Pages

Saturday, December 3, 2011

saat itu...........,

Saat itu aku sedang sibuk dengan pekerjaan kantorku, ketika tiba-tiba telepon genggamku berdering

"telepon dari rumah, nomor rumah, nggak biasanya, kenapa ya?" aku bertanya pada diriku sendiri

"pak, ini bi sum" suara wanita yang sudah tua dari seberang sana menyapa ku. Bi sum adalah pembantu di rumahku, rumah kami, aku dan keluargaku

"nyonya masuk rumah sakit pak" begitu ujarnya singkat saat itu, beberapa tahun yang lalu, tepatnya 5 tahun yang lalu.

Aku tak tahu harus menceritakan apa kali ini, tidak banyak yang bisa kuingat dari apa yang terjadi beberapa tahun lalu. Tahun-tahun kelabu, kepergian istriku, selamanya, ya selama-lamanya. Kisah sedih yang sebenarnya tidak ingin aku bagikan kepada siapapun. Tidak juga kepada anakku, putra pratama zata. Melihat putra pertamaku berlari-lari dengan bi sumi, kasihan bi sumi. Wanita uzur yang menjadi bulan-bulanan kenakalan anakku yang baru berumur 8 tahun itu.

"ayah sini, main layangan sama putra" begitu teriaknya
Dia berteriak dari kejauhan, senyumnya mirip amat sangat mirip dengan dia, ibunya, istriku.
"iyaaaa, main sama bi sumi dulu ya. Ayah liat dari jauh aja ya de" begitu jawabku
Putra kecilku itu terdiam sejenak, memajukan bibirnya dan kembali, sama persis seperti ibunya
"yaaa ayah” dia mulai merajuk “Bi sumi gak asik, suka capek" begitu tambahnya
Aku hanya tersenyum
"Ya udah deh, ade main sama bi sumi ajah. Ayo bi', dipegang layangannya......" begitu lanjutnya

Aku tak lagi mendengar celoteh jenaka putra kesayanganku itu, yang aku dengar hanya suara tawa jenakanya yang berlari-lari membuat kelelahan pembantuku yang sudah amat tidak lagi muda itu.

Angin petang yang menyejukkan, wahai dinda ku Rica Artanegara. Aku tak dapat berbuat apa-apa, selain menatap rumput yang basah karena hujan sesaat di siang hari. Kemudian melayangkan pandanganku jauh ke langit yang biru. Tak tahu harus seperti apa mengekspresikan wajahku. Hanya tatapan hampa mengingat wajah manjamu yang benar-benar engkau wariskan pada putra, anak kita berdua.

Orang bilang, sinetron-sinetron itu bercerita, film-film korea atau film asing lainnya, atau bahkan film indonesia, mereka berkata orang yang meninggal, yang baik hati pasti berada di langit yang tinggi. Bersama Tuhannya, Allah swt, kebenarannya? seandainya aku masih anak-anak, ingin aku mempercayai itu. Tetapi, kita berdua tahu, hisab itu ada. Sedang apa kamu di sana, dunia yang sudah berbeda antara aku dan kamu. Semoga kamu tenang berada di sana. 

Waktu begitu cepat berlalu Dindaku sayang, 5 tahun itu tak begitu terasa. Taman ini tak lagi seperti dulu, sudah banyak permainan anak-anak di dalamnya. Aku teringat ketika kamu berkata 

"Mas, kalau aku punya tanah. Mau aku buat taman bermain, biar orang lain pun bisa main di taman itu" begitu ujarnya saat itu

"Amiiiin, iya nanti pasti kita punya" begitu jawabku atas mimpinya beberapa tahun yang lalu

Lamunan-lamunan akan masa-masa itu, kemudian membawa ku ke masa 5 tahun yang lalu

"pak saya izin pulang duluan, istri saya masuk rumah sakit"
"oh ya? ya sudah kalau begitu. Kalau ada kabar apa-apa, kasih tau saya ya, you tau kan kemana harus hubungi saya" begitu pak prasetyo General Manager ku berkata
"baik pak, saya permisi"

Aku bergegas membereskan semua file-fileku. Memasukkannya ke dalam tas, kemudian membawanya pergi. 

Dalam setiap langkahku, aku hanya dapat berdoa, berharap-harap dalam cemas semoga istrimu baik-baik saja. Masih begitu jelas di dalam ingatan ketika pagi ini, dia berkata
“mas mas, kalau sudah sampe kantor bbm aku ya” begitu ujarnya
“iya, insya Allah begitu sampai mas langsung bbm kamu” jawabku sembari memastikan bahwa ujung celana panjangku tidak terselip di dalam kaos kakiku.

