Pages

Saturday, February 21, 2009

Bocah Ingusan, itu fakta

Bocah ingusan

Kucal, kumal, kupikir 3 thn kira-kira umurnya, berair matanya, sedih ia rupanya, dan menahan sakit karena ulah kakak lelakinya, kupikir 7 – 8 tahun umurnya. Tidak jauh berbeda dalam hal kucal dan kumalnya.

Si kakak pergi meninggalkan adiknya. Dalam diam, bocah kecil itu menitikkan air mata, menghampiriku dan beberapa orang temanku. Mencoba menyeka air matanya, mencoba membersihkan ‘air yang turun’ dari hidungnya. Ia tak mau, bocah ingusan 3 tahun itu tidak mau, ia menolak dengan bahasa tubuhnya, membalikkan badan untuk kemudian menyeka sendiri dengan menggunakan kerah bajunya.

Siapa nama, menangis karena apa, siapa orang tuanya dan dimana, tidak dijawab olehnya. Bocah kecil ingusan itu tidak bergeming. Ia berkulit cokelat, berambut kemerah-merahan, tetap menadahkan tangan sembari tak henti memandangi wajahku yang kini berdiri tepat di hadapannya dengan tinggi tak jauh berbeda, bahkan mungkin sama.

Ku tatap wajahnya, pandangan tertuju pada kedua matanya, mencoba menyelami apa yang ada di dalamnya. Ia masih diam, ku tinggalkan ia sejenak, mencoba menghampiri kakak lelakinya yang berada tidak begitu jauh dari bocah lelaki kecil ingusan ini.

Bertanya, ia membalas dengan memaki dengan intonasi dan kata-kata yang keras dan kasar, jauh dari sopan menurutku, anak sekecil itu. Untuk siapa uangnya, adiknya kenapa, diapakan, kakak lelaki itu hanya menjawab sekenanya, dalam bahasa jawa, kasar pula.

Untuk ibu, jawabnya, lalu ‘diamlah, nanti gua bacok’, masya Allah, anak sekecil itu kata-katanya sudah seperti itu. Terkejut dan miris rasanya. Kakak lelaki itu pun pergi, ia menarik paksa lengan adik lelakinya, kemudian menjambak rambutnya sembari sesekali memukulinya, entah dengan tangannya entah dengan kakinya.

Aku dan keempat orang temanku yang berada tidak jauh dari situ, hanya bisa diam, terpana. Seorang teman sampai tidak berhenti menatap sembari menganga. Kami hanya memandang penuh heran dalam diam. ‘Kenapa bisa seperti itu’ ujar ku, ‘didikan keluarganya, sepertinya kakak lelakinya sering dipukuli oleh orang tuanya, sehingga si kakak membalaskan pada bocah kecil ingusan itu’ begitu jawab salah seorang temanku.

Menarik nafas panjang dalam keheranan, sekiranya di provinsi ini ada komisi perlindungan anak, yang seperti ini memang sudah seharusnya dilindungi. Bukan dilindungi dari si kakak lelaki yang begitu gemar memukuli, tetapi dari orang tua yang nampaknya, sepertinya tidak sayang pada anaknya.

Di Negara maju, ketika orang tua dirasa tidak mampu mengurus anak-anaknya, maka pemerintah yang akan mengambil alih, hingga si anak tumbuh dewasa atau hingga orang tua dirasa mampu merawat anak-anaknya.

Di negeri ini, fakir miskin dan akan-anak terlantar dipelihara oleh Negara, dijamin oleh Negara. Maka, bukannya meerasa malu, lantas enggan untuk menggunakan pasal yang ada, melainkan semakin berlomba-lomba bergaya, berlagak, berkata ‘kami fakir miskin, kami anak terlantar’ tanpa ada rasa malu. Kalau seperti ini, Negara ini bisa bangkrut hanya dalam beberapa hari, mengingat akan begitu banyak yang mengaku tidak mampu, dan Negara harus membiayai itu.

Sekiranya, Negara ini seperti halnya Negara maju dalam hal pengasuhan anak, maka orang tua yang tidak waras akan berlomba-lomba untuk menyegerakan menyerahkan anaknya pada Negara, untuk dirawat, diasuh hingga ia dewasa, secara Cuma-Cuma tentunya.

Tak ada itu rasa malu manakala menggolongkan diri menjadi ‘tak mampu, fakir miskin’, melainkan berlomba-lomba menjadi tak mampu atau mengupayakan agar terlihat seperti golongan tidak mampu. Berlomba-lomba menjadi peminta-minta, demi uang yang tidak seberapa.

Kulihat itu menjadi salah satu potret di negeriku dalam tinjauan mata, hati, dan kepala. Contoh nyata, BLT tentunya, bagaimana mereka yang mengantri datang dengan membawa kendaraan pribadi, kendaraan bermotor dengan plat berakhiran ‘xx’ di belakangnya. Atau yang datang dengan penuh perhiasan yang ada pada dirinya, dan berpikiran baik saja dengan berkata ‘mungkin saja ia meminjam dari tetangganya’.
Lihat bagaimana masyarakat di negeri ini, berlomba-lomba menjatuhkan diri menjadi si miskin ketika BLT disebarkan, ketika daging kurban didistribusikan, ketika zakat fitrah dibagikan. Lihat pula bagaimana kiranya masyarakat di negeri ini yang berubah sedemikian rupa sehingga ketika hari raya tiba, apa yang tidak patut ada, menjadi ada, kendaraan-kendaraan berplat ‘xx’ di belakang bertebaran, hilir mudik tidak keruan. Pusat perbelanjaan ramainya bukan alang kepalang, ‘setahun sekali katanya’, subhanallah, beginilah potret unik dari negeri yang majemuk ini.

Sekiranya Negara ini seperti halnya Negara maju, dimana pengangguran dengan sedia pemerintah menanggungnya, tentunya sudah begitu banyak manusia-manusia malas, tidak waras. Yang mendaftarkan dirinya menjadi salah satu pengangguran yang layak disantuni di negeri ini.

Pada kenyataannya, Negara maju itu, pengangguran yang ada di dalamnya, justru merasa malu, merasa enggan mengikuti, mendaftarkan diri menjadi salah satu pengangguran yang layak mendapat santunan sampai beberapa waktu yang aku tak punya pengetahuan akan hal itu.
"thats the Fact Pall"