Pages

Tuesday, November 29, 2011

KETIKA

Ketika, lelaki itu serta merta mengatakan -tidak suka- ketika aku berandai-andai dengan kata ketika yang tersirat dalam kata lainnya -bagaimana-.

"Mas, gimana yang kalau kamu enggak ada? aku gimana?" 
Begitu aku lontarkan pertanyaan pada suamiku hari itu

"hush, gak boleh ngomong gitu ah, mas gak suka"
Jawaban singkat sebelum kemudian ia kembali sibuk dengan setumpuk pekerjaannya yang ia bawa ke rumah.

"Ya sudah deh, aku tidur duluan ya, gak apa ya mas? nanti kalau perlu apa-apa bangunin aja ya"
"Iya" begitu jawabnya

Aku tidak tahu suamiku itu tidur pukul berapa, yang jelas pagi itu dia membangunkan aku seperti biasa untuk sholat tahajud kemudian menanti shubuh bersamanya, sampai pagi tiba.

Air keran pagi itu terasa begitu dingin menyentuh pori-pori kulitku yang tipis. Setiap basuhan air wudhu yang menyentuh terasa membangunkan setiap direktori-direktori syaraf yang tersebar di seluruh tubuhku. Melihat dia membentangkan sajadahnya di musholla kecil yang kami punya, musholla yang menjadi bagian dari rumah sederhana aku dan dia, yang sama mungilnya dengan musholla yang juga sama kecilnya dengan jumlah keluargaku, hanya aku dan dia.

Apakah aku satu-satunya manusia yang selalu teringat tentang kematian, tentang bagaimana kiranya seseorang yang aku sayangi ini pergi mendahului aku. Tentang bagaimana kiranya, aku pergi lebih dahulu meninggalkan dia, suamiku tercinta. Ya setidaknya begitulah aku berkata, memanggilnya dengan sebutan -suamiku tercinta-, menyampaikan padanya di sela-sela waktu kesibukannya.

"Iiih, kamu norak de"
Begitu katanya sekali waktu
"Mas juga cinta sama kamu"
Di waktu lain dia menjawab seperti itu

Aku pernah membaca sebuah ungkapan, mendengarnya, bahkan terus mengingatnya. Tentang "manusia yang pintar adalah yang selalu mengingat kematian". Kalimat itu terus menerus terngiang di kepalaku, tentang betapa aku begitu tertarik dengan kalimat itu. Atau sekedar obsesiku tentang pengakuan manusia yang pintar adalah manusia yang mengingat kematian. Entahlah, aku tak tahu, yang aku tahu kemudian pikiranku selalu tertarik sekaligus takut dengan kata "kematian" itu. Sesuatu yang gaib, yang tidak pernah ada satupun manusia yang mengalaminya kemudian dapat membagi ceritanya kepada manusia yang lainnya. Mungkin memang ada sebagian yang mengalami -mati suri-, tetapi masih diragukan kebenarannya.

Perpisahan, aku kembali teringat ketika dosen MK optik ku berkata kepadaku hampir 10 tahun yang lalu
"kamu harus menikah"
"saya tidak mau pak"
"kenapa? itu sunnah"
"sederhana pak, saya tidak sanggup untuk ditinggalkan, saya tidak suka dengan perpisahan"
Dosen fisika ku itu hanya terdiam, entah apa yang sedang ia pikirkan saat itu, aku tak tahu sampai kemudian dia berkata 
"maksud kamu dengan ditinggalkan?"
"Saya enggak suka pak, kalau suatu saat pasangan saya meninggalkan saya, atau dia meninggal dunia, saya tidak sanggup pak"
dia tersenyum, memperbaiki letak kacamatanya kemudian berkata
"...... setidaknya kita masih bisa menyimpan kenangan yang indah dengan dirinya..." 
hanya itu kalimat yang mampu aku ingat

Lelaki itu hanya membiarkan aku melihat punggungnya dari belakang, ia sedang tenggelam khusyuk di dalam lantunan zikirnya atau mungkin dia tenggelam di dalam doanya, ataukah ia sedang diam termangu memikirkan tentang sesuatu yang aku tidak tahu tentang apa itu. Sampai kemudian dia membalikkan badannya, memberikan tangan kanannya, kemudian aku mencium punggung tangannya itu. Sebagai bakti seorang perempuan yang sudah dia pinang beberapa waktu yang lalu.