“jangan males bbm aku ya mas, kalo males tandanya..........”kalimat istriku terhenti, kemudian
“tandanya kangen” begitu kami berdua menjawab pertanyaan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan jawabannya. Aku dan dia pun tertawa, sampai ketika aku tersadar bahwa jam tanganku sudah menunjukkan pukul 7.30 pagi.

“mas berangkat ya de, putra mana?”
“bi.. bi sumi, putranya bawa sini bi’, ayahnya mau ke kantor” begitu istriku memanggil pembantu kami yang sudah separuh baya itu.
“sini bi, biar saya yang gendong, bibi beres-beres di belakang aja ya” begitu ujar istriku
“putra sayang, ayah pergi dulu ya. Jagain ibu ya, kan jagoan ayah” begitu ujarku pada jagoan pertama di dalam keluarga kecilku itu. 

Putra kecil ku itu mengangguk mantap, tatapan matanya tajam, persis seperti ibunya
“miriiiip banget sama kamu de” begitu ujarku pada istriku pagi itu.
“ya iyalah mas, kan anak aku, hahaha” dia tertawa, tertawa renyah.
“ya udah mas berangkat ya, sini cium tangan mas dulu dong” aku pura-pura merajuk pada istriku
“iya dede cium tangannya” ujar istriku

Dia meraih tangan kananku, menciumnya lama sekali. Pagi itu terasa berbeda, tetapi aku tak merasakannya, atau memang aku yang tidak terlalu peka. 

“putra cium tangan ayah” begitu perintah istriku pada anak lelaki ku itu
“mas berangkat ya, assalammu.......” belum selesai aku mengucap salam, istriku berkata
“mas..........uumm, cuma mau bilang, dd sayaaaaang sekali sama mas azzam” begitu katanya

Pagi itu, pagi ini, dan sekarang, apa yang terjadi pada kamu Rica. Perjalanan ini terasa begitu lama, padahal jalanan tidak begitu ramai, mendekati hari minggu sebagian besar warga kota jakarta, kota metropolitan ini memilih untuk pergi keluar kota. Melepaskan diri dari kepenatan yang sudah mengekang selama berhari-hari.
Dan hari pun mulai beranjak petang, aku menjadi terlalu lama di jalan. Lalu lalang kendaraan, semua ingin pulang ke rumah. Laju kendaraanku terasa begitu lamban, meskipun aku sudah mengupayakan untuk menekan pedal gas agar bisa segera sampai ditujuan. 

Rumah sakit ini, sama seperti istriku, aku tidak suka dengan rumah sakit. Sejak dulu aku selalu berkata “kita harus sehat ya de”, “iya” begitu jawabnya. Tapi hari ini, siapa yang mengira aku akan berada di sini, memarkirkan mobilku. Kemudian bergegas pergi menuju ruangan tempat istriku di rawat.

Sesampainya di sana, adzan maghrib itu memanggilku. Tepat sekali, aku sempat terhenti, berdiri di persimpangan jalan yang menunjukkan arah kiri tempat dimana istriku dirawat. Dan arah kanan tempat mushollah rumah sakit berada.

“mas, jangan ditunda sholatnya” begitu ujar istriku beberapa tahun yang lalu, di hari-hari pertama aku menjadi suaminya.

Langkah kaki dan hatiku, membawaku ke arah kanan, ke tempat dimana istriku ingin aku berada saat ini, ke tempat dimana aku bisa menjernihkan akal pikiranku. 

Mendengar air keran itu mengucur jatuh ke bawah, membasuh wajahku, kedua tanganku, menegakkan sholat 3 rakaat beserta sunnahnya yang berjumlah 2 rakaat itu. Aku selesai, kemudian terpekur, terdiam dalam renungan panjang, mengangkat kedua tangan sembari meminta agar istriku baik-baik saja.

Dan kini, di sinilah aku, di Ruang ICU, ruangan yang mengingatkan aku pada 3 tahun yang lalu. Dan saat itu aku juga berada di ruang yang sama dengan kamu sayang, istriku. Mengingat saat-saat itu, melihat wajahmu yang menangis tersedu sedan di sore menjelang malam, aku tak sanggup. Dan kali ini, kamu yang berada di sini, di atas ranjang rumah sakit ini. Dengan selang infus yang terpasang di lengan kananmu. Dengan selang bercabang yang terpasang di hidungmu, dengan alat bantu nafas itu. Alat yang memunculkan suara "bip bip bip" aku tidak suka itu, kamu tidak seharusnya berada di sini sayang.

