Memperhatikan pengemis-pengemis yang berkeliaran, lalu seorang tukang jamu gendong yang menurut hati dan kepala lebih terhormat, lebih tinggi derajatnya dari pada pengemis-pengemis yang menadahkan tangannya untuk sekedar meminta-minta, menjual harga dirinya.
Saya tidak memberi sepeserpun pada mereka, pengemis-pengemis yang saya lewati, yang saya temui di sana, tidak juga si eneng. Dilema, antara rasa iba dan logika yang berputar-putar di kepala, menari-nari, menularkan virus-virus tidak peduli hingga menjangkiti kepala ini yang kemudian memerintahkan agar diri menutup rapat pintu iba di dalam hati.
Semakin memberi, semakin malas mereka. Dengan mengemis seyogyanya mereka merasa lebih sejahtera, mendapatkan uang tanpa harus mengeluarkan tenaga dan keringatnya. Pernah suatu kali saya bertanya, atau mungkin tidak, ah saya sudah lupa. Bahwasannya pendapatan pengemis-pengemis itu lebih besar daripada uang bulanan saya, membuat saya terkejut rasanya.
Pada kenyataannya, dalam sehari mereka bisa mendapatkan Rp 100.000 rupiah. ’Gila !!!’ itu lebih besar dari pada uang makan saya dalam sehari. ’Edan !!!’, karena ternyata mereka lebih beruang daripada saya.
Sejak saat itu, saya selalu berpikir dua kali untuk memberi. Kadang saya bertanya, adakah ia yang mengemis sudah makan atau belum. Kalau sekiranya dia belum makan, maka saya akan saya belikan ia makan, tapi bila sudah dan ia malahan meminta uang ’oh maaf saja’ tidak akan saya berikan.
-bersambung-