Aku mencintainya dan rasanya aku semakin bergantung pada kehadirannya di sisiku. 

Tanpa terasa air mata itu menitik, jatuh begitu saja. Membasahi punggung tangannya
"kenapa?"
Begitu ujarnya, lembut, dia selalu begitu, suamiku itu selalu seperti itu. Suaranya yang lembut membuyarkan konsentrasiku pada jatuhnya titik-titik air mata itu.
"Enggak, cuma sayang sama mas"
"jangan bohong ah, bohong itu tandanya kangen"
Tangis ku terhenti, berganti tawa, tepatnya menertawai lelucon suamiku yang 
"enggak nyambung ah, masak bohong dikaitkan dengan kangen"

Ritual pagi itu terhenti begitu matahari semakin beranjak tinggi, menjadi alarm dari alam yang mengatakan bahwa suamiku harus segera bersiap diri pergi ke kantor pagi ini. Untuk menghindari kemacetan kota Jakarta yang kadang membuat panas hati dan pikiran manusia.

Seperti biasa membuatkan sarapan dan secangkir teh manis, meskipun sebenarnya suamiku ini tidak biasa sarapan. Tapi, memang dasarnya wanita yang begitu cepat terpengaruh dengan apa kata artikel kesehatan yang sebagian besar mengatakan "sarapan itu penting untuk kesehatan". Jadilah setiap pagi aku selalu memaksakan ego pada suamiku 

"Sarapan mas, wajib"
Mau tidak mau, dia menyantap sepotong roti yang aku panggang dengan mesin pemanggang roti. Tak banyak kemudian dia pamit pergi setelah meminum beberapa teguk air yang aku siapkan tepat di sebelah piring roti bakar miliknya.

"sudah ya de', mas pergi dulu ya"
Aku meninggalkan piring bekas sarapan di atas meja segera setelah mendengar suara berpamitan dari suamiku, aku mendatangi suamiku yang sedang sibuk merapikan sepatu yang dikenakannya. Melihat ia berdiri dengan tas kantornya, membenahi kerah kemejanya yang sebenarnya baik-baik saja. Membenahi letak tali ikat pinggangnya yang sebenarnya pun sudah rapi sejak tadi. Aku tidak tahu, pagi ini rasanya aku ingin menahannya lebih lama, 

"atau mungkin dia tidak usah pergi bekerja saja? Dia bisa memakai jatah cutinya atau misalkan gunakan alasan sakit, sepertinya juga bisa"

Lamunan ku terhenti ketika suamiku berkata
"de, mas sudah hampir telat lho. Jakarta kan macet"
"tapi, mas kan ke kantornya lewat jalan tikus. Gak naik kendaraan umum"
"iya tapi tetap saja, masak mas sampe kantor masih ngos-ngosan. Sudah ya mas berangkat dulu, kamu juga harus berangkat kerja kan?"
aku mengangguk
"nanti telat lho de, ya sudah mas berangkat dulu ya. Nanti mas kirim pesan kalau mas sudah sampai di kantor"

Aku hanya bisa terdiam, tidak berani mengungkapkan apa yang aku pikirkan beberapa saat yang lalu, tentang izin sakit itu, tentang cuti itu. Mencium punggung tangannya, kemudian dia pergi setelah mengucapkan salam
"Assalammu'alaikum"

"wa'alaikumsalam"
Aku melihatnya berjalan semakin menjauh dari rumah kami yang mungil ini, semakin lama ia semakin menghilang. Tidak seperti kapal yang terlihat bagai titik dari kejauhan, tetapi hilang begitu saja setelah melewati tikungan jalan kecil itu.

Sebagai akibat dari pikiranku tentang meninggalkan dan ditinggalkan, aku terlambat

"kok kamu terlambat"
Begitu kata carolina rekan satu kantor ku
"biasa, tadi di rumah agak sedikit sibuk 'lin. Memang kenapa? Pak Wendy nyariin saya ya?"
"enggak sih, cuma tumben aja kamu telat"
"Oh, kirain pak Wendy nyariin"

Pak wendy, dia adalah pimpinan untuk bagian marketing di perusahaan konsultan ini. Tak lama setelah lulus dari kuliah S2 ku, aku memutuskan untuk bergabung di perusahaan konsultasi ini dan alhamdulillahnya diterima. Karena memang konsentrasiku mengambil bidang marketing, maka begitu masuk aku segera di tempatkan di bagian marketing di perusahaan ini. Berada di bawah pimpinan bos yang satu ini, tidak begitu buruk, bos yang santai, meskipun terkadang menyulitkan karena tidak terbiasa dalam mengambil keputusan yang cepat.