Ruang yang didominasi oleh warna putih dan biru, pucat pasi seperti wajahmu saat ini. Aku hanya bisa menarik nafas panjang, melihat istriku, kamu berada di tempat ini. Untuk sakit yang aku tidak begitu mengetahui seperti apa persisnya ia bisa berada di dalam tubuhmu.

Suara derit pintu membuyarkan lamunanku
"Pak Azzam pratama?" seseorang memanggil namaku
"ya saya, saya azzam pratama" begitu jawabku

Lelaki itu berkacamata tebal, dengan stetoskop terlingkar di lehernya. Dia masuk menghampiriku dengan seorang suster perempuan bersamanya, lengkap dengan map yang berisi kertas-kertas yang aku pikir 'itu pasti rekaman hasil pemeriksaan istriku'. Dan aku pikir lelaki itu pastilah dokter yang merawat istriku.
"bisa saya bicara berdua dengan bapak?" ujar dokter tua itu padaku
"oh ya tentu dok" jawabku
"Tidak di sini, supaya tidak mengganggu pasien yang sedang beristirahat" begitu ujar dokter tua itu. 

Aku mengikutinya dari belakang, sembari pikiranku menerawang, menerka-nerka seperti apa kiranya wejangan tentang kesehatan istriku, yang akan dia sampaikan kepadaku.

Dokter itu membawa aku ke ruangannya, yang tidak berada jauh dari tempat istriku dirawat. Rumah sakit ini nampaknya memang membagi ruang berdasarkan jenis penyakitnya. Darahku berdesir begitu aku melihat papan nama yang tertera di pintu masuk ruangannya. Dr. Muhammad Firdaus SpOnk. Onk untuk apa? Onk? seperti pernah mendengarnya, tetapi aku tidak tahu kapan dan dimana tepatnya.

Dokter tua itu membuka pintu ruangannya, dan mempersilahkan aku duduk. Ruangan yang lumayan luas, terdapat dua ranjang pasien di dalamnya. Dengan alat-alat periksa yang aku tak tahu apa namanya dan untuk apa kegunaannya.

"Begini pak azzam, bapak tau ibu Rica sakit apa?" katanya membuka pembicaraan

Aku menggeleng, tidak tahu. Mataku masih liar berkeliling ke sana ke mari, sesekali mencuri pandang ke segala arah. Sampai ketika mataku melihat gambar kesehatan yang terpajang di salah satu sudut ruangan dokter SpOnk ini. Sepasang payudara wanita, gambar itu menjelaskan tentang bagaimana sel-sel kanker terbentuk, seperti apa penyebaran di dalam tubuh si penderita bila sudah memasuki stadium II, III, dan IV. 

Belum sempat mendengar penjelasan dokter itu, lutut ku melemas, bulu romaku merinding tidak jelas, darah ku berdesir, berkali-kali aku mengucap -astaghfirullah-. Dan aku semakin yakin SpOnk itu sebutan untuk spesialis onkologi, istriku pernah bercerita padaku beberapa waktu yang lalu.
"apa yang terjadi pada dirimu, istriku" gumamku
"pak......, pak pak azzam” suara dokter itu membuyarkan lamunanku
"oh, eh iya dok, maaf, jadi ada apa dengan istri saya dok. Istri saya tidak apa-apa kan dok?" tanyaku padanya

Lelaki tua itu hanya terdiam, kemudian berkata
"kami akan berusaha semampunya, kanker istri bapak sudah memasuki stadium IV. Sebenarnya saya sejak awal sudah menyarankan untuk pengangkatan payudara istri bapak, keduanya. Tetapi istri bapak menolak, saya pikir.........."

Kepalaku pusing, aku seperti ditimpa batu yang sangat keras. Kanker payudara stadium IV, hati ku berteriak, aku menjerit di dalam alam pikiranku. Terpekur menatap meja kayu yang mungkin usianya sudah sama seperti dokter Onkologi ini. Aku tak tahu apa yang sedang dokter ini bicarakan, kedua daun telingaku menutup serta merta pendengaranku.

Dengan terbata-bata aku berkata
"jadi maksud dokter, istri saya sekarang dalam keadaan kritis?"
Dokter yang aku pikir usianya sekitar 55 tahun itu menghela nafas panjang.
"Maafkan saya pak, yang bisa kita lakukan saat ini hanyalah berusaha dan berdoa" 

aku seperti manusia yang lupa bahwa aku beragama, sampai kemudian aku berkata
"tolong dok, lakukan apa saja untuk keselamatan istri saya. Saya akan bayar berapapun dok"
Suara putus asa seorang anak manusia, aku sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa, aku tidak tahu.

