwa "saya aman".
Saya ketakutan? ya, tentu. Cerita dahulu bahwa saya tidak takut mati, omong kosong semua itu. Keringat dingin mulai mengucur, rasa panik itu sebenarnya sudah menyeruak, memenuhi kepala hingga mempengaruhi pola pikir ku saat itu. Aku belum ingin mati benarkan begitu? atau aku takut mati? ya sepertinya begitu. Jadi seperti inilah rasanya yang mereka rasakan ketika mereka tahu bahwa mereka akan mati? mungkin iya, mungkin juga tidak.
Manusia itu pun berlari, tertawa-tawa menyadari kebodohannya. Sembari berteriak seperti orang hilang akalnya "aku takut mati" lalu tertawa terbahak-bahak ia. "Aku takut mati, Tuhan ku" kembali tertawa terbahak-bahak ia. Dan manusia itu adalah aku, aku yang berada di sini, yang duduk yang katanya terlalu banyak berpikir, yang berpikir bahwa tidak ada lagi langit selain langit yang aku punya. Manusia itu adalah aku, seberapa hinanya aku? Allah Maha Tahu, seberapa buruknya aku? Allah, hanya Allah Yang Maha Tahu. Aku? hanya satu yang aku tahu kenyataan pahit bahwa aku takut pada apa yang namanya -kematian- itu. BODOH