"Hari ini ngerjain apa 'Ca" Carolina, gadis keturunan manado ini membuyarkan lamunanku tentang bos ku
"itu, buat analisa pasar untuk perusahaan -food company- yang kemarin tanda tangan kontrak dengan perusahaan kita lin. Dia mau -launch new product- tapi mau lihat peluang pasarnya dulu. Kemarin sih sudah dapat data pesaingnya dari Widodo"
Widodo itu rekan satu tim ku di bagian marketing untuk proyek kali ini.

Gadis cantik bernama carolina itu hanya terdiam, entah mengerti atau tidak dengan apa yang aku jelaskan, sampai kemudian
"ini lho lin, analisis data" 
"Oooooh, analisis data. Kirain apaan, bingung aku karena kemarin kan si Widodo udah bilang kalo dia yang analisa pasar untuk perusahaan itu. Kok kamu analisa lagi, hehehe" begitu jawabnya

 Aku tersenyum
"maaf salah sebut, maksudnya tadi itu analisis data dari hasil analisa pasarnya Widodo yang kemarin"
"Saya ke ruangan pak Wendy sebentar ya Lin, mau kasih hasil analisis. Daripada dia ngomel-ngomel bawel hehehehe"
"ya deh, semoga gak ada yang bermasalah dengan datanya" begitu ujar Carolina menyemangati

Hari yang sibuk, padat. Mulai dari menghempaskan sebagian dari tubuhku ke atas kursi kerjaku. Berkutat dengan program-program analisa di komputer kantor, sampai membuat -forecast- penjualan dari beberapa perusahaan yang menjadi klien dari perusahaan konsultan kami. Aku tak sempat membuka handpone ku, tak sempat bertanya pada suamiku apakah ia sudah makan siang. Bahkan aku pun hampir lupa dengan makan siangku, sampai Carolina berkata

"ca, kamu sudah makan siang belum? perasaaan kamu dari tadi bolak-balik melulu deh"
"masya Allah lin saya lupa" sembari melihat ke arah jam tangan ku, hampir pukul 13.00 WIB dan waktu makan siang hampir habis
"saya sholat dulu ya, sekalian makan siang. Kalau pak wendy nyariin saya tolong sampein saya makan siang plus sholat zhuhur ya Lin"
"sip deh" begitu ujar carolina

Sholat zhuhur kali ini, entah mengapa aku ingin menghabiskan waktu sedikit lebih lama di musholla yang kantor yang kecil ini. Merasa nyaman duduk di atas sajadah yang tersusun rapi tepat menghadap kiblat. Duduk terpaku sembari melihat ke arah jendela yang tepat mengarah ke luar. Melihat lalu lintas kendaraan yang padat  hampir terhenti. Tidak seperti biasanya, kepadatan biasa terjadi pada jam makan siang. Aku melihat k arah jam tangan pemberian suamiku.
"ini sudah lewat jam istirahat makan siang"
begitu gumamku sendiri

Aku melipat kembali dengan rapi alat sholat yang disediakan oleh kantor sebagai salah satu fasilitas bagi pegawai dan pengunjung muslim yang ingin menunaikan ibadahnya di kantor ini.

Sejenak sebelum aku menuju ruanganku, mendengar orang-orang berkerumun, berbisik, sekilas namun jelas
"...iya ada kecelakaan tadi gak jauh dari kantor. Gak tau apa sama apa, katanya korbannya 2 orang yang satu meninggal yang satu kritis tuh..."

Aku tidak begitu terkonsentrasi untuk mendengarkan selentingan yang belum lagi jelas kebenarannya. Kembali menuju lantai 7 tempat aku berkantor, menggunakan lift. Kali ini aku terlalu malas untuk berjalan melewati tangga, karena khawatir Pak Wendy mencari-cari aku yang tidak berada di meja padahal masa istirahat sudah lewat.

