Selamat datang malam, aku punya sedikit cerita tentang empati dan simpati yang tidak berujung pada tempatnya. Tidak menyasar pada sasaran yang tepat hingga membuat aku malu, lari terbirit-birit, sekaligus ketakutan dibuatnya.
Malam ini hujan, begitu banyak syukur terucap. Baiklah sedikit prakata, berbasa-basi sejenak tentu bukan hal berat bagi mu bukan, wahai halaman blog-ku. Toh sebagai auditori, melankoli sejati, aku memang senang berbasa-basi. Mengenai syukur, rasa sakit menjalar di sekitar ibu jari kakiku, sebelah kiri. Nampaknya, kuku itu menusuk ke dalam, hingga sel-sel syaraf ujung ibu jariku, meronta-ronta dengan caranya, hingga membuat kepalaku berpikir tentang bagaimana cara menyudahi penderitaan mereka.
walllahh, aku ambil penjepit kuku, dengan perjuangan sedemikian rupa sehingga, aku, kepalaku, jari-jemari tangan dan ibu jari kakiku, berhasil menciptakan sinergi, kemudian, berhentilah teriakan histeris jaringan syaraf yang tertekan kuku ibu jari kaki ku itu. Lihat-lihatlah, nikmat-Nya baru dikurangi sedikit saja, aku sudah merasakan sakit yang tak hingga. Baru sedikit saja kuku kaki ku itu menekan jaringan syaraf yang ada di ibu jari kaki ku itu, dan aku sudah tak berdaya dibuatnya. Sekarang? jaringan syaraf itu bisa berbahagia, senang hati mereka.
Kembali tentang lari terbirit-birit, tentang ketakutan sebagai hasil dari empati, simpati yang salah sasaran.
Ceritanya, aku duduk, mengamati tingkah laku manusia di sebuah taman tepan di belakang masjid salman. Ada seorang pemuda tampan, berkulit putih, berkaos lengan panjang hijau, dengan topinya, dengan celana panjangnya, dengan ranselnya, dengan beberapa kantong plastik yang dibawanya kemana-mana.
Untuk sesaat, awalnya aku pikir, dia pemulung, normal, seperti pemulung kebanyakan. Tetapi anggapan berubah manakala, dia mulai menggelar koran bekas di atas meja yang terbuat dari bata dan semen. Dia letakkan tas ranselnya di sana, dia keluarkan isi dari dalam tasnya, isi dari dalam kantong plastiknya. Semua????? plastik, kertas, oh Tuhan, Masya Allah, ternyata dia bukan pemulung biasa, dia pemulung dengan ketidaksempurnaan di dalam kemampuan berpikirnya, alias gila *mungkin.
Aku iba, empati, simpati, dia masih muda, sudah seperti itu, menjadi gila karena dunia, keadaan keluarga, ekonomi, gila karena cinta (*hahahahaha banyak korban karena gila yang satu ini), atau memang sedari lahir dia memang tidak normal. Aku tak tahu, ku katakan aku tak tahu, yang aku tahu, aku iba.
Lalu, aku buntuti dia, terlebih mungkin karena rasa keingintahuanku tentang dia atau karena obsesi gila ku atas rasa ego pribadi tentang mengobservasi? aku tak tahu, yang jelas, aku membuntutinya kemudian duduk tepat di sebelahnya.
Jujur saja, untuk duduk di sebelahnya aku harus mempersiapkan hidungku untuk menerima segala macam kemungkinan tentang bau, karena aku alergi dengan bau. Bau tak sedap atau pun bau dari parfum, terlebih parfum wanita *i hate it.
singkat kata singkat cerita, aku duduk di sebelahnya, lalu dengan singkat pula aku bercakap-cakap dengan seorang lelaki paruh baya yang usianya lebih dari setengah abad. Bercerita tentang pekerjaannya, tentang siapa dia, tentang BBM, tentang mahasiswa yang demo, dan menurutnya *demo untuk siapa. Kemudian menceritakan tentang pemuda berkaos lengan panjang hijau, bertopi, yang duduk di sebelah kiriku. Dan itu berarti lelaki paruh baya itu duduk di sebelah kananku.
Untuk lebih singkat lagi, lelaki paruh baya itu berkata dengan perlahan "dia agak kurang" alias tidak normal. "Bapak pernah ajak ngobrol dia, katanya dari sumatera" begitu katanya, lebih lanjut "kenapa bisa ada di sini?" begitu si bapak meneruskan, lalu "wah rumit ceritanya pak" begitu jawab pemuda berkaos lengan panjang warna hijau itu, beberapa waktu yang lalu.
-sok enak- saja, aku dan lelaki paruh baya yang berpuluh tahun berporfesi sebagai supir angkutan umum, angkutan barang, dan sekarang sedang mencari pekerjaan. Kami berbicara tentang jumlah kendaraan roda dua yang tidak dibatasi, yang mengganggu pendapatan para supir kendaraan umum seperti dia. Kami berbicara tentang terlalu banyak angkutan umum yang beroperasi, dengan trayek yang sama. Pada intinya, menjadi supir angkutan umum tidak menguntungkan lagi, saatnya beralih menjadi supir pribadi, paling tidak sampai tahun 2014, karena pada saat itu masa berlaku SIM lelaki paruh baya habis alias tiba masa 'expired' nya.
Dengan masih 'sok enak' nya pula aku dan si bapak membicarakan tentang pemuda itu lagi. Lalu, menjelang gelap, burung pulang ke sarang, anak-anak berhenti bermain di taman, si bapak dan aku pun memutuskan untuk pulang.
Hasil kesalahan analisa sebagai hasil observasiku yang singkat beberapa saat yang lalu mulai terbukti.
"klik.................., klik" anggap saja ini bunyi kamera dari telepon genggamku
-flashhh, zinghhh, clink- anggap saja itu ilustrasi dari lampu kamera telepon genggamku
lalu
"kunaon teh" pemuda berkaos lengan panjang berwarna hijau itu angkat bicara
'gdubrakkk, jdag, jdug' kepala ku serasa dihujani berton-ton kotoran burung yang melintas dan bertengger di setiap pucuk pohon yang mengelilingi taman ini.
terkejut, ternyata pemuda berkaos lengan panjang, berwarna hijau itu bisa berkomunikasi dengan jelas
"kunaon teh diphoto" begitu ujarnya
aku secara terbata-bata, masih terbenam dalam keterkejutanku berkata dengan bodohnya
"nuhun nya" ujarku
"dihapus ya, demi Alloh ya" begitu ujar pemuda berkaos lengan panjang, berwarna hijau itu
aku tersenyum, beranjak pergi, berjalan cepat setengah berlari, kemudian aku benar-benar berlari. Malu, tentu saja aku malu, asumsiku salah kaprah. Takut, ya tentu aku takut, berbagai pikiran negatif tentang pemuda itu melayang-layang di kepalaku. Sembari bertekad di dalam hati
"aku tidak akan pergi mengunjungi taman itu untuk beberapa waktu" begitu ujarku
Sepanjang jalan aku tertawa, menahankan kebodohanku. Dan sepanjang jalan pula aku berkata pada diriku sendiri tentang betapa bodohnya aku. Tentang betapa malunya aku, ya ya ya, lain kali, observasi memang tidak cukup dilakukan satu atau dua kali, tetapi berkali-kali seperti ketika aku mengobservasi Dewi.
"Untuk semua kesengajaan, aku memaafkan. Kehidupan"