"Tenang pak, kami sedang berusaha yang terbaik untuk istri bapak" begitu ujar dokter firdaus saat itu

Aku terdiam, mengenangkan pertanyaan istriku beberapa tahun yang lalu
"mas, kalau kamu enggak ada, aku gimana ya?"
Dan saat ini, aku yang bertanya pada diriku sendiri
"Kalau kamu enggak ada, mas gimana de" 

Aku berdiri, mengucapkan terima kasih dan permisi undur diri. Aku tidak mendengar apa yang dokter itu sampaikan sebelum aku benar-benar meninggalkan ruangannya. Pikiranku silang lintang, liar berlari ke sana kemari. Teringat dengan anak ku yang baru berumur 3 tahun, sedang apa dia, dengan siapa dia di rumah. Belum lagi keluarga istriku di Yogya, bagaimana aku mengabari mereka. Dan bagaimana caraku mengabari ibuku. Pikiranku melayang tidak jelas, asaku hampir terbang bersama petang yang semakin menjalar menjadi malam yang gelap.

Langkahku seolah-olah terpatri dari satu ubin ke ubin lainnya di rumah sakit ini,
"Masya Allah de', kenapa mas gak kamu kasih tau" aku bergumam sendiri di dalam hati sembari memacu langkahku menuju kamar istriku dirawat. 

Dari jauh aku melihat mereka, orang-orang yang aku kenal, mertuaku, keluarga dari istriku, ibuku. Tatapan mereka, tatapan yang menjelaskan bahwa mereka sudah lama tahu tentang sakit istriku itu. Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibir mereka, selain air mata. Ayah istriku pun menatapku dengan tatapan merah, menahankan tangis.

-ah ya tidak mungkin ayah menangis, ayah lelaki- dan ego lelaki itu tak dapat menahanku untuk menangis di hadapan ibu dan ibu mertuaku.

"Sabar ya zam, kamu yang sabar ya nak" begitu ujar ibu mertuaku

"Mas, mbak rica mau ngomong. Dari tadi ditungguin katanya" begitu ujar tika adik perempuan istriku. Menurut cerita istriku, adik perempuannya ini, Tika Artanegara, lucu. Aku teringat ketika istriku berkata
"Adik perempuanku itu mas, sukanya tidur. Kalau sudah ngantuk, gak liat tempat, di tempat umum aja dia bisa tidur" Dan istriku tergelak menceritakan kebiasaan buruk adiknya itu
"iya, makasih ya tik. Putra sama siapa?" tanyaku
"Putra sama bi sumi di rumah mas, Nina sama nani juga ada di rumah kok" begitu jelasnya
Nina dan nani, ah ya adik kembarku. Setidaknya aku bisa bernapas lega, putra berada di tangan orang-orang yang mengasihinya.

Langkahku terasa begitu berat, gagang pintu ruang ICU itu terasa sama beratnya dengan langkah kakiku saat itu. -Bismillah- aku tidak boleh nampak sedih di depan istriku, harus tersenyum aku harus tersenyum- begitu gumamku di dalam hati.

Dan ketika aku membuka pintu itu, nampak olehku seorang wanita, lengkap dengan jilbabnya, berwarna putih cerah, seperti wajahnya. Wanita itu, yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit itu sudah menjadi istriku selama 3 tahun. Bersamanya merupakan anugerah terindah yang Allah berikan kepadaku. Wanita yang tidak pernah menuntut apa-apa selain 

"aku mau suamiku baik agamanya mas, bukan cuma tau, bukan cuma ngerti, tapi memahami"

Begitu ujarnya suatu hari ketika aku menunda sholat isyaku. Masih jelas wajahnya yang cemberut, memalingkan muka ketika aku berkata
"Nanti de sholatnya, mas gak suka dipaksa-paksa"

Dan sejak saat itu, aku sebisa mungkin membuat jadwal sholatku selalu di awal waktu. Ah istriku melihatmu terbaring seperti sekarang ini, aku tak sanggup. Mengapa kamu berada di situ? mengapa tak kamu beritahu pada suamimu ini tentang penyakitmu.