"ting" tepat lantai 7 pintu lift terbuka

Semua orang yang berkantor di lantai itu memandangku dengan pandangan aneh dan tidak merasa nyaman dengan pandangan itu, tepatnya aku tidak suka. Entah hanya perasaanku saja atau memang begitu. Oh ya, aku tahu dengan berdirinya Pak Wendy tepat di depan meja kerja ku, aku jadi tahu untuk apa pandangan-pandangan itu diarahkan kepadaku.

darahku sedikit berdesir
"mati aku, wajahnya nampak tak bersahabat. Tapi, bukan juga wajah ingin melahap karyawannya yang terlambat datang setelah waktu makan siang"
"ah, kalau dia marah, aku bisa bilang -tadi sibuk membuat analisis penjualan perusahaan yang tadi bapak minta-. Ya aku bisa gunakan jawaban itu"

"Rica, kamu pulang saja" pak Wendy secara tiba-tiba berkata seperti itu
'ah pulang, kenapa? apakah aku dipecat'
raut wajahku berubah seketika, antara masam, kecewa, marah
"tapi pak saya tadi......"
belum selesai aku memberikan penjelasan tentang mengapa aku terlambat kembali, carolina menambahkan

"itu ca, tadi ada telepon dari nomor suami kamu"
Suami? ah ya aku lupa belum bertanya tentang -makan siang- pada suamiku

"kamu ambil cuti saja, pekerjaan kamu biar Widodo yang ambil alih sementara" begitu pak Wendy memotong penjelasan Carolina, yang kemudian pergi menuju ruangannya meninggalkan kebingungan yang mendalam di dalam hati dan kepalaku.

"ada apa lin, suamiku telepon terus bilang apa? kamu bilang aku tadi lagi sholat kan?"
"sabar ya ca" begitu carolina berkata
"iya mbak, yang sabar ya" begitu widodo menambahkan
secara tiba-tiba mereka yang berada di ruangkan itu berkerumun mendekati ku, mengatakan hal yang sama

"masya Allah, kenapa 'lin" 
tiba-tiba carolina berkata 
"itu lin, suami kamu kecelakaan, sekarang di rumah sakit, rumah sakit tebet kata yang telepon. Aku gak tau gimana keadaannya, tadi yang telepon polisi ca"

Aku tak dapat berkata apa-apa, seperti inilah kiranya rasanya dari pertanyaan yang aku lontarkan tadi malam. Masya Allah, Tuhanku jangan sampai terjadi apa-apa pada suamiku. Lututku melemas, kaku, tak dapat menopang berat badanku yang tidak seberapa ini. Belum lagi sempat aku menyampaikan kabar bahagia padanya bahwa aku sedang mengandung anak pertamanya. Aku hampir jatuh kalau saja carolina tidak menopang tubuhku.
"Ambilkan air" 
Hanya itu yang dapat aku dengar
"diminum dulu ca, sabar ya ca. Tadi pak Wendy sudah suruh pak dito buat periksa kebenarannya"
"pak dito? siapa itu pak dito" aku mulai linglung
"itu bagian HR ca" 
"oh iya, maaf saya lupa lin"
"kamu yang tenang ya, yang sabar. Sekarang kamu mau apa?"
"saya mau ke rumah sakit aja Lin"
"iya, iya ke rumah sakit, aku anterin ya. Aku lagi gak sibuk kok, kerjaan aku udah selesai. Nanti biar widodo aja yang nyetir"

widodo mengangguk
"makasih ya" hanya itu yang dapat aku katakan

Sembari berdiri, bertumpu pada carolina aku mencoba menguatkan semua persendianku. Mencoba mengumpulkan tenagaku, mencoba menarik nafas yang dalam untuk menghadapi semua kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.

Lift ini terasa begitu lama turunnya, aku tak tahan. Terdiam dalam lamunan, sembari sesekali mendengar bisikan-bisikan dari karyawan yang lain

"......kecelakaannya di deket kantor kita. Katanya suaminya ditabrak sama motor, yang nabrak anak SMA......."

Di dekat sini? berarti kemacetan tadi akibat kecelakaan dan korbannya adalah kamu mas
"masya Allah mas"

"... iya katanya ada yang meninggal di tempat, tapi gak tau yang meninggal yang mana. Suaminya Rica katanya mau nyebrang ke arah kantor kita....."
"iya gitu? duh kasian ya, padahal baru nikah lho, punya anak aja belum........"
"hush, udah kerja sana, jangan gosip, doain aja........"
"........kerja kerja.."

