Pages

Thursday, March 31, 2011

Silang lintang membunuh malam

Membunuh malam

Bayangan hitam itu berkelebat, mereka seperti terbang di kegelapan malam. Angin dingin bertiup semilir, "sial, baju ini begitu tipis. Udara dingin ini serasa ingin menembus pertahanan tubuhku yang memang hanya tinggal kulit membalut tulang.

Peluh keringat bercucuran, entah sudah seperti apa bau tubuhku bila memang aku memiliki bau. Tunggu dulu, dimana aku berada kini? kenapa tempat ini tidak begitu asing bagiku, atau memang tempat ini sudah menjadi asing hingga ia tak lagi nampak asing? ah entahlah, aku tak tahu.

Bau darah itu masih saja berputar-putar di indra penciumanku. Mengingat aku paling tidak bisa melihat darah, bahkan meskipun darahku sendiri. Bersyukur, malam mengurangi kemampuan penglihatan ku, yang nampak hanya hitam, temaram sinar bulan hanya cukup sebagai penunjuk jalan. Ya aku kini berada di hutan, pedalaman hutan, sebagai pelarian.

"Hentikan, hentikan" samar-samar teriakan itu masih terdengar. Bersamaan dengan hantaman yang keras, mendarat di tubuh kurus ku. Tangan-tangan yang besar dan kekar, kaki-kaki yang kuat untuk menjejak. Jahanam-jahanam itu mendaratkan tinjunya di tubuh ku, perutku, wajah ku, aaaaaaaaaaarrrggh sial aku tidak bisa melawan. Kaki-kaki mereka melesakkan bebannya tepat di perutku. Tak juga mereka berhenti meski aku sudah seperti ayam yang hampir putus nyawa nya karena disembelih oleh manusia.

Samar-samar teriakan itu masih segar terdengar di telinga, kejadian itu seperti baru saja menimpaku. Ketika wanita tua itu mencoba melindungi ku dari lelaki-lelaki kekar yang tidak aku kenal. "hentikan-hentikan, dia tidak bersalah, kasihan dia" begitu katanya, begitu  teriaknya di tengah-tengah kerumunan lelaki-lelaki yang mencoba menyiksaku. Isak tangisnya masih terdengar, umpatan-umpatannya dalam bahasa yang tidak aku begitu mengerti apa artinya.

Bulan semakin jauh membumbung, bersanding dengan awan dan langit malam. Tak begitu nampak bintang-bintang di samping sang bulan, cahaya bulan menutupi cahaya bintang-bintang yang berada di dekatnya. Aku lapar, perut ini mulai menunjukkan kuasanya atas tubuhku. Sial, kenapa di saat seperti ini kamu tidak bisa bekerja sama dengan aku, wahai sistem pencernaan ku. Lamunan ku melambung, mengingat betapa wanita itu setiap harinya selalu mengantarkan biskuit sebagai kudapan menjelang tidur ku. Budaya yang sungguh berbeda dengan yang ada di negara ku. 

Silang lintang pikiran melayang, tiba-tiba aku sudah berada di pulau sumatera, baturaja. Melihat satu porsi nasi goreng di meja makan. Buatan nenek ku, ah nenek? apa dia masih ada di sana? sudah bertahun-tahun sejak aku pulang ke Indonesia. Ah, aku ingat keluarga, ya aku punya keluarga, ayah, ibu, kakak, adik, keponakan, paman, bibi. Apa mereka masih mengingatku?

Udara malam semakin menusuk tulang ku. bersyukur ini bukan musim dingin, "kejar, sampai dapat, temukan dia". Bulu romaku berdiri, berdesir darahku, berkejar-kejaran nafasku. Sial, mereka masih terus mengejarku, apa salahku, sehingga mereka ingin membunuhku, menghabisi nyawaku.

Ku pacu terus jantungku, menguatkan setiap persendianku, aku berlari, berlari terus, menjauh dari terangnya cahaya bulan yang masuk melalui celah-celah daun, ranting pepohonan. Oh Tuhan, saat ini aku tidak lagi takut akan gelap, aku ingin gelap itu datang, agar orang-orang itu tidak dapat menemukan ku, kemudian pergi dan lupa bahwa mereka mencariku.
Apa salahku, aku tak tahu, aku tak tahu
Aku hanya berlari, aku harus berlari, jauh ke dalam hutan, tak peduli itu hewan buas atau apapun itu. Setidaknya aku bisa selamat untuk saat ini, sekarang, malam ini. Nafas ku memburu, terengah-engah, aku merasa ajalku semakin dekat, di tempat ini? Kenapa harus di tempat ini, di hutan belantara seperti ini. Kenapa harus di negeri orang? Ayah, ibu, saudara-saudaraku, bayang-bayang mereka silang lintang di hadapanku. Entah mengapa otak ku seperti memutar kembali pita-pita memori bertahun-tahun yang lalu, yang sudah lama ingin aku kubur. 

