Pernah mendengar namanya? belum? ya tentu saja, saya pun sangat jarang mendengar nama Rosidah di telinga saya. Seorang wanita tua, nenek tua, atau dalam bahasa daerah sumatera, kata nenek sama dengan kajut dalam bahasa keseharian mereka.
Kajut rosidah sudah tidak lagi muda, tapak kakinya sudah tidak lagi gagah, setiap kali ia akan beranjak dari tempat duduknya, lutut kanan selalu ia gunakan sebagai penopang. Menengok sedikit kisah tentang seorang anak manusia, yang lahir pada era tahun 1930-an, zaman pendudukan Belanda dan Jepang. Memang bukan sosok yang terkenal, tidak juga dikenal, tapi akan saya buat menjadi dikenal, setidaknya melalui tulisan.
Siapa beliau? mengapa saya mengangkat kisahnya sebagai bahan acuan kontemplasi, renungan bagi diri saya pribadi. Apa istimewanya beliau? artiskah? seorang tokoh kah? atau apa? Kajut rosidah bukan siapa-siapa, setidaknya menurut saya.
Latar Belakang
Beliau lahir dari keluarga kaya, begitu keterangan dari seseorang yang begitu mengenalnya, yaitu anaknya. Anak bungsu dari 13 bersaudara, dengan ke 11 saudaranya meninggal semua pada usia muda. Kajut rosidah hanya berdua dengan kakak sulungnya, lalu memiliki saudara tiri perempuan dari istri kedua ayahnya. Berasal dari keluarga kaya tidak membuat kajut Rosidah hidup berleha-leha seperti orang-orang kaya pada umumnya, di zaman sekarang. Diberi kebun yang berhektar-hektar luasnya tidak pula menjadikan kajut Rosidah gila akan harta.
Beliau cantik, pada zamannya, pada saat ia masih berusia muda. Dan sisa kecantikannya masih dapat saya lihat dari wajahnya, ketika sekilas saya menatapnya. Saya tidak begitu tahu menahu persis seperti apa kehidupan kajut Rosidah di masa mudanya. Lebih mengenalnya ketika usianya sudah mulai lanjut usia, ketika rambut-rambut putih sudah mulai meramaikan kepalanya.
Jari-jemarinya sudah mulai keriput, tak lagi kencang seperti dulu. Berjalan pun sudah tak lagi tegak, pendengaran pun sudah tak lagi jelas, sehingga ketika berbicara dengan beliau harus dengan suara keras. Penglihatan pun sudah tidak lagi awas, setiap kali melihat, matanya selalu ia pincingkan agar dapat mengenali objek yang berada di hadapannya.
Kisah tentang kajut Rosidah
Entah pada tahun keberapa ia menikah, dengan seorang lelaki lulusan akademi perawat pada zaman dulu, zaman Belanda, zaman dimana saya dan kamu sudah pasti belum ada di dunia. Menikah dengan seorang lelaki yang ternyata sudah beristri, kajut Rosidah sudah dibohongi, begitu penuturan anaknya pada saya. Lantas, apakah kajut Rosidah marah? tidak, dia diam saja, hanya tersenyum pada saya, ketika saya menanyakan kebenaran dari cerita yang anaknya sampaikan.
Menjadi istri kedua seperti hal yang biasa saja bagi kajut Rosidah, meskipun pada dasarnya saat itu dia bisa saja mendapatkan lelaki manapun yang ia mau. Tapi, hingga saat ini, kajut Rosidah masih tetap setia dengan suaminya, meskipun pada kenyataannya suami beliau menikah lagi untuk yang ketiga kalinya. Kajut Rosidah tetap setia menemani suaminya bahkan hingga saat ini, di usianya yang sudah tidak lagi muda.