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menerus melanglang buana di dalam kepalaku, sampai ketika suara lembut itu memanggilku

"Mas, mas azzam" suaranya lirih, menahan sakit yang entah seperti apa, aku tak tahu
bergegas aku menghampirinya, menarik kursi yang berada di sebelah menja yang berada tepat di samping ranjang istriku.

Suara kursi itu tetap tak dapat memecah kebisuan antara aku dan istriku
"suara kursinya berisik ya mas, diangkat aja" begitu katanya
"iya ya de, mas kan gendut, jadi kuat angkat kursinya" begitu candaku
Istriku itu hanya tersenyum
"iya mas gendut, baru tau ya" begitu balasnya

Aku letakkan kursi itu tepat di sebelah kanan istriku. Aku hempaskan tubuhku di kursi rumah sakit itu, kemudian menggenggam tangannya, bermain-main dengan jari jemarinya, menggaruk-garuk telapak tangannya.
"apaan sih mas, geli" begitu ujarnya
"biarin geli, habis kamu jahat sama mas. Sakit gak bilang-bilang" jawabku sembari tersenyum
"mas, liat dede" begitu dia memintaku. 

Dia memintaku untuk menatap wajahnya, melihat langsung jauh ke dalam matanya. Selalu seperti itu, bila dia ingin berbicara tentang hal-hal yang serius. Dan kali ini aku tahu dia ingin berbicara tentang apa dan aku pun tahu aku tak akan sanggup untuk itu.
"mas, jagain putra ya" dia terdiam sejenak
"aku minta maaf, enggak bisa jadi istri yang baik" tambahnya

Wanita yang menjadi istriku itu tersenyum sembari menitikkan air mata. Ia menghela nafas panjang sembari menggenggam erat jari jemariku. Aku tak dapat berkata apa-apa, hanya menundukkan kepala menahankan air mata yang akhirnya jatuh juga.

"aku..... aku, mau istirahat panjang. Nanti, kalau mas ketemu dengan yang lebih baik dari aku, nikah aja ya mas. Aku enggak apa-apa, yang penting mas bahagia. Aku cuma minta satu hal, wanita yang akan menggantikan ku, harus sayang sama putra. Aku......." terbata-bata ia menyampaikan pesan-pesannya.

Pesan-pesan yang aku tak ingin mendengarnya, pesan-pesan yang kemudian aku hentikan di tengah jalan, aku hempaskan begitu saja pesan-pesan terakhirnya. Aku biarkan terbang bersama hembusan angin pendingin ruangan yang semakin terasa dingin membekukan seluruh isi kepalaku.

"Sudah ah, istirahat, jangan ngomong terus. Kata dokter dede harus banyak tidur, banyak istirahat, biar obatnya bisa bekerja dengan baik" begitu ujarku

Istriku hanya tersenyum, menatap mataku, dan kali pertama aku tak sanggup menatap jauh, lekat kedua matanya. Secara tersirat ia sudah melambaikan bendera putih tanda menyerah pada kehidupan. Oh tidak dia tidak menyerah, istriku sudah berusaha sekuat tenaga, dan ia pasti sembuh, segera. Atau saat ini aku sedang bermimpi, mimpi yang sedikit lama memang. Tetapi aku yakin ketika terbangun, istriku akan berada tepat di sebelahku, tertidur pulas. Atau, aku sedang tertidur dan istriku akan mencubit lenganku untuk membangunkan aku.

"Mas....... mas"
suaranya kembali membuyarkan anganku akan mimpi-mimpi itu.
"iya, kenapa de?" ujarku sembari menatap lembut wajahnya, membelai rambutnya kemudian memperbaiki letak selimut yang menutupi separuh dari tubuhnya.

"sudah sholat maghrib belum?" dia bertanya
"sudah de?" jawabku
"kalau dede gak ada, sholatnya jangan ditunda ya"
"iya" jawabku
"tiap hari harus push up 5 menit, sit up 5 menit ya"
"iya" jawabku
"sholat tahajud sama sholat dhuhanya jangan lewat ya?"
"iya de" jawabku
"janji sama dede?"
"iya mas janji, udah ah, kamu tidur ya" jawabku sembari mengakhiri kalimatnya, permintaannya bagaikan ucapan perpisahan bagiku. 

"ya udah, dede tidur dulu ya. Dede capek mas, mau istirahat, mas nyanyi ya. Lagu kebangsaan mas itu, yang bahasa inggris" pintanya padaku

Aku terdiam, menatap wajahnya, ya Allah ingatkan aku pada wajah wanita ini, wanita yang sudah menjadi istriku selama beberapa tahun terakhir ini.

