Pages

Friday, May 15, 2009

'Guru Muda'

“Di sini, banyak guru perempuannya ya pak” begitu ujar saya pada pak kepala sekolah MTSN 1 kotabumi. Kepala sekolah tempat saya bertugas, bahasa kerennya berdinas sebagai salah satu Tim Pengawas Independen dari kampus yang katanya hijau UNILA.

Ruang kepala sekolah, dengan sofa dan karpet hijau. Pak kepala duduk di kursi yang berhadapan dengan sofa tempat saya berada.

“ya, disini banyak guru perempuannya” begitu jawabnya, “tapi bagus, karena kalau perempuan itu kan lebih perasa, lebih sabar, lebih bisa mendidik daripada guru yang laki-laki” begitu jelas pak kepala sekolah pada saya. “oooo, iya juga ya pak” begitu jawab saya.

Diam, lalu tiba-tiba pak kepala berkata “tapi, ada gak enaknya juga”, “lho kok? Memang gak enaknya dimana pak” begitu tanya saya. “gak enaknya di saya, kepala sekolahnya” begitu jawab pak kepala.

Aneh, bagaimana bisa. Sesaat sebelumnya pak kepala sekolah bilang ‘enak’, beberapa waktu kemudian bilang ‘enggak’, bertolak belakang, jadi kembali menimbulkan pertanyaan. “kok bisa pak?” begitu tanya saya. “ya nggak enak, apalagi kalau guru-guru muda” begitu jawabnya. “o iya pak, ikut suaminya” begitu saya simpulkan, yang ada di dalam pikiran saya saat itu, pak kepala sekolah akan menjawab bahwa ‘kalau guru-guru muda, baru ditempatkan, kalau suaminya pindah tugas, maka dia juga ikutan pindahan’, tapi ternyata dugaan saya salah, bukan itu yang pak kepala ingin sampaikan.

“ya nggak enak, kalau lagi hamil muda” begitu katanya “ooo saya pikir apa” begitu jawab hati saya. Lalu “mau dekat melahirkan, pasti cutilah dia, kalau sudah begitu, kepala sekolah yang pusing cari guru penggantinya” begitu terang pak kepala. “iya juga ya pak” begitu balas saya. “ya iya, belum lagi kalau anaknya nanti lahir, mulailah dia datang terlambat, yang alasanya ngurusin anaklah, belum mandiin anaklah, belum ngasih makan, nah sudah itu kalau begitu” begitu jawab pak kepala.

Lalu, “mau dimarahin, gak mungkin, perempuan. Nanti kalau dimarahin, kita dikatakan ndak berperasaan, seperti ndak tau gimana susahnya ngurus anak. Gak dimarahin gimana, jadi serba salah” begitu keluh pak kepala sekolah. Saya hanya mengangguk-angguk, sembari sesekali menjawab “iya juga ya pak”, entah si bapak bosan atau tidak dengan tanggapan saya, tidak tahu. “ya sudah, gak bisa marah. Repot, kalau guru pengganti gak ada. Anak-anak itu ribut, tendang sana tendang sini, belum lagi kalau ada yang berantem” begitu kata pak kepala.

“iya ya pak, mereka mah seneng-seneng aja, gurunya gak masuk”, begitu jawab saya, ya itu fakta, karena saya sudah pernah menduduki bangku SLTP 3 thn lamanya. “bukan seneng lagi, malah gurunya didoakan sakit, biar gak bisa mengajar, beda sama zaman saya dulu, kalau guru nggak masuk, kita rugi, sampai gurunya dicari. Kalau anak sekarang, sudah lain lagi” begitu ujar pak kepala,. “yang lebih repot lagi, baru selesai cuti, eh sudah melendung lagi (hamil.red), kalau gitu kan cuti lagi” tambahnya pada saya dan kami berdua pun tertawa.

Benar, pak kepala benar. Tapi tidak juga bisa menyalahkan si guru muda, terlebih lagi dalam hal keinginan untuk memiliki keturunan. Masa-masa produktif seorang wanita tidak bisa ditukar atau dipindahkan ke usia 35thn – 40 thn. Sebenarnya tidak ada masalah dengan guru muda yang sedang giat-giatnya memiliki keturunan, hanya saja manajemen waktu yang tidak pada tempatnya mengakibatkan salah satu menjadi terkorbankan

Apa benar begitu? Siapa yang menjadi korban? Murid-murid kah? Entahlah, kenapa saya menjadi agak sedikit sangsi. Kenapa? Karena setahu saya, anak-anak akan menjadi sangat senang begitu mendapat kabar “ibu ini gak masuk atau bapak ini gak ngajar”.

