Pages

Wednesday, September 16, 2009

WISUDA atau Wis Sudahh

Susahnya begini kalau menjadi manusia yang memiliki tingkat melankolie berlebih. Kenapa saya menjadi tipikal manusia yang tidak begitu menyukai terlahirnya kata “perpisahan” ke dunia. Perpisahan itu begitu terasa manakala satu persatu teman-teman meninggalkan saya atau mungkin kita semua.

Mereka yang mulai mengepakkan sayapnya, pergi melanglang buana meninggalkan sarangnya. Sedih, ada rasa, entah rasa apa yang menggumpal di dalam segumpal darah yang berada di dalam tubuh saya. Rasa itu sesak, rasa tidak menyenangkan, rasa ingin menangis, rasa ingin mengulang semua kejadian yang belum tentu bisa sama seperti kejadian aslinya.

Odorenai warutsu menemani, petikan gitarnya yang membuat hati semakin menjadi melankolie, sedih tak tentu arah. Ingin menangis tapi tidak ada tempat yang bisa menjadi labuhan air mata kecuali di atas sejadah tua ketika sepertiga malam itu tiba.

Kampus unila, mungkin saya anomaly, bisa jadi saya menjadi mahasiswa yang aneh sendiri. Malam menjelang, ketika melalui sebuah jejaring seorang lelaki bertanya tentang perasaan saya ketika sudah mengalami apa yang namanya “wisuda”. Maka, saya katakan “sedih”, entah dia jujur atau tidak dengan perkataannya, tapi nampaknya ia sedikit terkejut dengan jawaban saya. “ya sedih” begitu lanjut saya, sedih karena tidak lagi bisa bimbingan dengan dosen yang sudah membimbing saya sejak tahun 2005 sampai akhir 2009. Saya yang selalu merepotkan beliau, mungkin terkadang membuat kesal karena ulah saya yang menurutnya manja dan tergesa-gesa.

Sedih karena hilanglah gelar mahasiswa itu dari diri saya, ada sedikit rasa kebebasan yang tercerabut dari akarnya, meskipun kebebasan yang lainnya sudah saya dapatkan. Kerana terlepaslah beban yang mungkin selama ini menggelayut di dalam benak dosen dan kedua orang tua saya.



Sudah 5 tahun UNILA mempersilahkan saya untuk diam, tinggal, dan berkembang di dalamnya. Sudah 5 tahun pula jurusan fisika mempersilahkan saya untuk mengacak-acak pola pikir saya tentang ilmu fisika yang menyenangkan. Meskipun terkadang, saya tidak mengerti dengan apa yang dosen saya sampaikan.



Fisika matematik, medan elektromagnetik, fisika kuantum, fisika inti, fisika statistik mata kuliah-mata kuliah yang secara tidak sadar membuat bergidik anak-anak fisika di UNILA. Terkadang menimbulkan istilah “bunuh diri” bagi mahasiswa yang mengambil mereka dalam satu semester secara bersamaan.

Dan “ArrrggghhhHHhhh” kenapa saya begitu lemah untuk urusan hati, kenapa saya begitu rapuh hingga perpisahan itu dirasa begitu menyiksa, mendera jiwa, dan saya kembali dengan sikap hiperbolik saya.

Mereka teman-teman saya, teman-teman dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri mereka. Beberapa dari kita mungkin menjadi amat sangat menyebalkan bagi teman-teman yang lainnya terlebih lagi saya.


Air mata itu teredam, obat hati memang benar-benar saya butuhkan. Helaan nafas berat itu saya hembuskan, demi Dia Yang Maha Menciptakan kita semua, teman-teman. Demi DIa pula yang sudah mempertemukan kita di kampus hijau UNILA, di jurusan Fisika, saya katakan terima kasih untuk semua. Saya menyayangi, mencintai kalian semua seperti halnya saya mencintai diri saya sendiri, hanya karena Nya.

Saya membutuhkan obat hati melebihi dosis yang Allah berikan pada teman-teman saya yang lainnya. Rasa melankolie yang saya punya, terkadang melampaui ambang batas, terkadang melampaui kadar yang diizinkan hadir dalam diri setiap anak manusia. Maka ketika melankoli itu tiba, tuts-tuts keybord menjadi teman setia untuk menumpahkan semua rasa yang ada.