"mass... jangan ngelamun, lagunya mana" suara manjanya membuyarkan lamunanku
"iya ini mas nyanyi” ujarku
-i love you, you love me, we are happy family-.
Udah ya, sekarang tidur" pintaku setelah menyanyikan lagu yang aku tidak tahu siapa pencipta lagu itu.
"sekali lagi mas............"
"iya deeh tapi lain kali bayar ya" begitu candaku

Dia hanya tersenyum lemah di atas ranjang rumah sakit yang membuat aku semakin sakit setiap kali melihatnya.

"ayo nyanyi lagi mas.... kok diem, ngelamun ya" katanya
"iya ini nyanyi -i love you, you love me, we are happy family. Udah ya sekarang tidur"
"Nanti dulu, terakhir dede minta mas bacakan surat Ar Rahman. Seperti waktu dulu, waktu mas melamar dede, kan mas kawinnya itu" begitu pinta istriku
"Aduh dede, kamu kan harus tidur" begitu ujarku
"Enggak, dede mau tidur sambil denger mas bacakan surat itu" begitu rajuknya padaku
"Ya deh, mas bacain, tapi kamu sambil tidur ya de. Kan kata dokter kamu harus istirahat" begitu aku meminta pada istriku
"iya, dede sambil tiduran" jawabnya sembari menarik nafas panjang, kemudian memejamkan matanya perlahan

Aku mulai membacakan kalam Allah itu, masih begitu jelas teringat dia yang berkata
"Kalau mau nikah sama aku, kamu harus hapal juz 30. Terus surat Ar Rahman jadi mas kawinnya, kalau enggak bisa ya udah, nikah sama orang lain aja" begitu tantangnya.

Rasa ego lelakiku membuat aku menerima tantangannya dan keberhasilanku itu berbuah dia menjadi istriku beberapa bulan berikutnya, di tahun yang sama.

Setiap ayat dari surat Ar Rahman yang aku bacakan itu, terasa begitu pilu terdengar di telingaku. Sembari menitikkan air mata aku melihat setiap guratan-guratan lelah yang terlihat di wajahnya. Wajah pucat pasi itu tersenyum kepada ku, kemudian berkata

"terima kasih ya mas, mas sayang gak sama dede?"
"iya mas sayaaaaang sama kamu de" begitu ujar ku sembari mengecup kening istriku itu
"dede sayang gak sama mas?" tanyaku
"iya, dede sayaaaaang sekali sama mas" suaranya nyaris hilang, tak terdengar
"sebesar apa?" begitu tanyaku
"sebesar angka 1 dibagi 0" begitu jawabnya
"diteruskan baca Ar Rahmannya" pintanya padaku
Aku melanjutkan bacaan ke ayat berikutnya, sampai ketika aku tiba di surat yang berarti
-nikmat Tuhan yang mana lagikah yang engkau dustakan-,

Aku melihat wajah istriku terpejam, menitikkan air mata. Ia bergumam yang aku tidak ingin tahu apa gumamannya itu, tetapi dengan jelas aku dapat membaca gerak bibirnya,
"ashadualla ilahaillallah, wa ashaduanna muhammadurrasulullah" begitu ucapan terakhir dari bibir wanita yang amat ku sayang itu.

Dan semua terasa terhenti, nafasku pun aku rasakan ingin berhenti. Alat pantau denyut jantung itu tak lagi berbunyi -bip bip bip-, ia sudah berganti dengan bunyi -bip- yang panjang, dan terasa begitu memekakkan telinga.

Aku mundur merapat ke dinding ruangan, menjauh ketika beberapa perawat dan dokter yang merawat istriku datang, membuka pintu kemudian mulai mengupayakan segalanya untuk mengembalikan nafas istriku.
"de, selamat jalan. Mas sayang sama kamu" begitu ujarku





Semua ingatan-ingatan itu seakan-akan ingin pergi dari dalam kepalaku, sekuat tenaga aku menahannya, menyimpannya di dalam memori, aku tidak ingin lupa, tidak ingin melupakannya.


"ricaa......" begitu isak tangis ibu mertuaku
"mbak rica.........." adik iparku tersedu sedan memanggil-manggil kakak perempuannya itu

Riuh ramai terdengar, bercampur dengan suara betapa sibuknya dokter dan perawat-perawat itu menggunakan alat-alat yang aku tak tahu apa namanya, yang aku tahu pasti, mereka ingin mengembalikan denyut jantung istriku. Tapi, aku tahu Allah menginginkan sesuatu yang lebih baik daripada itu, Dia mengambil apa yang sudah Dia titipkan padaku beberapa tahun yang lalu.