Aku tak dapat lagi mendengar, kedua telingaku menolak untuk mendengar. Semua kemungkinan yang buruk aku coba tepiskan, hempaskan jauh-jauh ke dalam dasar jurang hitam yang dalam. Mencoba membangkitkan senyum di wajahku, menyembunyikan rasa khawatir itu. Senyum palsu untuk memanipulasi hati dan pikiranku agar tetapi berkata 'suamiku pasti baik-baik saja'.
Rumah sakit Tebet, yang tidak jauh tetapi kali ini terasa begitu jauh. Aku menatap setiap kendaraan yang lalu lalang menyalip mobil yang dikendarai oleh aku, carolina dan widodo. Pikiran ku melayang ke drama tadi pagi antara aku dan suamiku. Masih teringat jelas punggung tangannya yang aku cium beberapa jam yang lalu. Mencoba mengingat-ingat wajahnya, setiap guratan-guratan ketegasan yang bercampur dengan kelembutan. 

Menghela nafas panjang 'mas, semoga kamu baik-baik saja'

Tiba di rumah sakit, aku langsung berlari menuju meja resepsionis
"mbak, mau tanya, koban kecelakan di jalan ........., namanya ......... ada di ruang mana ya mbak"
"oh mbak ini keluarganya?"
"ya, saya istrinya"
"di ruang .........., no ......... mbak"
"ok, terima kasih mbak"

Dengan cepat aku bergegas menuju ruangan yang diberikan oleh perawat itu kepadaku. Aku tinggalkan entah dimana carolina dan widodo. entah mereka mengikuti tepat di belakang ku, atau meninggalkan aku pulang ke kantor, aku sudah tidak tahu.

Sepi, koridor ini sepi. Hanya beberapa perawat yang lalu lalang, sibuk dan aku tidak ingin mengganggu kesibukan mereka dengan bertanya apakah mereka mengenal pasien dengan nama ........ yang merupakan suamiku.

Ruangan ICU

Papan itu semakin menjelaskan bahwa keberadaan suamiku ada di situ, di dalam ruangan itu. Aku merasa tak punya cukup nyali untuk membuka pintu yang berada tepat di hadapanku. Sampai seorang perawat yang entah kapan datangnya berkata
"istrinya pak........., silahkan masuk bu"
ia membukakan pintunya

Bau rumah sakit, aku sangat tidak menyukai baunya. Suara alat yang digunakan untuk memonitor denyut jantung begitu jelas terdengar di kedua telingaku. Rasa penasaran akan kondisi suamiku terjawab sudah, tidak ada balutan perban di seluruh tubuhnya, hanya selang infus yang tertanam di lengan kanannya. Dan selang yang terpasang di hidungnya. Aku tidak tahu apa namanya, yang aku percaya selang itu dengan kedua cabangnya yang membantu suamiku bernafas.

Perawat wanita yang tadi membukakan pintu untukku, mencatat sesuatu yang aku tak tahu apa itu. 

"Suami saya enggak apa-apa kan mbak?"
itu pertanyaan pertama yang aku lontarkan sebagai pemecah kebisuan antara aku dan perawat wanita itu. Perawat itu tersenyum kemudian berkata "insya Allah enggak apa-apa kok bu, sebentar lagi juga dokter yang menangani suami ibu datang ke sini"

Benar saja tak berapa lama seorang dokter, yang usianya paruh baya dengan kacamata tebalnya, dengan stetoskopnya, tersenyum kepadaku sesaat. Kemudian berbicara dengan suster yang merawat suamiku yang entah aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tanpa banyak bicara, dokter tua itu memeriksa denyut nadi suamiku, memperhatikan monitor yang berbunyi "bib bib bib", kemudian melepaskan selang yang terpasang di hidung suamiku.

"suami saya kenapa dok? dia gak apa-apa kan dok?"
"suami ibu sudah tidak apa-apa. Hanya memang, pada saat dibawa kemari untuk beberapa saat jantung suami ibu sempat berhenti bekerja. Terkena benturan keras dari kendaraan yang menabrak, bersyukur masa kritisnya sudah lewat"

Ada tarikan nafas lega

"terima kasih dok"
"ok, saya tinggal ya. Ngomong-ngomong, selamat ulang tahun ya"

Dokter tua itu pergi meninggalkan aku begitu saja, dalam kelegaan dan 'terbengong-bengong' dengan ucapan selamat ulang tahun yang ia ucapkan padaku.

