Pages

Sunday, March 13, 2011

Jepang bukan Indonesia

"Watashi wa jishin to tsunami Nippon de shite mōshiwake arimasen. Umaku ikeba fukutsu no seishin to tsuyo-sa o jishin to tsunami no saigai ga hassei shita kako ni fuyo sa reta"



Tu bahasa jepang bukan karena saya bisa berbahasa Jepang, tapi karena ada teknologi TRANSTOOL (gak tau benar atau tidaknya -grammarnya-. Jadi saya sebagai orang Indonesia, mengucapkan turut berduka cita untuk gempa dan tsunami yang melanda jepang, baru-baru ini.

But, you know what, fortunately Japan is not Indonesia. All of you may still remember about tsunami in Indonesia on Dec 26, 2004. And about the victims? it is about 230.000 people die if i'm not wrong. With the strength of shocks in Japan around 8.4 - 8.9 on the richter scale. While in Indonesia, 9.1 undersea earthquake on the richter scale shook the Indian Ocean off the coast of North Sumatera Indonesia. The impact was so strong quake to 1,200 Kilometers from the epicenter, reaching alaska.

Teknologi, kemudian faktor bahwa jepang adalah negara maju, sehingga memungkinkan mereka untuk memasang alat-alat di titik-titik tertentu untuk mengantisipasi gempa dan akibat yang dihasilkan oleh gempa. Selain itu, kata 'tsunami' berawal dari bangsa jepang itu sendiri. Menurut riwayat, tsunami terjadi di Jepang untuk pertama kalinya, sehingga mereka sudah lebih 'berpengalaman' bila menemui anomali yang dihasilkan dari gempa yang terjadi.

But, in indonesia?
Negara berkembang, dari segala bidang kami tetap saja berkembang. Dan entah mau berkembang sampai kemana. Dan yang menjadi ironi adalah, kenyataan bahwa jepang dan Indonesia sama-sama memulai hidup baru hampir di saat yang bersamaan, sekitar tahun 1945. Tapi, pada kenyataannya, Indonesia tertinggal jauh 'gdebukk, gdubbrakk' dari Jepang, negara yang nasibnya pada jaman dulu, lebih parah dari pada Indonesia.

Karena negara berkembang yang selalu berkembang, untuk hal teknologi pun negara ini masih berkembang, tapi tidak pernah berpikir untuk mengembangkan. Lebih senang menjadi konsumen daripada produsen. Pengalaman akan 'tsunami' pun, bisa dikatakan 'kurang', maka jadilah ketika 'tsunami' datang. Indonesia seperti melakukan pengurangan penduduk secara besar-besaran. Satu wilayah bisa luluh lantak karena gelombang laut yang tinggi menghantam daerah pesisir propinsi Aceh beberapa tahun yang lalu.

Pada saat itu korban jiwa mencapai 230.000, bisa dikatakan hampir separuh penduduk di wilayah tersebut meregang nyawa akibat tsunami yang melanda. Sementara di Jepang, hari ketiga sejak tsunami berlangsung, korban meninggal yang tercatat berkisar 1000 jiwa. Perbandingan yang amat sangat tidak elok untuk dibandingkan dari segi jumlahnya.

Wal hasil, sejak saat itu, pemerintah seperti kebakaran jenggot, entah karena inisiatif sendiri, entah pula karena tuntutan dari profesi, entah pula karena 'rong-rong' pihak luar negeri, lembaga-lembaga dan rakyat yang kritis di negeri ini. Mulailah pemerintah mencanangkan memasang peringatan dini untuk gempa dan tsunami. Tsunami jadi trend pada saat itu bahkan hingga kini. Hal yang positif, meskipun harus mengorbankan 230.000 nyawa dengan sia-sia.

Dan sekarang, BMKG di Indonesia semakin mulia saja kerjanya hehehe. Setiap kali ada gempa, di televisi selalu ada pemberitaan tentangnya, selain itu ada peringatan dini bagi masyarakat yang berada di sepanjang pesisir pantai, sebagai antisipasi akan potensi terjadinya tsunami.

Ya ya ya, negara berkembang ini, memang semakin berkembang saja rupanya dan bencana tsunami itu ada ternyata ada hikmahnya, besaaaaaar sekali hikmahnya hehehehe.

"aku bangga menjadi anak Indonesia"
"Watashi wa indoneshia no kodomodearu koto o hokori ni omoimasu"

hehehehehe