Bayang-bayang RIca seakan berlari-lari di depan mataku. Masih begitu nampak jelas wajahnya ketika pertama kali menjejakkan kaki di kampus ku. Ketika itu aku dan dia secara tidak sengaja berpapasan di depan lab komputer tempat aku biasa menghabiskan waktu bersama teman-teman satu jurusanku . Sejak saat itu aku tahu bahwa, wanita berkerudung itu sudah menarik hati ku.

Masih segar pula di dalam ingatanku, ketika dia berkata melalui pesan singkatnya, di tahun 2006
"Azzam, saya punya tumor lho" begitu dia memberitahuku dalam canda dan tawanya

Dan saat itu, sebagai temannya, aku hanya bisa mendengarkan, memberikan saran padanya untuk memeriksakan benjolan yang ada di dadanya, tetapi

"enggak ah, malu, dokternya cowok semua" begitu katanya

Tahun-tahun berlalu sejak tahun 2006 itu, Aku tak lagi berkirim pesan padanya. Egoku berkata, aku harus menghentikan komunikasi yang terjadi antara aku dan dia. Aku tinggalkan dia dalam keadaan terluka, sampai ketika di tahun 2011 aku mencoba memetakan sejauh mana kesempatan yang aku punya untuk menjadi pendamping hidupnya.

"Ummmmm, tapi saya sakit lho zam. Itu lho, tumor yang dulu, sekarang malah ada dua" begitu ujarnya. Dan kembali dia hanya tertawa begitu menyampaikan hal itu padaku. Entah dia memang menganggap tidak ada apa-apa dengan tumornya itu, atau dia mencoba menyembunyikan rasa kekhawatirannya dariku.
"Enggak apa, kan bisa diobati" begitu ujarku saat itu.

Tak lama berselang, sebuah pesan singkat dia kirimkan kepadaku. Pesan itu aku terima di akhir bulan november di tahun yang sama, 

Katanya "zam, tumornya jadi 3, sakit......." begitu pesannya

Serta merta aku meneleponnya, mendengarkan dia menangis terisak-isak, dia bilang
"Aku takut zam, aku takut......., kamu nikah sama orang lain aja ya. Aku sakit" begitu ujarnya dalam suara tangis yang tersedu sedan.

"Enggak, saya sudah bilang. Kalau saya mau nikah sama kamu, ya sama kamu. Kalau sakit, nanti kita bisa obati, kamu yang sabar ya" begitu aku mencoba menenangkan perasaannya saat itu

Dan kini, beberapa tahun setelah itu. Di sinilah aku, berdiri, menggendong putra yang tidak tahu apa-apa. Akalnya masih belum dapat mencapai tentang apa yang terjadi pada ibunya.

"Ayah, kenapa ibu masuk di dalam lobang?" begitu tanyanya padaku
"ibunya putra, lagi mau tidur, ibu capek" begitu kataku
"ooo capek ya, karena putla ya 'yah?" dia kembali bertanya, dan aku semakin tak tahu harus menjawab apa kecuali tersenyum kemudian mengusap-usap rambutnya.

"bukan, bukan karena putra kok. Kata ibu, putra jangan nakal ya, nurut sama ayah" jawabku atas pertanyaannya dan aku tahu jawabanku itu belum akan cukup memenuhi rasa keingintahuannya itu.

"iya, tapi nanti putla bisa ketemu ibu lagi kan?" putraku itu kembali bertanya

Pertanyaan itu membuatku terdiam, tak mampu menjawab. Aku tak tahu harus menjawab apa, aku tak bisa membohonginya, meskipun aku tahu dia pasti tidak akan tahu kalau aku sedang membohonginya saat itu.

"Putra...., sini sama Oma ya, kita liat mobil-mobilan putra di mobil ayah ya" begitu ibuku mencoba membujuk cucunya.

Untuk beberapa saat, aku terbebas dari pertanyaannya yang terasa begitu pilu ketika mendengarnya. Tapi, entah aku harus menjawab apa bila di hari-hari berikutnya dia bertanya tentang dimana ibunya.
"zam, mau ikut ke dalam gak?" suara ayah mertuaku membuyarkan lamunanku
"iya yah, saya ikut" begitu ujarku

Aku turun ke dalam liang lahat istriku, membenarkan posisi jasadnya, membuka tali kain kaffannya dan ayah mertuaku mencium lama dahi anak perempuan pertamanya itu. 

