Ketika bayi 9 bulan itu mati
Bayi pertama dari seorang pasangan muda di salah satu provinsi yang ada di Indonesia, Sulawesi tepatnya.
Saya bukan orang yang kritis, tetapi mulai mengalami krisis manakala mata saya, hati nurani saya dihadapkan pada situasi anak bangsa yang ada di negeri saya tercinta, Indonesia. Dari sekian banyak masalah, timbunan keluh kesah manusia, saya tetap mencintai negeri saya yang katanya INDAH.
Bayi 9 bulan itu MATI, -mati- kata kasar yang sebenarnya kadang enggan saya gunakan. Tetapi sebagai bentuk penegasan akan sebuah kekesalan, kekecewaan atas apa yang terjadi pada salah satu Bakal Calon generasi muda di negeri ini. Rumah panggung, berdinding kayu, beratap seadanya, tepat di salah satu desa, Bone, Sulawesi, daerah di Indonesia Timur sana.
Lensa kameramen tak lepas dari menatap lekat wajah sayu, kuyu, sedih yang mendalam dari seorang ibu muda.
Kain batik itu dikenakannya sebagai pelengkap pakaian yang dikenakannya. Belum genap 1 tahun usia anaknya, tetapi harus meregang nyawa, menyerah pada keadaan ekonomi keluarga. Hingga 'momok' busung lapar itu mengalahkannya dalam sebuah pertarungan untuk mendapatkan apa yang namanya kehidupan. Menyedihkan, 2.5 Kg untuk bayi yang berusia 9 bulan, bila dibandingkan dengan keponakan saya yang massanya mencapai 10 Kg ketika berada pada usia yang sama.Jauh-jauh pejabat-pejabat itu melihat, tapi tetangga kiri dan kanan seperti tidak nampak.
Pikiran saya beberapa kali beradu argumentasi dengan hati nurani, tentang apa yang ada di dalam kepala mereka yang 'korupsi'. Tentang apakah tidak cukup dengan tunjangan, gaji, serta fasilitas di sana dan di sini yang dikuras dari kantong-kantong lusuh dan kumuh rakyat di negeri ini? Apa yang ada di dalam kepala mereka, ketika mereka melihat sesama anak bangsa seperti mereka, harus meregang nyawa karena rasa lapar yang mendera?
Tentang apa yang ada di dalam kepala mereka, si pejabat, si orang kaya, ketika orang papa mencuri karena didesak kebutuhan akan perut untuk hidup? Inilah dunia, tidak mungkin ada istilah kaya kalaulah istilah miskin tidak ada, tidak tercipta, begitupun sebaliknya.
Ini negeri 'bolak-balik', ini negeri antah berantah yang 'morat-marit'. Ketika anak bangsa, ketika tuan rumah merasa terpenjara di rumahnya, ketika tuan rumah menjadi tamu di negerinya. Ketika yang korupsi, mengambil hak bertrilyun rupiah bisa melenggang dengan bebasnya. Bahkan meskipun tubuhnya sudah di dalam penjara, jeruji besi katanya. Bahkan ketika yang korupsi hanya dihukum 7 tahun penjara, sementara yang mencuri harus meregang nyawa 'dibakar' massa.
Ini lah negeri 'carut-marut' nya, ketika korupsi sudah dimulai dari puncak piramida hingga ke kaki-kakinya. Ketika yang teraniaya 'bingung' mau mengadu kemana, ketika yang salah justru bisa menjadi benar karena 'harta, kekuasaannya'. Ya inilah negeri saya yang bodohnya sampai saat ini masih saya cinta
Dan bayi 9 bulan, Bone, Sulawesi utara, kau tak dapat besar nak, jiwa mu sudah tak lagi berada di raga. Tak ada yang mengenalmu nak, tentang mu hanya bertahan 1 hari, menjadi berita bagi para pewarta. Tak juga ada yang akan memberimu bunga tanda duka cita nak, karena menurut mereka kau bukanlah apa-apa, bukanlah anak siapa-siapa.
Bayi 9 bulan, Bone, Sulawesi Utara, yang beratnya hanya 2.5 Kg, yang meregang nyawa, yang akhirnya meninggalkan dunia, busung lapar begitu kata para pewarta berita, selamat jalan bayi mungil yang malang. Selamat jalan bayi mungil yang beruntung, pertarungan hidup dan mati sudah engkau lewati, tak perlu lagi kiranya engkau dipusingkan oleh ulah-ulah para penguasa di negeri ini.