Beliau memiliki 10 anak dari suaminya dan pekerjaan suaminya sebagai mantri membuat ia sering ditinggal keluar kota untuk waktu yang lama, bahkan hingga berbulan-bulan lamanya. Tapi, apa kajut Rosidah marah? tidak, apa ia meminta untuk berpisah? tidak juga. Meskipun pada kenyataannya, suaminya tidak sepenuhnya menafkahi ia dan kesepuluh anaknya. Demi bertahan hidup kajut rosidah harus berjalan puluhan kilometer, mengurusi kebun dan sawahnya. Hasil kebun dan ladangnya yang kemudian ia jual ke pasar untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolah kesepuluh anaknya. Apa kajut Rosidah mengeluh ? Anaknya berkata "tidak, ia tidak pernah mengeluh"
Hari-hari yang beliau jalani, bukan hari yang mudah. Ketika ia harus membawa anak-anaknya yang masih kecil, dengan menggendong di belakang punggungnya, dengan menuntun salah satu anaknya, dengan yang lain terpaksa ia tinggalkan di rumah, sementara ia pergi ke kebunnya. Medan yang ia lalui pun bukan medan yang mudah, jalan setapak berbatu, menyebrangi sungai, kemudian harus ditempuh lagi dengan berjalan untuk beberapa jam lamanya. Lalu, apa ia menyerah dengan keadaannya, mengingat ia anak orang yang berada. Tidak, bahkan hingga saat ini, di usianya yang tidak lagi muda, ia tetap bekerja mengurus kebun dan ladang miliknya, bahkan meskipun semua anaknya sudah melarangnya bekerja. Beliau bilang "badan saya sakit semua kalau saya tidak bekerja".
Dia perempuan Indonesia yang lahir pada masa pendudukan Belanda
Kajut rosidah, perempuan tua, perempuan yang biasa, perempuan Indonesia yang lahir pada masa kependudukan Belanda. Keadaan yang memaksa ketika ia harus melahirkan anaknya yang kesembilan seorang diri, di dalam gubuk, di ladangnya. Seorang diri tanpa ada bidan, tanpa ada dokter, tidak juga dukun beranak yang pada masa itu begitu populernya profesi mereka. Alhamdulilah ia melahirkan dengan selamat seorang bayi lelaki yang sehat, bahkan hingga saat ini bayi lelakinya sudah tumbuh dewasa dan berkeluarga.
Wanita tua yang renta, kulitnya yang keriput semakin menandakan ia sudah tidak lagi muda. Tapak-tapak kakinya tidak lagi seperti dulu, tidak lagi mencengkram, tidak lagi dapat menghujam bebatuan cadas yang keras, tidak kuat lagi memijak batu-batu kali yang licin sembari membawa beban berat di punggungnya. Kajut Rosidah, perempuan asal sumatera yang tidak lagi muda. Mengeluh, tidak pernah saya dengar terlontar dari bibirnya, meskipun menurut penuturan anak-anaknya, bahwa suami kajut Rosidah tidak memperlakukan beliau dengan adilnya. Tapi, ketika saya bertanya, apakah beliau marah dengan suaminya, sembari tersenyum kajut Rosidah berkata "biarkan Allah yang membalasnya".
Begitulah ia, wanita renta yang menurut saya bersahaja. Sudah tua, ya memang, wanita yang masih dengan setia melayani suaminya, meskipun hingga kini kadang suaminya lebih sering berada di rumah istri muda, istri ketiga. Masih tetap setia, meskipun terkadang hak-haknya sebagai seorang istri terabaikan begitu saja.
Kajut Rosidah, wanita renta yang menjelajahi waktu, meretas kerasnya kehidupan. Wanita renta yang berasal dari keluarga berada, wanita dipenghujung senja yang sudah tertatih-tatih menopang berat tubuhnya. Wanita tua yang menghabiskan sepanjang waktunya untuk kesepuluh anaknya. Wanita tua dengan cita-cita, dengan mimpi dan keinginan yang sederhana, hanya ingin 'naik haji' sebelum ia pergi meninggalkan dunia ini.
My note
Ini memang kisah sederhana, mungkin juga menurut mu kisah ini tidak bermakna, terlebih lagi ini hanya kisah tentang seorang wanita tua. Bukan tentang tokoh ternama, tidak juga tentang Justin Beiber atau pun Libya yang sedang hangat menjadi berita. Ini hanya kisah tentang seorang wanita tua. Wanita tua yang sudah hampir 1 abad di dunia, wanita tua yang menunjukkan tentang apa itu "pengabdian", kepada suami. Salah satu dari sekian banyak wanita Indonesia yang menunjukkan apa itu "kasih sayang", kepada putra dan putri yang ia miliki.
Mungkin memang bukan cerita yang menarik menurutmu, tidak pula kontradiktif, bukan pula cerita yang imajinatif. Beliau, kajut Rosidah yang tidak lagi muda, dari mimpinya tentang keinginan terakhir di dalam hidupnya. Dari perjalanan hidupnya yang tidak mudah demi kesepuluh anaknya, saya belajar tentang arti pengabdian, keikhlasan, yang tidak mengeluh, tidak juga menyerah dengan keadaan.