Adakah manusia-manusia pada zaman itu menggunakan sajadah sebagai alas untuk menunaikan sholatnya? Kalau pun ada, apakah sajadah-sajadah itu beragam macam dalam rupa, corak dan warnanya? Apakah sajadah itu pula menjadikan pemiliknya berdiri tegak di dalam sholat dengan penuh keterbatasan? Apa maksud dari keterbatasan yang saya tuliskan? Bagaimana asumsi ini bermula?
Pernah memperhatikan seorang hamba menunaikan sholat? Pastinya pernah. Pernah memperhatikan seorang hamba menunaikan sholat berjamaah? Pastinya pernah. Hal-hal ini yang kadang menggelitik hati untuk bertanya pada kepala ini, hingga hanya bisa membuat pertanyaan tanpa pernah membuahkan jawaban yang memuaskan. Terkadang, mata ini memandang mereka-mereka yang akan menunaikan sholat, menjalankan ibadahnya dengan niatan berjamaah, seperti halnya sholat tarawih yang selalu diadakan ketika bulan ramadhan sampai pada waktunya.
Orang-orang berbondong-bondong, berduyun-duyun, dengan sukacita menunaikan sholat dimasjid terdekat yang ada, tak lupa membawa perlengkapan sholat termasuk sajadah tercinta. Hingga tiba ketika iqamah dikumandangkan, imam pun memerintahkan jamaah untuk merapatkan dan meluruskan barisan.
Geser-geser, mepet-mepet, ujung-ujung kaki pun saling dilekatkan dengan jemaah yang ada di kiri dan di kanan. Itu untuk barisan yang berada di belakang, lain lagi dengan barisan yang ada di depan saya, seseorang tetap kukuh pada pendirian, tidak bergerak, selain berdiri mematung menunggu si imam mengucapkan ’Allahu Akbar’, dia tetap berdiri, di atas sajadah panjangnya.
Tak peduli shaf yang bolong di kiri dan di kanan, tak peduli shaf yang tidak rapat malah benar-benar terlihat jarang, dia tetap saya tidak bergeming, kokoh bagai karang, bahkan hingga sholat witir ditegakkan.
Hari berikutnya, masih di masjid yang sama, namun di shaf yang berbeda. Saya selalu menunaikan sholat witir di asrama, menunggu teman-teman yang lain, yang sekaligus menunaikan sholat witir berjamaah. Beberapa jamaah yang juga tidak melaksanakan sholat witir, sudah terlebih dahulu pulang ke rumah, shaf-shaf mulai kosong di bagian tengah.
Kembali, si imam berkata ’shafnya dirapatkan dan diluruskan’ dan kembali, fenomena yang saya jumpai, itu shaf yang kosong di tengah, tetap dibiarkan kosong, jamaah-jamaah yang berada di sisi kiri dan di sisi kanan, masing-masing tidak ada yang mau berpindah tempat, tidak ada yang mau membenahi shaf hingga kembali rapat seperti semula.
Semua tetap berada di posisi semula, di atas sajadahnya. Shaf yang ditinggalkan tetap saja kosong melompong, bahkan hingga salam diucapkan oleh sang imam.
shaf - nie tulisan bener kagak ya???