Pages

Wednesday, October 15, 2008

Ramadhan Terdahulu

bagian pertama


Buah dari kebohongan


Selalu ada yang menarik dari bulan ramadhan, mencoba kembali ke masa beberapa tahun yang lalu. Saat itu saya masih duduk di bangku sekolah dasar, anak yang nakal, tidak bisa diam dan dengan kesadaran yang tinggi saya katakan, saya gemar berbohong, meskipun itu di bulan ramadhan.


Sholat tarawih itu tidak pernah ditinggalkan, hingga ketika suatu hari saya merasa bosan, entah apa yang membuat saya bosan, yang jelas, karena kebosanan saya itu, saya terpaksa berbohong pada ayah dan ibu. Diam di dalam masjid, kalau tidak salah saat itu shalat tarawih masih berjalan dan saya masih dalam diam, memikirkan alasan untuk dapat segera pulang dengan selamat tanpa perlu mendengarkan ibu berceramah panjang lebar tentang kepulangan saya yang di awal waktu.


Alasan didapat, jarak antara rumah dengan masjid tidak begitu jauh, oh iya saat itu saya duduk di bangku SLTP bukan SD. Sampai di rumah, pintu diketuk, ibu saya yang membuka, seyogyanya beliau bertanya ”ade, kenapa sudah pulang, kan belum selesai”, panas dingin, mempersiapkan mimik wajah dengan sedemikian rupa sehingga agar ibu percaya.


”Ade sakit perut bu” begitu kata saya pada ibu ”mules” tambah saya saat itu. Ibu hanya bilang ”ooo”, lalu beliau masuk begitu saja tanpa banyak bertanya. Di dalam hati ini berkata ”duh, aman. Ibu gak banyak tanya”. Saya pun melanjutkan kebohongan saya dengan berpura-pura pergi ke kamar mandi, menyiramkan air sembari tersenyum-senyum sendiri, merasa kebohongan yang saya ciptakan tidak percuma, tidak sia-sia.


Selesai, dan bodohnya saya lupa bahwa ibu saya pernah mengalami masa-masa seumuran saya juga. Menuju ruang tengah, bukan masuk ke dalam kamar untuk belajar tetapi menonton televisi, yah dahulu televisi masih menyenangkan bagi saya yang rada-rada badung ini.


Ibu masih tenggelam dalam aktifitasnya, dahulu masihlah bertanya-tanya ’enak banget ya ibu gak usah sholat’. Lama duduk dalam diam, tiba-tiba kebohongan berbuah juga pada akhirnya, saya hanya bisa meringis menahan sakit. Ibu pun bertanya ”kenapa de?”, masih dalam menahan rasa sakit seperti disuntik saya berkata ”digigit semut bu?” begitu jawab saya.


Tak dinyana ibu saya tertawa, saya hanya terdiam dalam rasa sakit, dan bertanya-tanya. ’Digigit semut gimana?” ibu menambahkan, ”Semut matahari”. Kata paman saya, semut matahari itu semut hitam yang berukuran besar yang kalau menggigit, bengkaknya bisa sampai berhari-hari. Ibu kembali tertawa, hati mulai berkata-kata ’ini akibat dari berbohong pada ibu, di bulan ramadhan pula’.Lalu yang lebih mengagetkan adalah ketika ibu berkata ”Makanya de, jangan suka bohong”


Gdubbrakkk, ternyata ibu tahu kalau saya sudah berbohong. Itu lah kenapa di awal saya katakan, bahwa saya ini bodoh, saya lupa bahwa ibu juga pernah mengalami masa-masa seperti saya, saya lupa kalau dulu ibu pernah jadi anak-anak juga.


Saya tidak lagi berkeinginan untuk mengulanginya kembali.