“Hummmphh” dan ketika video dari seorang teman saya putarkan di dalam DVD room laptop saya, whuahhhhh rasa sesak semakin melesak jauh ke dalam dada. Perasaan tidak menentu mencuat begitu saja, Masya Allah, subhanallah untuknya, untuk sebuah karya yang ia peruntukkan bagi saya, temannya, seseorang yang menurutnya pernah menempati posisi khusus di dalam hatinya.

Ingin memecahkan suasana dengan berliter-liter air mata, ingin menumpahkan kata-kata melankolie penggugah jiwa sebagai wujud terima kasih saya padanya. Tapi, biar Allah yang membalaskannya, karena insya Allah perhitungan Allah jauh, amat sangat jauh berbeda dengan perhitungan yang saya punya.

Ingin memberikan sesuatu yang berharga dan dapat dikenang selamanya, tapi tak mampu, mungkin belum mampu, atau memang tidak pernah ada hal seperti itu, tidak akan pernah ada pula sesuatu yang dapat menggantikan apa yang sudah mereka berikan pada saya.

Monday, September 14, 2009

Balita-balita yang tersiksa

Mengapa harus mengajak balita?

Pasar belumlah menjadi tempat “cuci mata” yang menyenangkan bagi anak-anak kecil seusia mereka. Apa yang hendak dilihat? Apa pula yang dapat mereka nikmati selain panasnya cuaca hari ini.

Bagi ibu-ibu, remaja-remaja putri, dan bagi wanita-wanita dewasa, mungkin “mencuci mata” dengan melihat beraneka rupa pakaian, mulai dari atasan hingga bawahan, mulai dari yang dipakai di luar, hingga yang dipakai di dalam, bisa menjadi hiburan. Tapi, lain halnya bagi anak-anak mereka, belumlah menarik melirik pakaian-pakaian orang dewasa, selain daripada asesoris lucu berwarna-warni, selain daripada mainan dan rupa-rupa boneka, dan itu semua tidak ada di pasar kecuali di mal-mal yang memang menyediakan ruang bebas bagi anak-anak seumuran mereka.

Ramadhan menjadi sebuah euphoria, setiap tahunnya sepertinya, meskipun itu hanya bagi sebagian orang saja. Kemajuan yang manusia tampakkan mulai terlihat mana kala waktu sholat wajib itu tiba, manakala waktu sholat tarawih itu sampai pada saatnya. Manusia-manusia yang memilih untuk sholat di masjid, mulai dapat dihitung dengan jari, shaf-shaf yang semula sesak, padat, oleh orang muda, paruh baya, hingga orang tua. Kini hanya orang-orang lanjut usia yang tersisa, dan anak-anak kecil pun turut meramaikan suasana, demi mengisi buku wajib dari guru agama yang ditugaskan pada mereka.

Beginilah kiranya, setiap tahunnya. Ramadhan itu sebentar lagi akan berlalu, berlalu dengan hitungan jari. Bagi saya yang hanya mendapatkan tak sampai 15 hari, begitu menyakitkan dirasa, karena khawatir tahun depan usia tak sampai lagi untuk kembali menikmatinya.

Apa makna dari kemenangan itu sebenarnya? Saya masih ragu dengan pemahaman yang kepala saya berikan tentang apa hakekat kemenangan itu sesungguhnya. Apakah saya sudah menang? Atau justru sebenarnya menelan kekalahan pahit dan hanya hati yang merasakan betapa pahitnya kekalahan itu.

Akal pikiran tak begitu dapat merasakan, karena buta mata, buta hati sesungguhnya. Akibat terlampau senang, akibat terlena dengan dunia yang nilainya lebih buruk daripada bangkai kambing kecil yang tuli umpama yang Rasullah sampaikan kepada para sahabatnya.

Tak akan pernah bisa yang haram dicampurkan dengan yang halal, tak akan pernah bisa. Bagaimana bisa pula manusia katakan cinta pada RAbbnya sedang di sisi lain dia menduakannya dengan kekasihnya, sedang di sisi lain dia katakan cinta pada manusia, wanitanya, lelakinya, sedang di sisi lain dia katakan cinta pada hartanya, fisiknya, jabatannya, bagaimana bisa, bagaimana bisa, bagaimana bisa.

