bagian ketiga
Ragam macam jamaah yang datang
Mari bercerita sedikit tentang masjid tetangga sebelah dan korelasinya dengan manusia-manusia Indonesia yang berada di sekitarnya.
Malam itu, malam pertama saya menunaikan sholat tarawih di Bandar lampung. Malam pertama di bulan ramadhan tahun ini, di tahun 2008. mari mencoba menggali sedikit hikmah dari apa yang saya lihat dan amati di hari itu, di malam itu.
Seperti biasa, di awal-awal bulan ramadhan tiba, masjid-masjid akan selalu ramai oleh para jamaahnya. Mulai dari anak-anak sampai orang-orang yang sudah lanjut usia.
Menarik rasanya, sama halnya dengan jamaah yang ada di masjid ini. Beragam, mulai dari anak-anak kecil yang memenuhi shaf belakang, mengapa mereka memilih berada di belakang? Berdasarkan pengalaman pribadi saya, memilih berada di belakang shaf orang dewasa, agar bisa bercerita, bersenda gurau dengan teman-teman sepermainan, dan nampaknya anak-anak kecil itu juga.
Tidak ada remaja-remaja tanggung yang mengisi masjid ini, tidak di shaf pria tidak pula wanita, sebagian besar jamaah adalah mahasiswa yang kebetulan berdomisili di sekitar masjid berada.
Beragam saja yang jamaah-jamaah itu kerjakan. Saya hanya mencoba mengamati, mempelajari ragam macam tingkah polah jamaah yang ada di shaf belakang, shaf perempuan.
Seperti biasa, di masjid ini bila sholat isya selesai ditunaikan, maka akan ada seorang pria entah paruh baya entah pula muda, akan berceramah, mengisi sepatah dua patah kata sebelum memulai ibadah sholat tarawih selanjutnya.
Seyogyanya mendengarkan orang yang berceramah, seyogyanya berstatus sebagai jamaah, baiknya mendengarkan, menyimak apa yang si penceramah sampaikan.
Tapi tidak begitu di shaf perempuan yang saya amati.
Anak-anak sibuk dengan urusan catat mencatat, saya pikir itu pastilah perintah guru agama, yang mengharuskan si murid mencatat aktifitas ramadhan muridnya untuk kemudian dimasukkan ke dalam nilai agama.
Ada lagi yang sibuk bercerita, membuat obrolan dengan teman yang ada di sebelahnya, yah inilah yang dilakukan oleh jamaah putri tepatnya mahasiswi. Ada juga yang dengan seksama mengamati, dan setelah diperhatikan ternyata si pengamat, si jamaah ini sudah cukup tua dalam usia, ’wajar’ begitu kata di dalam hati.
Ada juga yang duduk bersandar pada dinding menutup wajah dengan mukenah yang digunakannya, dan ketika ceramah selesai, ajakan untuk sholat tarawih disampaikan, barulah saya ketahui si jamaah, tertidur dalam ceramah yang pak ustadz sampaikan.
Ada tiga kemungkinan, pertama si jamaah kelelahan karena beraktifitas seharian, kedua si jamaah kekenyangan karena balas dendam yang luar biasa pada saat waktu berbuka tiba, dan yang ketiga, ucapan pak ustadz laksana dongeng pengantar tidur baginya.
Wallahualam, saya hanya bisa mengamati dalam diam sembari mendengarkan pak ustadz dan membiarkan isi kepala berkata-kata hingga mencoba menyimpulkan apa yang dilihat oleh mata.