Yah, suka atau tidak, beginilah salah satu potret dunia pendidikan yang ada di negeri kita, Indonesia.

Thursday, May 14, 2009

Tidak begitu penting

Panduan Lengkap Nikah dari "A sampai Z" , buku itu agak geli ketika saya membayarkan sekitar RP. 72.000, untuk membawanya turut serta bersama saya.

Mbak putri teman liqa saya berkata "cieee...bla...bla..." intinya, si mbak-mbak menertawai saya yang dianggap masih kecil, tapi buku bacaannya sudah macam-macam saja. Sebenarnya, membeli buku itu bukan karena saya 'mau menikah', tapi hanya iseng saja. Sebab, kalau dipikir-pikir, membeli buku dengan 'genre', nasionalis, roman, sastra, ekonomi, psikologi, pernah komunis, saya begitu antusias membeli, lalu mengapa buku ber-genre- ini (pernikahan. red) begitu enggan saya membelinya. Padahal, harganya jauh di bawah harga buku-buku yang lainnya.

Semua tertawa, saya hanya diam saja lalu "ya mbak, kan dibacanya cuma buat pengetahuan. Masak baca bukunya pas sudah nikah, itu kan telat mbak. Sama seperti baca buku tentang mendidik anak, pas sudah punya anak", begitu kilah saya. Atau lebih tepatnya mencari pembenaran agar tidak bertambah kencang rasa malu menggerogoti hati hingga seluruh tubuh ini. Lagi pula, saya memang membutuhkan buku itu, sebagai bahan referensi untuk mereka yang nanti-nanti kembali bertanya tentang hal pernikahan pada saya, aneh*.

Mbak-mbaknya, masih saja tertawa, kemudian "itu bener, cep itu gak salah. Gak ada salahnya, memang harusnya baca bukunya sebelum prakteknya", ya kira-kira begitu murabbi saya membela.

Lalu, "awas ya cep, kalau ngeduluin mbak-mbaknya. Pokoknya gak boleh", begitu kelakar salah seorang dari mbak-mbak saya itu.

Pikir-pikir, siapa juga yang mau 'nikah', membayangkannya saja sudah cukup membuat saya terkadang ketakutan. Seorang dosen saya berkata "kamu seperti fobia, seperti pernah trauma akan sesuatu". Trauma? sepertinya tidak juga, hanya saja, hampir bisa dipastikan setiap kali ada yang berkata ingin melamar saya, entah kenapa rasa mual itu hadir tiba-tiba, kadang saya tidak bisa bernapas karenanya, atau terkena demam selama berhari-hari, ini lebih aneh lagi**.

Thursday, May 7, 2009

fase bahaya

Apa yang akan kamu lakukan bila ada seorang pemuda yang baik dalam keturunan, berasal dari keluarga yang berada, yang memiliki wajah yang tampan dan rupawan, yang Insya Allah baik dalam agama, tiba-tiba berkata "maukah kamu menerima saya?", "maukah kamu menjadi istri saya?", dan dia lebih muda dua tahun dari saya
Saya hanya bertatap muka sekali saja, itu pun tidak lama, hanya beberapa menit agaknya.

Tuesday, May 5, 2009

Dia bilang saya tuli

Burung-burung itu berkicau, satu sama lain saling bertanya kabar melalui cicitan yang mereka keluarkan, yang mereka perdengarkan. Indah, indah sekali, kadang tidak bisa dilukiskan, bahkan dengan kata-kata sekalipun.

Pagi, pkl 05.45. Saya terbangun setelah sebelumnya sepupu saya berkata ‘…sudah sholat shubuh atau belum?’, serentak saya kemudian beranjak, angkat kaki menuju kamar mandi. Saya bangun kesiangan, sekitar pk 05.15 pagi, setelah sebelumnya tidur terlambat, pkl 02.30 pagi.

Entah apa yang saya lakukan, sampai tidur sedini hari itu, tidak ada, hanya duduk menghadapi layar monitor, sembari menjelajah dunia maya, dalam kegerahan, dalam kebingungan, karena saya sedang kehilangan arah dan tujuan.

Pagi ini, mencoba kembali dengan mengingat-ingat percakapan dengan seorang kawan yang tidak begitu saya kenal. Percakapan dengan seorang wanita, entah juga pria. Dia memarahi saya, kesal dengan perbincangan antara dia dan saya. Mengapa? Karena berkali-kali bertanya, “kamu co atau ce?”, saya selalu menjawabnya dengan berkata “pria atau wanita tidak begitu penting”, begitu jawab saya padanya, berulang kali, berkali-kali.