Bodohnya saya, karena saya juga manusia, saya pun masuk ke dalamnya.

-SELESAI-

Saturday, September 12, 2009

Ramadhan sebuah Euphoria

Ramadhan itu menjadi sebuah euphoria bagi sebagian anak manusia. Rasa tak percaya hari ini sudah menemani beberapa orang teman wanita memenuhi hasrat mereka ketika hari lebaran tiba, berbelanja.

Penuh sesak manusia, tumpah ruah. Penuh sesak kendaraan roda dua sampai roda empat, bahkan bus AC tak lagi nampak seperti namanya. Penumpang berjejalan, berdiri karena tempat duduk tak lagi tersisa sementara waktu terus berjalan memaksa manusia untuk bergerak cepat.

Hari sabtu, tanggal 12 september 2009, sudah layaknya seperti hari minggu. Pusat-pusat perbelanjaan dipenuhi oleh ibu-ibu, entah lanjut usia entah pula ibu-ibu muda. Tertegun ketika memperhatikan seorang ibu mengaduh sembari memegangi perutnya “aduh” begitu katanya. Rasa sakit itu ia rasa akibat menaiki beberapa anak tangga dengan bakal bayi yang menyertainya.

Ramadhan itu tak ubahnya euphoria, ketika awal mula ia tiba. MAsjid-masjid penuh sesak dengan manusia-manusia yang ingin berubah katanya, yang ingin kembali ke jalan Nya. Jalan-jalan sepi mana kala maghrib tiba, semua kembali ke rumah, semua kembali kepada fitrahnya, setidaknya begitu pemandangan yang kita lihat pada beberapa hari pertama, ketika ramadhan itu tiba.

Menjelang beberapa hari berikutnya, pasar-pasar kembali ramai. Warung-warung makan kembali dibuka, asap-asap rokok sudah kembali mengotori udara, dan ketika saya bertanya “bapak gak puasa?” “puasa de” begitu katanya “tapi kok merokok” balas saya. “kan Cuma merokok de, jadi gak apa” singkat padat, pintu bus dibuka saya pun masuk ke dalamnya, duduk dalam diam, menerawang selama perjalanan menuju kota metro, berpikir ternyata seperti inilah kehidupan itu sejatinya.

Siang ini benar-benar panas, rasa-rasanya tidak tahan berada di luar seharian. Tapi, tidak begitu dengan ibu-ibu, remaja-remaja putri dan wanita-wanita dewasa yang saya lihat, yang saya temui di seputar areal berbelanja yang ada di kota ini. Mulai dari Ramayana, simpur center, sampai dengan pasar bamboo kuning. Semua penuh dengan manusia-manusia yang hilir mudik kesana kemari mencari barang-barang keperluannya. Dan sebagian besar manusia-manusia itu adalah wanita.

Mengherankan melihat wanita-wanita itu berjejalan membeli bahan-bahan untuk membuat panganan khusus hari raya. Mengherankan melihat wanita-wanita itu hilir mudik, dan tanpa sadar memperebutkan oksigen yang ada di pasar bamboo kuning hanya untuk mencari pakaian sebagai pelengkap untuk meraih kemenangan.

Speaker phone berkali-kali mengingatkan setiap pengunjung yang datang untuk memperhatikan barang bawaannya. Berulang kali pula melaporkan tentang ditemukannya bocah berumur sekian, dengan ciri-ciri seperti ini, dengan nama fulanah atau fulan, dan pada akhir dari pengumuman itu, “bagi yang merasa kehilangan dapat mengubungi pusat informasi”. Selalu begini, selalu seperti ini, anak-anak lepas dari pengawasan orang tuanya. Sampai suatu ketika saya pernah mengajak hati dan kepala saya untuk berpikir “Sebenarnya, yang berbelanja itu ibu atau anaknya? Sebenarnya yang ingin dibelikan pakaian untuk hari raya itu, ibu atau anaknya?”