"Baik-baik di sini ya nak? ayah doakan dari jauh" begitu ujar ayah mertuaku itu.

Dia menegakkan tubuhnya, sesaat untuk pertama kalinya aku melihat ia menitikkan mata. Semua sudah tertutup dengan papan, hanya tinggal wajah istriku, yang pucat dan dingin.

"Kamu pernah bilang de, kamu akan bagaimana kalau mas gak ada. Sekarang, mas yang balik bertanya pada diri mas sendiri, bagaimana mas kalau kamu enggak ada"

Untuk terakhir kalinya, aku melihat lama, berusaha menghapal, mengingat wajah istriku itu, sebelum kemudian papan terakhir itu menutupi wajahnya, kepalanya.

Lengan tua renta itu mengangkat aku ke atas, lengan ayah mertuaku. Bersama-sama kami menutup liang lahat itu dengan tanah merah. Berkali-kali aku kuatkan diriku, mengucap istighfar agar aku sadar bahwa istriku kembali ke tempat dimana dia berasal. Suatu hari entah kapan, aku pun akan ke sana, menyusulnya.
"Selamat jalan de, tunggu mas di sana ya" begitu gumamku

Lambat laun, lubang itu tertutup sempurna. Tak dapat lagi aku melihat wajah istriku, yang ada hanya wajahnya yang tertanam di dalam ingatanku. Semakin lama, semakin terbentuk gundukan yang tinggi, terpasang sebuah nisan bernama Rica Artanegara. Aku melemas, entah mengapa aku merasa begitu lemas, tak dapat menahan beban tubuhku yang sekarang sudah tidak segemuk dulu

"mas sudah kurus de, seandainya kamu tahu. Kehilangan kamu membuat mas kehilangan hampir separuh berat badan mas" begitu ujarku

Tiba-tiba kepalaku terasa begitu berat, semua yang berada di sekelilingku kurasakan gelap, berputar-putar, kemudian yang aku dengar hanya bunyi sesuatu yang jatuh ke tanah, dan aku pikir itu adalah aku.

Aku terbangun, ketika sesuatu aku rasakan menyentuh lengan kananku, ‘mencubit’ ya seseorang sudah mencubit lenganku.

“indra bangun.....” begitu suara itu terdengar di telingaku

Tapi siapa indra, aku tidak mengenalnya, aku azzam pratama seorang manager dari perusahaan BUMN yang bertugas di Jakarta.

“indraaaaaaa..... banguuun.....” suara itu semakin terdengar nyaring di telingaku. Aku heran, kenapa orang yang dipanggil dengan nama itu tidak juga mendatangi arah suara.

“’ndra, kalau kamu gak bangun juga, ibu siram pake air” begitu ujar wanita itu, wanita? Ibu? Siram pakai air?
Aku masih merasakan sakit di lengan kananku, membuka perlahan mataku. Tepat di hadapanku setumpuk pakaian kotor yang aku tidak tahu pakaian siapa itu. 

Mengusap-usap wajahku, kemudian mengangkat kepalaku, melihat ke sekelilingku, dan 

“byurrr” air dingin kota bandung benar-benar membangunkanku

“ibu bilang bangun, ya bangun. Kuliah!!! ini sudah jam 8 pagi”

Begitu ujar ibuku, ya wanita yang tadi memanggil-manggil itu adalah ibuku

“hah jam 8 bu’?” tanyaku

“iya jam 8, makanya ibu sudah bilang sama kamu, jangan tidur habis shubuh, gini akibatnya kalo gak denger omongan orang tua” begitu kuliah perdanaku di pagi yang cerah ini

Aku terdiam, terbangun di atas meja belajarku

‘meja belajar?’ Hahahaha pada kenyataannya aku tidak pernah menggunakannya untuk belajar.
Menyibakkan gorden biru di kamarku, membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamarku. Membuka jendela dan membiarkan udara segar berebutan untuk masuk ke dalam kamarku. Menggantikan udara kamar yang pengap, untuk terbang ke udara berbaur dengan segarnya udara di pagi ini.

Azzam pratama
Putra pratama zata
Rica artanegara
 Ketiga nama itu begitu membekas di dalam kepalaku, mimpi yang nampak begitu nyata bagiku.

Aku berjalan, berdiri tepat di depan jendela kamarku. Mengabaikan jadwal kuliah pagi ini, menarik nafas panjang sembari mengangkat kedua tanganku. 

“Alhamdulillah, semua cuma mimpi”

Begitu ujarku di pagi yang cerah ini.