"Pada saat dibawa kemari, suami ibu memegang kotak berisi setangkai mawar putih. Di situ tertulis 'selamat ulang tahun untuk istriku', saya letakkan di atas meja bu. Tadinya mau kami buang, tapi suami ibu menggenggam kotak itu dengan kuat. Baiklah, saya masih harus memeriksa pasien lain bu, saya tinggalkan ibu di sini dengan suaminya. Biaya administrasi rumah sakit sudah di selesaikan oleh pihak kantor tempat suami ibu bekerja. Saya ucapkan selamat ulang tahun bu, permisi"

Perawat itu meninggalkan aku sendiri berdua dengan suamiku tertidur pulas di atas ranjang pasiennya. Aku hanya bisa diam, sembari sesekali mengucap alhamdulillah bersyukur suamiku baik-baik saja. Kembali titik-titk air mata itu jatuh membasahi pipiku, suamiku aku tak ingin lagi membayangkan seperti apa jadinya aku bila tanpa kamu di sisiku. Aku tidak akan pernah sanggup untuk itu.

Ruangan ini tidak begitu luas,  warna putih dan biru yang menjadi padu padan pada dinding ruangan menciptakan rasa tenang dan nyaman. Aku berdiri melihat sekeliling, mencari-cari kotak mawar yang perawat itu ceritakan padaku. Dan tepat di sebelah ranjang suamiku tersembunyi di balik vas bunga aku melihat sebuah kotak kecil, yang tingginya tak sampai 30 cm. Jari jemariku meraih kotak kecil itu, membukanya, menemukan setangkai mawar putih yang hampir habis kelopaknya, berjatuhan di dasar kotak kecil itu. 

Setangkai mawar yang diikat dengan pita berwarna merah. Disertai secarik kertas dengan tulisan tangan suamiku, tulisannya -jelek- dengan jujur aku berkata. Tulisan bersambung dari huruf ke huruf, dengan dua buah bait kalimat yang seperti biasa aku tidak mengerti apa maknanya, yang aku mengerti hanya kalimat yang terdapat setelah dua bait kalimat sastra rumit itu. 

"selamat ulang tahun istriku sayang"

kalimat singkat, tetapi begitu berarti bagiku

"hmmmh, sudah dibuka ya kadonya"
Suara yang tiba-tiba muncul itu membuyarkan lamunanku. serasa ingin pecah tangisku saat itu, serasa ingin menangis kencang berteriak, melihat dia sudah membuka matanya, kemudian tersenyum kepadaku.

"selamat ulang tahun ya, maaf lho kadonya jadi tinggal tangkai"
Serta merta aku memeluknya, sedikit erat atau memang erat
"aduh, duh de' jangan kenceng-kenceng meluknya, mas gak bisa nafas"
"iya, iya maaf, habis mas nikin khawatir"
aku tersenyum sembari menitikkan air mata
"jangan nangis ah, masak ulang tahun kok nangis, harusnya seneng kan udah dapet hadiah. Tapi hadiahnya bunga beneran dulu ya. Bunga bank kan gak boleh -dosa-" 

Ah mas, kamu masih bisa bercanda di dalam sakit mu itu. Tidak tahu kah kamu betapa besar rasa takutku mendengar kamu tak sadarkan diri untuk beberapa waktu. 

"Sudah dikasih hadiah kok gak bilang terima kasih sih. Mas ngambek lho"
begitu candanya
"iya, makasih ya mas"

Kemudian tangis itu pecahlah sudah, dalam sedu sedan tertahan aku menangis sembari mencium punggung tangannya. Tak ingin berhenti rasanya, aku pun tak tahu mengapa aku masih menangis padahal nyatanya suamiku baik-baik saja.

"Sudah de', mas enggak kenapa-kenapa. Jangan nangis ya, sudah jangan nangis ya sayang ya"
"Jangan sakit lagi mas, aku gak tau harus bagaimana kalau kamu benar-benar gak ada"
"Mas gak kenapa-kenapa kok, tadi cuma mau kasih kejutan sama kamu. Niatnya sih mau mampir sebentar ke kantor kamu, sambil bawa mawar putih, seperti beberapa tahun yang lalu. Ya, ternyata Allah maunya lain, tapi mas gak apa-apa de', sudah ya jangan nangis"

Tetap saja aku menangis tersedu sedan, tak tahan, entah kenapa aku begitu menyesal sudah berpikiran tentang apa yang akan terjadi padaku kalau dia, suamiku tidak adalagi di sisiku, maafkan aku ya Allah. Tak akan lagi aku ulangi pikiran-pikiran seperti itu.