Beberapa kali, hari ini saya temui anak-anak yang nampak merasa terzalimi oleh tingkah polah ibunya. Lucu rasanya ketika melihat seorang anak kecil bersungut-sungut, menggerutu, memasang wajah cemberutnya sembari memegang kantong plastik berbelanja ibunya. Nampaknya si ibu terlalu lama mengajak si gadis kecil berbelanja atau ketika bertemu dengan bayi mungil yang menangis, dan ketika si ibu berpapasan wajahnya dengan saya, sembari tersenyum saya berkata “aduh kasian si ade’ nya kepanasan ya”, “iya” begitu jawab si ibu dengan senyumnya.

-bersambung-

Wednesday, September 9, 2009

Ini Tentang Keselamatan Kerja

Menulis apa pagi ini, semua terhenti manakala hati sudah tak tentu lagi rasanya. Semua terasa buntu hanya berputar-putar mengitari kepala. Melambai-lambai sembari berkata "Ayolah manusia, rangkaikan kami menjadi sebuah kalimat bermakna, menjadi sebuah paragraf yang mungkin dapat bermanfaat suatu hari nanti bagi manusia yang lainnya".

Baiklah, sedikit banyak aku dapat membual pagi ini. Sedikit banyak, aku dapat melayangkan rayuan gombal pada matahari pagi yang masih tersipu malu bersembunyi. Dan sedikit banyak, aku dapat membohongi angin dingin yang berhembus untuk dapat memutar arah menjauh dari diriku agar tidak porak poranda sistem pencernaanku. Morning sickness dan aku menyebutnya dengan "rasa mules tak karuan akibat dinginnya udara pagi yang dihembuskan oleh alam".

Dimulai dari asrama putri Annisa jalan Kopi no 20 A. Bercerita tentang sebuah kisah nyata dari hari-hari seorang anak manusia bergelar mantan mahasiswa, manusia pembelajar yang sudah harus bertebaran di muka bumi dan bermanfaat bagi negerinya. "Ha...3x" manfaat pertama ia pikir dapat diberikannya melalui tulisan, yang disangkanya "blog kepunyaannya sarat dengan makna, hingga banyak manusia yang terjebak untuk mau tidak mau membacanya".

Annisa dicat kembali, di make up sedemikian rupa sehingga menyerupai gedung BTN begitu kata seorang kawan, mantan penghuni asrama, atau "seperti kantor pos" ujar yang lainnya. "Ha..3x" aku tertawa, bila dilihat lebih dekat, lebih nyata, asrama putri ini lebih nampak kantor pos cabang yang baru didirikan dan bersiap-siap untuk diresmikan.

Kapan mula renovasi dimulai? aku sudah lupa, tidak begitu memperhatikan, selain dari pada jejak-jejak kaki yang tukang-tukang cat tinggalkan di dalam kamar, hingga membuatku harus mengepel lantai berulang-ulang. Tapi tidak dengan hari kemarin, tanggal 8 September 2009, ketika bapak tua yang beberapa hari lalu mengecat pintu dan kusen kamar ku, hingga menyisakan bercak-bercak noda berwarna kuning tua di jilbab biru terbaru ku "whuaaaa".

Ini kisah sebenarnya dari bualan-bualan yang ada sebelumnya, yakk kembali buntu agaknya ini kepala. Tapi, mari mencoba menembus kebuntuan, mari mencairkan kekakuan dengan mengamati beberapa gambar di bawah ini



Gambar pertama, kira-kira apa yang dilakukan sesosok manusia di atas sana? kira-kira si manusia berada di ketinggian berapa ya???



Gambar ke dua



Gambar ketiga, ck...3x ternyata si manusia berada pada ketinggian yang luar biasa, atap dari lantai 3 gedung Asrama Annisa I.

Tidak ada SOP atau dalam bahasa indonesia kita menyebutnya "standard operation procedure" tentang kesehatan dan keselamatan kerja yang mereka gunakan. Modal nekad, ya aku lebih suka menyebutnya dengan istilah "modal nekad". Entah ilmu macam apa yang mereka gunakan, dan berani bertaruh, orang-orang bule bisa berdecak kagum melihat keberanian manusia-manusia Indonesia. Terlebih lagi, Manusia yang berada di atas atap sana, sudah lanjut usia.

