Pages

Sunday, March 6, 2011

Septina Triyanti, di 6 Maret 2011

Sebuah perenungan akan arti dari kehidupan.

Kita hidup? ya kita memang hidup, berdasarkan ilmu biologi, seseorang dikategorikan ke dalam makhluk hidup apabila ia bernafas, dan inilah kita manusia hidup 'yang bernafas'.

Untuk apa kita hidup?entahlah, begitu jawab saya, kadang kala, pada suatu ketika, ketika jiwa saya bertanya. Saya akan berhenti bercerita tentang diri saya, karena tidak akan menarik tentunya. Akan sedikit bercerita tentang manusia, seorang wanita, muslimah, yang namanya sedikit mirip dengan nama saya, SEPTINA TRIYANTI, ya itulah namanya. Lahir 3 September 1985, berpetualangan di dunia sampai dengan tgl 25 Februari 2011, tahun ini.


Hembusan nafas terakhir ia lepaskan bebas di kampus UI, tepatnya dimana? saya tidak tahu dengan jelasnya. Hentakan kakinya, tatapan matanya, terakhir kali ia layangkan di kampus UI tempat dimana dia menempuh studi pasca sarjananya. 

Dari kiri : Septina triyanti, Sefta Marisa Dwipasari Jn


Sabtu, 5 Maret 2011 yang lalu, saya pertama kali menjejakkan kaki di Pemakaman Umum Kotabaru. Sedikit tersasar, dan oleh karena itu suka tidak suka, ikhlas atau pun tidak. Saya harus merelakan Rp 20.000 rupiah melayang terbang, pindah ke dalam kantong celana si penarik becak tua. Semua demi sampai dengan tepat dan selamat di TPU kotabaru, sukarame, Bandar Lampung.

Gerbang akhir, sebuah perumahan bagi setiap manusia yang luput dari perhatian manusia, makam. Kesan angker, menakutkan, selalu melayang-layang di kepala saya. Ya karena saya memang bukan pemberani yang sebenarnya. Kuburan, pemakaman, selalu memiliki kekuatan tersendiri untuk membuat saya mawas diri, khawatir mana kala ada sesosok makhluk yang tidak saya inginkan, tiba-tiba muncul di sekitar saya, tanpa saya undang.

Inilah saya, saat itu, peluh keringat mengucur deras dari kening saya, manakala tempat peristirahatan terakhirnya, belum juga saya temukan. Naik turun, sembari mata tetap awas membaca setiap nama yang tertera pada batu-batu nisan yang bertebaran di areal pemakaman yang luasnya tidak seberapa. Tempat terakhir, beberapa makam masih terawat, sisanya, rumput liar di sana sini, atau bahkan ada yang tertutup sama sekali. 

Ya beginilah kiranya saya pun nanti. Ketika hidup di dunia, semua manusia akan mencari, tempat tinggal pun 'dibagusi' sana-sini. Tapi ketika nyawa sudah tidak lagi di raga, ketika rumah itu hanya berukuran 1 x 2 meter luasnya, maka lain lagi ceritanya. Mungkin ada yang akan merawatnya, sekedar membersihkannya dari rerumputan yang menjalar. Atau hanya dibiarkan begitu saja, karena tidak ada waktu untuk sekedar menyiangi rumputnya, atau mungkin pikir yang masih bernyawa 'ah, yang sudah tidak ada, ya sudah lah'.

Jauh-jauh mencari, tempat itu ada di depan mata, tidak berada jauh dari gerbang pemakaman umum. Di batu nisan itu terpampang jelas sebuah nama, yang tidak asing dan tidak akan pernah asing. 
SEPTINA TRIYANTI
Binti Anniwali
Lahir 3-9-1985
Wafat 25-2-2011

Air mata itu serasa ingin jatuh, tumpah ke bumi yang sudah tidak lagi basah. Gundukan tanah itu sudah mengering, ia sudah hampir 1 minggu dimakamkan di sini, di tempat ini. Rasa sedih, bersalah, rindu, marah pada diri sendiri, menyeruak seketika. memberontak. Saya tidak bisa melihatnya untuk terakhir kalinya, tidak bisa mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhirnya. Saya marah pada diri saya, saya marah,  saya marah. Ingin rasanya saat itu saya melampiaskan semua dalam tangis keras di areal pemakaman, tapi semua tertahan.

Masya Allah saya merindukannya, merindukan sosoknya, yang penyabar, yang jauh-jauh lebih baik daripada saya. Entah dengan kata apa saya harus menggambarkan sosoknya, dia wanita yang sangat baik, di mata saya. Dia pun sudah seperti kakak perempuan kandung bagi saya, hampir 3 tahun lamanya saya bekerja sama dengan dia. Tapi, tak pernah satu kali pun saya mengunjungi rumahnya pada saat hari raya tiba. Terenyuh rasanya, mengingat senyumnya, wajahnya, yang bisa saya lakukan saat itu hanya berbicara sendiri.

Saya hanya bisa berdoa, semoga Allah mengampuni dosanya, menerima semua amal ibadahnya, melapangkan kuburnya, semoga dia mendapatkan teman yang baik di dalam kuburnya. 

Selamat jalan, itulah kata yang bisa terucap. Seorang anak manusia sudah kembali lagi menghadap Nya, Dia Yang Maha Pencipta. Ini kali kedua saya kehilangan orang yang saya cintai di dalam hidup saya, untuk selama-lamanya. Pertama Dyan Isworo, kedua Septina Triyanti. Semoga, Allah memberikan tempat terbaik untuk kalian berdua, di sisi Nya. Amin