Dia, dia muncul seperti nyata, lelaki itu seperti berada tepat di hadapan ku. Tapi, dia sudah lama pergi meninggalkan dunia ini. Apakah dia hantu? tidak, tidak mungkin. Bau darah semakin kuat tercium di hidungku, sial mereka benar-benar melukai kepala ku. Lapar, haus menyerangku bersamaan, apakah aku akan mati saat ini.

Lolongan anjing semakin terdengar dekat di telingaku, aku mati, aku mati, kenapa harus saat ini, di tempat ini? Tidak, aku masih ingin hidup, pulang ke negeri ku, ke tempat ayah dan ibu, saudara-saudara ku. Penglihatanku sudah mulai kacau, aku melihat mereka di hadapanku, melambaikan tangan kepada ku. Dan lelaki itu, dia tersenyum. Lolongan anjing-anjing itu semakin dekat dan masya Allah gigi-gigi tajam itu menusuk pergelangan kaki ku.

"AAAAAaaaaaarggh" aku kerahkan sekuat tenaga, melepaskan gigi-gigi tajam, rahang-rahang kuat binatang najis ini, aku tak kuat lagi, aku tak mampu, aku mati, hari ini. Aku terjatuh, mereka terlalu kuat, anjing-anjing pemburu ini terlalu kuat untuk ku. Aku tak mampu, ya Allah aku mati hari ini, di tempat ini, sendiri. Lelaki-lelaki itu tertawa-terkekeh-kekeh, "we got you" begitu mereka berkata. Ya aku pasrah, darah yang terus mengalir dari kepala dan telingaku, sudah tak lagi bisa kucium bau nya. Indera penciumanku sudah kehilangan kemampuannya. Sendi-sendi tubuhku sudah tak mampu lagi melawan, aku menyerah, menyerah pada keadaan, menyerah pada Sang Pemilik kematian.

Aku tak tahu akan mereka apakan tubuhku, seperti ada yang mengangkat ku, tak tahu siapakah itu. Aku tak peduli, aku tak sanggup lagi, mati, tinggal lah mati. Bayang-bayang ayah dan ibu semakin jelas di pandangan ku, rumput-rumput hijau, danau yang tenang, aku mulai berhalusinasi. Dia, lelaki itu berada di situ, lelaki yang sudah lama pergi itu, dia tersenyum kepada ku, "Selamat datang" begitu katanya. 

Oh ini lah aku, sudah pergi dari dunia ini sepertinya, cengkraman gigi-gigi anjing-anjing pemburu itu tak lagi terasa di kaki ku. Rasa pusing, mual, lapar tak lagi terasa di tubuhku. Bau darah itu entah kemana perginya, yang ada hanya bau segar udara pegunungan. Dimana ini, apa aku sudah mati? seperti ini kah surga itu? damai sekali rasanya. Aku tidak ingin bangun lagi, aku tidak ingin bangun lagi.

Aku pejamkan mata, menghirup udara sebanyak-banyaknya, ternyata kematian itu tidak semengerikan yang mereka ceritakan. Kalau tahu begini, mengapa aku menangisi kamu wahai lelaki, ketika kamu pergi meninggalkan dunia, hari itu. Semua terasa nyata, aku sudah mati, tak perlu lagi berlari, tak perlu bersembunyi, tak perlu merasakan sakit, lapar dan dahaga yang meronta. 

Perlahan-lahan, kedua kelopak mataku membuka. Terasa sejuk, angin semilir bertiup "ade, ade" begitu suara itu terdengar. "Ade, bangun sudah siang" begitu suara itu kembali terdengar, suara ibu aku kenal itu. Ah, dimana lagi ini, di episode mana lagi aku berada kini? "De, ayah pergi ke kantor dulu ya" begitu kata lelaki paruh baya itu. Ku usap-usapkan kedua mataku, apakah ayah dan ibuku berada di surga yang sama dengan ku. Ku usapkan kembali kedua mataku, perlahan membuka, mencoba menggapai-gapai benda yang berada tepat di sampingku, telepon genggam ku. Menepukkan telapak tangan di dahiku, "masya Allah, gdubrakkkk aku bermimpi tentang semua itu".