Ketika saya mengambil gambarnya dari kejauhan, si bapak lanjut usia hanya melambaikan tangannya sembari tersenyum pada saya. "Ckkk..3x" saya hanya bisa tersenyum sembari geleng-geleng kepala. Luar biasa si bapak, subhanallah untuk ukuran saya dan terima kasih untuk gambarnya.
"Beginilah INDONESIA"


Tuesday, September 8, 2009

-futur-

Menyimpan harapan dalam rayuan. Harapan itu berisi asa-asa yang tak ingin putus begitu saja.

Nikmat itu tidak ada pada makanan,

nyaman itu bukan pada tidur yang panjang,

senang itu bukan pada gelak tawa bersama manusia.

Tapi, berdua bisa membuat tenang jiwa. Aku merayu Mu agar kiranya Engkau membuka pintu itu kembali, untukku...

-futur-

Wednesday, September 2, 2009

Simulasi terjadinya SUPERNOVA

keren sepertinya, maka subhanallah pada akhirnya

Rasanya saya mau berlari

"rasa-rasanya saya ingin berlari", begitu kata wanita itu.
"berlari? maksudnya?" saya tak mengerti.
"ya berlari, berlari menghindar" katanya "saya mau ganti nomor Handphone cep, ini nomor saya" dan dia pun menunjukkan barisan-barisan angka sebanyak 12 digit pada saya.

"Kenapa harus ganti nomor? Apa ada yang ingin kamu sampaikan pada saya? sampaikan saja, insya Allah saya akan mendengarkan". Ia tersenyum sinis, ia tersenyum pahit lalu "mendengarkan? bercerita? saya sudah lupa bagaimana caranya bercerita. Saya sudah terlalu sering mendengarkan keluhan manusia, saya bosan cep. Dan karena itu semua, saya lupa bagaimana caranya bercerita" Ia menundukkan wajahnya, menatap barisan-barisan ubin yang tertata rapi. Entah apa yang dilihatnya, yang saya tahu, dia mencoba mengalihkan pandangannya dari saya.

"Mungkin kamu bisa mulai dengan apa yang sedang terjadi padamu saat ini. Misalnya tentang kenapa kamu harus berlari atau lebih tepatnya menghindari masalah"

"Ummm" dia diam agak lama, menekuri lantai untuk kemudian "ada yang menghubungi saya cep, tadinya saya pikir dia kakek saya. Ternyata bukan cep humphhh" dia menghela nafas panjang, sedikit berat menceritakan dan saya hanya duduk diam, mendengarkan.

"Kamu ingat, saya pernah bercerita tentang mereka yang melamar saya cep?" saya mengangguk. "Beberapa dari mereka mulai menghubungi saya lagi cep. Dulu saya punya alasan menolak mereka dengan berkata -saya masih sekolah-, sekarang alasan itu sudah tidak ada lagi cep. Saya bingung cep, semua cara sudah saya coba, semuanya cep, semuanya dan kamu tahu itu semua. Tapi, tetap saja cep, saya tidak bisa berbuat apa-apa cep. Mungkin kamu anggap saya berlebihan, tapi buat saya ini menyiksa cep, ini benar-benar mengganggu kehidupan saya" ia kemudian terdiam, menundukkan wajahnya, matanya mulai berkaca-kaca.

Seberapa berat yang ia rasakan sebenarnya?

"Bagaimana dengan temanmu yang pernah kamu ceritakan dulu, yang pernah berkata -misalkan- itu"
"Dia? Humphh, belajarlah dari pengalaman orang lain cep, jangan pernah berharap pada manusia" dia menghela nafas panjang, "Dia punya kehidupan sendiri cep, saya tidak pernah akan bisa masuk. Kalimat yang dulu dia sampaikan pada saya, nampak seperti gurauan cep, sepertinya kalimat itu begitu sepele baginya. Sepertinya kalimat itu dianggapnya hanya angin lalu".