Awalnya dia katakan bahwa dia seorang pria, semester 8, jurusan teknik elektro, dan saya percaya dengan keterangan yang dia berikan. Lama, entah bagaimana, dia mulai bertanya siapa saya sebenarnya, laki-laki kah? Perempuan kah? Dia pikir saya perempuan pada awalnya, lalu menjadi ragu karena nama dan gaya saya berbicara tidak nampak seperti perempuan pada umumnya. ‘Hmhhh’ hingga akhirnya selama berjam-jam dia bertanya, “kamu ini co atau ce”, “retorika” begitu jawab saya, karena memang tidak perlu dijawab.

Lama, berjam-jam kemudian, dia katakan bahwa dia seorang wanita berumur 26 tahun yang sudah bekerja, ‘jadi dia sudah berbohong pada saya’, begitu pikir saya. Tapi benarkah dia wanita? Entahlah, tidak begitu penting agaknya. Jadilah dia bercerita tentang hal “Gw, ditinggalkan pacar gw ke Balikpapan, gw sudah hancur”, begitu katanya. Saya pikir dia hancur hatinya, patah hati menurut istilah orang Indonesia, dan broken heart menurut orang barat sana. Ternyata, hancur itu bukan hatinya, bukan perasaannya, tetapi dirinya, ia sudah tidak perawan lagi, begitu katanya, begitu penuturannya pada saya.

Seperti angin lalu saja saya menanggapinya, berkali-kali dia meminta saran, selalu saya katakan “bertaubat mbak”, “hanya itu”, begitu katanya, “ya hanya itu”, jawab saya. Berkali-kali dia menyalahkan dirinya, dan berkali-kali itu pula saya berkata “jangan terlalu didramatisir mbak, yang lebih dari mbak (menderitanya) banyak”, begitu jawab saya.

Entahlah, agak enggan menanggapinya, bukan karena tidak berempati, tetapi perasaan saya mengatakan dia bukan wanita, melainkan lelaki, pria. Semakin mendekati dini hari, saya masih terus saya berkutat dengan kepala dan hati yang bersikeras untuk kembali tersinkronisas-lagi, tetapi buntu. Dan lawan bicara saya itu masih dengan teguh bertanya “kamu co atau ce”, ‘tidak penting’ lagi-lagi begitu saya menjawabnya, hingga akhirnya emosinya memuncak, dia mulai menampakkan kekesalannya, dia katakan saya “tuli”, saya “sepatu”, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Saya balas dengan “terima kasih mbak, saya merasa tersanjung”, dia semakin meradang. Saya tidak peduli, bahkan biarpun wajahnya memerah padam, saya tidak peduli. Akal pikiran dan hati memiliki urusan sendiri, saya masih punya sesuatu yang lebih penting, sesuatu yang harus saya pikirkan, tentang “mengapa saya tidak mau berpikir”, tentang “missorientasi yang belum juga teratasi, tentang “dunia yang 1 – 0 atas akhirat”.

Saya biarkan si mbak/mas dalam kekesalan, hingga ia mengakhiri percakapan tanpa salam, salam? Saya sendiri tidak yakin pada keyakinan yang dianutnya, bapak ‘nasrani’, ibu ‘muslim’ begitu katanya, tidak jelas. Tapi, ini dunia maya, dan manusia dianjurkan untuk tidak berkata jujur di dalamnya, benar begitu? Sepertinya begitu.

Monday, May 4, 2009

Segelas susu + kerupuk + air putih

sahur...3x

Lapar, Pkl 00:04 sudah masuk hari senin.

Sahur, kata seorang teman, "sudah kenyang dapat pahala pula". Maka sahurlah saya dengan segelas susu plus krupuk jange', ya kerupuk jange' namanya, menurut orang-orang sini, daerah ini, propinsi ini, entah apa namanya kalau itu kerupuk sudah keluar propinsi.

Pkl 00.30, belum juga lelap. Ngapain?

Bang Rhoma bilang "begadang, jangan begadang. Kalau tiada artinya. Begadang boleh saja, kalau ada perlunya.....". Saya? Begadang, bukan kerana ada perlu, tetapi karena kepala dan hati saya berkata, hingga memerintahkan untuk begadang "karena perlu" menurut mereka. Ya ya ya, hati dan kepala sedang ndak sinkron, alias ndak kompak, yang satu ke utara, yang satu ke selatan. Buntut dari dunia dan akhirat yang sedang berada dalam keadaan tidak seimbang.

Sahur-sahur, sahur dengan seadanya, dengan satu gelas susu , kerupuk, plus air putih. Yah kalau sudah begini jadi ingat rumah, 'fyuhhh', ingat rumah hanya ketika susah, payah !!!.