Selepas menyelesaikan ujian termodinamika, mencoba kembali lagi ke memori beberapa hari yang lalu.
Kejadian pertama
Dan apakah kejadian di atas lucu? Entahlah
Kejadian kedua
Lalu, apa kah kejadian di atas tergolong lucu?? Nampaknya tergantung dari mana kita mau memandang.
Kejadian ketiga, Ketika seorang anak lelaki yang dahulu sempat memaki atau lebih tepatnya memarahi, mengirimi saya sebuah pesan, meminta maaf, tapi entahlah ingin menangis ketika membaca pesannya. Dia katakan bahagia, hati pun bertanya ‘benarkah dia bahagia?” entahlah
Apakah kejadian di atas lucu? Saya tidak tahu
Kejadian keempat, Seorang wanita paruh baya menghubungi phonecell saya. Dia sedang kesal rupanya, lalu serta merta ia tumpahkan pada saya, ia marah, ya wanita paruh baya itu memarahi saya. Kemudian kata-kata maaf meluncur dari bibirnya. Ia meminta maaf karena sudah menumpahkan kekesalannya pada saya, bukan pada sumber kekesalannya. Padahal sejatinya bukan saya yang menyebabkan emosinya naik, meledak, hingga meluat-luap. Lalu saya katakan “tidak apa” dan tahukah kamu, wanita paruh baya itu menangis, dia menangis….
Apakah kejadian di atas masih lucu?? Nampaknya, semakin ke sini, kisah-kisah itu tidak lagi menyenangkan, tidaklah nampak dimana letak lucunya, karena memang sejak awal tidak ada yang lucu.
Puncaknya, firasat yang tidak menyenangkan, kondisi tubuh mulai mengkhawatirkan. Selepas sholat isya, saya putuskan untuk melelapkan tubuh lebih awal, mengistirahatkan pikiran sesegera mungkin. Sepertiga malam, saya terjaga, saya membuka mata, ‘whuuuaaahh konyol, gila , masya Allah, lalu Alhamdulillah’ pada akhir kata saya yang tersirat di dalam dada. Saya demam, ya saya demam tinggi, tanpa tedeng aling-aling, tiada hujan tiada badai, suhu tubuh meninggi tanpa mau kompromi terlebih dahulu dengan diri.
Bangun, melangkahkan kaki, tidak bisa terus begini. Saya menuju kamar mandi, berwudhu kembali, menegakkan sholat barang dua rakaat seperti biasa, selesai, sedikit membuka dan membaca lembar-lembar kehidupan yang selalu penuh makna setiap kali membacanya (Apa iya? ’arrghhh’ saya lupa)
Hmm kepala saya melancarkan aksi protesnya, sakit sekali rasanya. Padahal esok hari kamis, tapi kondisi tubuh malah drop begini. Akhirnya, saya tenggak segelas besar air minum, lalu bercermin. Apakah saya gila? Suhu tubuh tinggi, tapi masih sempat-sempatnya mematut diri, tapi tunggu dulu, kisah ini belumlah usai. Saya bercermin sembari berkata di dalam hati dengan berapi-api.... ”besok tetap harus puasa, demam ya tinggal demam, pingsan ya tinggal pingsan, Alhamdulillah sakit, barangkali dengan ikhlas dosa bisa berkurang... lagian ini badan Allah yang punya”
Esoknya, adzan shubuh menggema, yah sudah jelas, sholat shubuh ditegakkan pula. Menjelang siang, mandi, ya saya mandi, membersihkan diri, tidak peduli suhu tubuh yang tinggi, ’tancap-tancap saja’ begitu pikir hati kala itu. Dhuha tiba pada gilirannya, dan whuaahhh demam berangsur-angsur hilang, sampai siang hari menjelang, itu demam hilang dengan sempurna. Ternyata ampuh, itu penyakit kabur, ternyata dia takut pada Yang Menciptakan Penyakit.
Apakah kejadian di atas lucu? Terserah pada pendapatmu, tapi menurut saya itu lucu, konyol, tolol. Ya saya kembali tolol, ternyata itu demam nongol karena pikiran yang terlalu, amat sangat overload, kelebihan muatan ini kepala, tapi pada akhirnya itu penyakit ngibrit juga.
Konyol, tapi dimana letak konyolnya? Ya konyol menurut saya, penyakit saja takut pada Yang Menciptakan Penyakit, tapi saya? ’argghhh’ konyol, saya benar-benar konyol.