"Saya sudah lelah cep, saya sudah menyerah padanya, saya sudah bosan menunggu. Biar dia lakukan apa yang dia mau lakukan, Hasbunallah wa ni'malwakil cep. Karena kebodohan saya beberapa waktu yang lalu, akhirnya ia berhasil masuk ke dalam kehidupan saya. Dia hanya menimbulkan luka cep, dia tidak pernah berniat menyembuhkannya" wanita itu kembali terdiam. "Lagi pula, dia orang baik cep, dan orang baik akan bertemu dengan orang yang baik pula. Saya masih jauh dari baik cep, makanya tidak bisa bertemu di satu titik". "Dan kamu tau cep, saya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Pintu hati saya hanya untuk Nya, kembali hanya untuk Nya, tidak ada lagi benda asing yang boleh masuk" begitu tambahnya.

Matahari pagi semakin meninggi, alunan lagu silk road serasa menyayat hati. Saya tidak bisa merasa kasihan pada wanita itu, karena pada dasarnya ia memang tidak memerlukan belas kasihan itu.

"Kamu tau cep, wanita itu mau menikah bukan karena nafsunya, tapi karena fitnah yang selalu membuntutinya"

Ia kemudian berdiri, lalu beranjak pergi. "Tunggu dulu, apa maksud dari kalimatmu itu?"

"Sudah sampai jumpa, terima kasih sudah mendengarkan, terima kasih sudah membuat saya kembali merasakan seperti apa rasanya bercerita, Assalammu'alaikum" begitu katanya dari kejauhan.

Wanita itu berlalu pergi, semakin lama semakin hilang dari pandangan. Ia berlalu pergi tanpa menjawab pertanyaan yang saya ajukan. Ia berlalu pergi meninggalkan saya dalam kebingungan.

Tuesday, September 1, 2009

Jangan Salah Obat untuk Hati

Saya bukan penyembuh bagi luka hati manusia. Luka yang disebabkan oleh manusia yang lainnya. Saya hanya teman, teman yang bersedia mendengarkan bila diminta, teman yang bersedia memberikan solusi bila “ditanya”. Saya bukan obat, saya bukan antibiotic, saya tidak punya kuasa untuk menyembuhkan penyakit hati akut yang menyerang kalian-kalian yang bercerita.

Tidaklah bijak bila saya menempatkan diri saya sebagai obat, dan ketika mereka sudah merasa ketergantungan dengan saya, dan ketika saya terpaksa meninggalkan mereka, yang ada saya hanya membuat luka baru, bisa jadi lebih dalam dari sebelumnya.Saya tidak ingin masuk, kecuali hanya berdiri di depan pagar, untuk sekedar bertanya “apa kabar mu, keluarga mu, pekerjaan mu, dan mungkin sebagai bonus kamu boleh bercerita tentang luka hatimu akibat wanita-wanita itu. Tapi, menempatkan posisi untuk menggantikan wanita-wanita itu untuk menyembuhkan luka, maaf, saya rasa, saya pikir, saya bukan orang yang tepat.

Banyak yang main hati ketika ada sesosok anak manusia yang masuk ketika penyakit hati melanda, yang kemudian salah satu diantaranya atau bahkan keduanya merasakan “jatuh hati”. Dan ketika hanya salah satu pihak yang merasakan, maka yang timbul adalah pengharapan. Karena si sosok manusia itu mampu menghiburnya ketika rasa sakit itu dirasa.

Obat yang salah, manusia yang tadinya terluka, mungkin merasa ada pengganti yang bisa menghiburnya. Tetapi, pada dasarnya ia hanya membuka luka baru karena ternyata ia kembali mengharap cinta, kasih sayang pada manusia.

Saya bukan obat, saya hanya manusia, manusia pendengar. Saya tidak bisa, tidak akan pernah bisa menggantikan posisi wanita yang pernah menyakiti hati mereka, karena hanya Sang Pemilik hati yang bisa menyembukannya, hanya Dia yang mampu menentramkannya. Tapi, beberapa dari mereka kembali membuka luka lamanya dengan orang yang sama. Entah apa yang ada dipikirannya, karena “keledai sekalipun tidak akan jatuh ke lubang yang sama”. Ada pula yang menggantungkan harapannya pada wanita, pria lainnya.

“helaan nafas berat saya hembuskan”

Saya sudah berbuat semampu yang saya bisa, sisanya, kalian yang teruskan kawan. Karena itu jalan hidup kalian, kalian yang memilih, kalian pula yang menentukan pada apa dan siapa cinta itu kalian labuhkan.