Pages

Tuesday, February 3, 2009

Potret negeri ini

Tidak begitu lama berada di pasar, seperti biasa saya hanya membeli keperluan bulanan saja. Memasuki pelataran pusat perbelanjaan, banyak pengemis berjejer, membentuk formasi memanjang dari anak tangga sampai ke pintu masuk menuju eskalator swalayan serba ada.


Lusuh, kumal, ada yang bertubuh sehat, sempurna dalam akal, tapi merasa sudah tua dan tak berdaya hingga mengemislah ia. Ada yang tua, cacat dalam fisiknya, dan mengemis pulalah yang menjadi pilihannya, yang masih kecil, balita, pun tidakjauh berbeda.


Beginilah kiranya propinsi ini atau memang beginilah kiranya potret negeri ini.


Saya lalui saja mereka, diri ini lalu melangkahkan kaki menuju pasar tradisional yang ada di daerah ini. Saya dan eneng pun menyebrangi jalan raya yang tak berapa lebarnya. Beberapa waktu yang lalu, jalan ini dipisahkan oleh pagar setinggi pinggang orang dewasa, merepotkan, karena bila ingin menyebrang, harus memutar jauh dan memakan waktu yang lebih lama. Tidak effisien dan pada akhirnya sering nampak oleh mata, lelaki-lelaki yang melompati pagar pembatas yang ada agar segera sampai di seberang dengan segera.


Pada dasarnya, di negeri yang saya cintai ini, berkembang, menjamur filosofi yang berbunyi ”peraturan itu dibuat untuk dilanggar”, satu lagi potret negeri.


Dinamika kehidupan, ketika saya dan si eneng menyebrangi jalan, mata ini memandang dengan sesuka hati, ’pusat perbelanjaan yang saya tinggalkan begitu ramai, ramai oleh pembeli, pedagang, pengemis, dan masih banyak lagi profesi yang dirasa memiliki rasa saling kebergantungan dengan swalayan ini.


-bersambung-