"Kalau mas sakit lagi, nanti kasian bayinya........" kalimat ku terhenti
Suamiku terdiam, melongo lebih tepatnya, entah dia terlalu polos atau terlalu naif untuk mengetahui bahwa aku sedang mengandung anaknya, anak pertama kami berdua. 
"Bayinya siapa de........"
"Oh my God, masya Allah ternyata kecelakaan sudah membuat suamiku menurun dalam tingkat kecerdasan" candaku

"bayinya kita mas........ memangnya bayi siapa? bayinya tetangga? Mas ini gitu aja gak ngerti lho"
"duh de, mas kan lagi sakit, jangan diomelin dong" begitu candanya
"aku hamil mas, tuh kan berarti aku beneran perempuan"
"memang yang bilang kamu bukan perempuan siapa" 
dia tertawa, suamiku tertawa

"alhamdulillah" begitu lanjutnya
"alhamdulillah sebentar lagi rumah kita jadi ramai ya" begitu ujarnya

Melihat dia tertawa renyah, membuatku bernafas lega. Alhamdulillah aku masih bisa melihat senyumnya, Alhamdulillah aku masih dapat mendengar tawanya. Alhamdulillah aku masih dapat mencium punggung tangannya setiap kali ia berangkat dan pulang kerja.

Siang ini terasa begitu indah, oh ini bukan siang tetapi sore yang mulai menjelang malam. Deru mesin kendaraan semakin riuh ramai terdengar, semua orang ingin kembali ke rumah mereka masing-masing. Melepaskan penat seharian akibat dari begitu padatnya jadwal kerja, begitu merayapnya kepadatan yang ditimbulkan oleh ratusan, ribuan kendaraan yang lalu-lalang, dan mereka semua ingin pulang.

Aku dan lelaki itu, yang menjadi suamiku, tenggelam dalam rasa rindu yang tak dapat ditahan. Suara tawa kami berdua menjadi bagian dari kebisingan kota jakarta, menjadi bagian dari harmoni kehidupan di kota metropolitan yang tak pernah tidur kecuali begitu hari raya idul fitri dan hari libur tiba. Terima kasihku pada Mu ya Allah, aku tak dapat lagi berkata-kata, tak juga dapat melukiskannya dalam setiap baris kata tentang betapa besar rasa syukurku hari itu.

Ketika, aku tidak lagi ingin berandai-andai dengan kata -ketika- itu. Aku belajar tentang bagaimana mengingat kematian tanpa harus berpikir tentang meninggalkan dan ditinggalkan oleh sesuatu yang hidup, oleh kehidupan. 

"de, carolina sama suaminya sudah datang........."
Suara lelaki itu dan aku katakan padamu, dia suamiku -no conte partiro-
"iya mas, sebentar lagi"
"ibu........, dipanggil cama ayah, tata ayah ibu diculuh ke depan, tante calolina cama om blam udah dateng" 
Lelaki kecil, bocah lelaki kecil ini mau tidak mau menghentikan catatan usangku tentang cerita aku dan suamiku beberapa waktu yang lalu.
"iya sayang, ini ibu sudah selesai. Ibu matikan laptopnya dulu ya, biar apa........"
"bial hemat enelgi, benel kan bu"
"putra ibu pintar ya"

Aku menggendong bocah lelaki berusia 3 tahun itu, mirip sekali dengan ayahnya, suamiku. Menutup kisah hari ini dengan senyum, aku bahagia ketika harus menutup setiap harinya dengan bahagia di setiap sudutnya.

"sudah lama 'lin? maaf ya tadi lagi sibuk sebentar"

Waktu seakan terhenti sejenak, memberikan aku kesempatan untuk melihat dari dekat, dalam diam, wajah suamiku yang penuh dengan senyuman. Anak lelaki kecilku yang berlari ke sana ke mari dengan anak teman kerja ku dulu, carolina. Aku bahagia, bersyukur pada kuasa Mu ya Rabb Tuhanku. Aku sampaikan rasa syukurku melalui untaian zikir di dalam hatiku. Membiarkan ia turut serta bersama tiupan angin petang di hari yang cerah.

Kenangan akan kota jakarta dan riuh redamnya memberikan cerita yang penuh makna, sampai jumpa kota metropolitan, selamat datang di bumi parahiyangan. Aku akan membuka lembaran kisah yang baru di kota tempat kelahiran lelaki dewasa dan lelaki kecil mungil itu.