Belajar? saya suka belajar tentang apapun itu, pada siapapun itu.
Kotabumi, Lampung utara, Pkl 21:25 di 9 Maret 2011
Ingin tersenyum getir, mengingat bahwa ini sudah memasuki bulan ke 3 di tahun 2011, waktu tak terasa cepat sekali berlalu. Titik-titik air hujan yang jatuh di sepanjang selokan, menciptakan harmoni alami sebagai lagu pengantar tidur bagi manusia yang menghuni kotabumi ini.
Ini sudah malam, semakin larut menjelang. Detik jam dinding tua peninggalan kakek semakin jelas terdengar, menemani titik-titik hujan agar ia tidak sendirian. Tidak banyak yang bisa saya lakukan, selain duduk di depan netbook sembari memainkan tuts-tuts keyboard yang sudah hampir satu tahun lamanya menemani saya berkelana di dunia maya.
Mari kembali bercerita, cerita tentang sesuatu yang absurd. Mari kembali membangkitkan semangat kontemplasi, meski raga sudah tak lagi sama, meski jiwa sudah tak lagi 100 % kualitasnya, meski kini saya bukan lagi mahasiswa. Mari bersama-sama belajar, mengulas kembali tentang makna kehidupan, belajar kembali tentang kehidupan dari langit yang nampak indah, mudah dijangkau, namun kadang luput dari pengamatan jiwa.
Pernah terbayangkan, bagaimana bisa langit yang luasnya tak terhingga dapat tegak tanpa tiang besar yang menyangganya? Saya pernah memikirkan hal itu beberapa tahun yang lalu, pada saat gelar mahasiswa itu masih melekat pada saya. Pikirkan, bagaimana kiranya bila langit diciptakan dengan banyak tiang agar ia tidak jatuh dari tempatnya lalu menimpa manusia. Pikirkan bagaimana besarnya tiang yang digunakan sebagai penyangga. Pikirkan bagaimana repotnya pemerintah dan dinas perhubungan untuk membuat jalan raya, mengingat banyak tiang penyangga langit yang dipancang. Tapi tidak, langit tidak bertiang, langit pun tidak berpenyangga, maka 'alhamdulillah' bersyukurlah kita.
Titik-titik hujan masih saja turun perlahan, langit sedang senang menebarkan kesejukan, mewujudkan kehidupan dari bibit-bibit tanaman yang hanyut terbawa arus air hujan.
Penjual bakso akan bersyukur manakala hujan turun, meskipun itu perlahan. Pedagang es yang kurang bijak, akan menggerutu panjang, mengingat pendapatannya akan berkurang karena hujan. Dan beberapa manusia akan berkata 'yahh hujan atau kok hujan sih, dan bla bla bla'. Lucu rasanya, karena terkadang saya pun termasuk di dalamnya. Sifat dasar manusia, memang begitu adanya.
Bersyukur langit bukanlah makhluk seperti kita, manusia, yang ketika merasa tersinggung hati dan perasaannya, maka sulit rasanya untuk berbuat baik, memberi kepada si pembuat sakit hati. Tapi, tidak begitu dengan langit, kata-kata manusia yang mengeluh karena air hujan yang ia turunkan, tidak membuatnya menghentikan hujan turun meski untuk satu tahun lamanya.
Hanya, perhatikan bagaimana langit membagi dengan penuh keadilan, karena memang seperti itu yang Dia perintahkan. Lihat bagaimana si penjaja ojek payung tersenyum riang karena banyaknya pelanggan, lihat bagaimana si penjual payung bersyukur, karena pepatah 'sedia payung sebelum hujan' semakin banyak diterapkan. Lihat bagaimana pabrik konveksi pakaian jadi semakin senang, karena 'jaket' mereka terjual kesana kemari.
Menarik benang merah dari kontemplasi yang nampak absurd.
Pada kenyataannya, langit memang tidak memiliki kuasa apapun, terhadap apapun, kepada siapapun. Tak ubahnya seperti kita, manusia, langit pun makhluk adanya, ia memiliki tanggung jawab tersendiri kepada Yang Menciptakannya. Hanya saja, ukurannya yang besar, luas tak terjangkau oleh manusia, tidak menyebabkannya sombong karenanya, tidak seperti kita, manusia.
Maka belajarlah dari dia, dari langit yang biru saat ia biru, dari langit yang kelabu saya ia kelabu. Belajar dari langit, yang hanya menurut tanpa menuntut. Belajar dari langit, yang juga makhluk, yang hanya ikut perintah tanpa pernah membantah. Belajar dari langit, yang memberi, berbagi, menyebarkan kesejukan melalui titik hujan, tanpa pernah meminta imbalan. Belajar dari langit, tentang keikhlasan memberi, yang tak peduli, tak juga sakit hati, dengan ulah manusia yang menggerutu, mencaci, memaki, karena hujan yang turun tak henti-henti.