Pages

Tuesday, August 16, 2011

Nyonya Tua, sebuah cerita, analogi

Dia lah nyonya tua, rekan kerja yang lain menyebutnya dengan gelar "macan betina". Ketika rezim nyonya tua dimulai, terbesit rasa ragu di dalam hati ku. Bagi mahasiswa lama seperti aku, nyonya tua itu tentu akan menyusahkan langkah ku. "Aaahh" tarikan nafas panjang itu ku hembuskan, ku tatap langit biru pagi ini. Sedikit gerakan ringan yang ku sebut dengan pemanasan "satu, dua, satu, dua".

Jam dinding kamar menunjukkan pukul 8 pagi, "woi bos, katanya mau ketemu dosen pembimbing pagi-pagi, hari gini masih belum mandi" suara Andri membuyarkan lamunanku, menghentikan olah raga ringan ku. "Iya 'ndri, ini juga baru mau mandi. Lo mau mandi? mandi duluan aja, tar kalau lo sudah selesai, lo tereak aja ya". "Gak kok, gua ke kampus masih agak siangan, lo aja noh, buruan mumpung kamar mandi kagak ada yang pakai" begitu ujar andri pada ku. Tanpa babibu, buru-buru ku sambar handuk yang tersampir di pintu kamar ku. Aku dan andri kost di tempat yang sama, dengan kamar yang bersebelahan. Perkenalanku dengan andri dimulai ketika kami sama-sama menjadi mahasiswa di jurusan yang sama, jurusan Fisika.

Resah dan gelisah, entah mengapa rasa itu tidak ada di dalam hati ku. Tidak seperti rekan-rekan ku yang mulai mengkhawatirkan lamanya masa studi S1 ku. Tidak juga seperti kekhawatiran ibuku yang setiap kali ada kesempatan berbicara kepada ku, beliau selalu berkata "Tegar tegar, kamu itu kapan lulusnya nak? atau jangan-jangan kamu mau di DO
dari kampus mu". Atau bapak yang berkata dengan ringannya "punya ijazah pun gak dipake, malaikat maut gak akan bertanya -mana ijazah S1 nya-".

Ringan setiap baris kata itu terlontar dari mulut bapak, bukan karena bapak tidak peduli, tetapi mungkin bapak sudah tidak tahan lagi menghadapi aku, putra pertamanya, Tegar Abdulah yang sudah memasuki semester 14 di sebuah universitas negeri di propinsi ini.

Satu per satu rekan-rekan satu angkatan ku sudah mulai jarang menampakkan batang hidungnya. ada dari mereka yang sudah memulai kesibukan barunya, bekerja atau mencari kerja. Ada pula yang malu mengunjungi kampusnya, karena belum dapat kerja. Dan masih banyak lagi alasan lainnya yang tidak mungkin aku ungkapkan satu persatu. 

"Pagi sekali datangnya 'gar" ujar pak tiyo laboran yang sudah bekerja di laboratorium jurusan ku.
"iya pak, mau ketemu dosen. Mau bimbingan skripsi, saya duluan ya pak" begitu ujarku, sembari meninggalkan pak tiyo memarkirkan sepeda motornya di sebelah sepeda motor tua ku.

Aku seperti berlari kencang berkejaran dengan waktu, berkejaran dengan rasa malu, berkejaran tak beraturan seperti loncatan-loncatan partikel-partikel yang saling bertumbukan dan mengalami lenting sempurna. Aku melayang-layang ke atas, ke bawah, ke kiri dan ke kanan. Belumlah dapat memijak kuat menghentikan tumbukan untuk menghentikan lentingan.

"Tegar, draf  ini sudah bisa diseminar usulkan, ibu harap kamu secepatnya merapikan draf ini. Lalu tentukan kapan kamu mau seminar usul. Jangan lupa kamu sudah menginjak semester akhir, semester 14" 

Ah, ibu Sri, wanita paruh baya yang menjadi pembimbing ke dua ku ini, seolah-olah memberi penekanan khusus pada angka 14 itu. 

"Baik bu" hanya kata itu yang dapat ku ucapkan
"Saya permisi dulu bu" ku tinggalkan beliau berkutat kembali dengan kesibukannya sebagai pemangku jabatan sekretaris jurusan. 

Kampus ini terasa sepi, urat malu itu ku pendamkan dalam-dalam, jauh melesak ke dalam tubuhku, aliran darahku. Tidak ada lagi rekan-rekan masa OSPEK dahulu, yang tersisa hanya beberapa, dan semua sama seperti aku, berkejaran dengan waktu agar terloloskan dari lubang hitam bernama -Drop out- itu. Sementara pandangan mata adik-adik tingkatku, pertanyaan-pertanyaan mereka tentang 'kapan lulus kak tegar', semakin lama semakin terasa menghujam jantung ku, melemaskan persendian kaki ku.

Seulas senyum, itu lah jawaban dari pertanyaan yang mereka berikan. 

Sebuah pelajaran yang pertama "jangan bertanya, -kapan lulus- pada mahasiswa lama, tingkat akhir, dan menjelang tua", karena pertanyaan-pertanyaan itu dirasa meluluh lantakkan rasa percaya diri, meskipun hanya terkadang.

Hari menjelang siang, sebentar lagi adzan dzuhur akan berkumandang. Aku bergegas, mempercepat langkah ku, menuju laboratorium jurusan fisika, mengambil motor tua yang terparkir di dalamnya, di dalam gedung laboratorium, lantai 1. 

Semua biasa dan memang seperti biasa, karena sudah bertahun-tahun aku memarkirkan sepeda motorku di situ. Pertama untuk alasan keamanan, kedua karena terkadang lahan parkir yang berada di depan laboratorium selalu digunakan oleh para pengunjung laboratorium dan praktikan. 

Sampai ketika

"Kamu, kenapa parkir di situ"
Aku mengenal suara itu, suara yang menyebalkan, dan tidak hanya menurutku, menurut yang lain pun begitu, suara Nyonya tua, macan betina. Aku hanya diam, sejenak, mencoba mencari jawaban yang tepat atau mungkin alasan untuk meloloskan ku dari serangan lidahnya yang tajam.

"Saya tanya, kenapa kamu parkir di dalam gedung laboratorium?" Sekali lagi ia bertanya, dengan nada tinggi dan aku tidak suka, rasa ego lelaki ku sedikit tersinggung karenanya.
"Memang kenapa Bu, Pak Henry pun parkir di dalam, bukan hanya saya"
Oh bodohnya, mengapa jawaban itu yang terlontar dari bibirku, dasar bodoh.

Nyonya tua itu memperbaiki posisi berdirinya, sorot matanya yang tajam menahan amarah tidak mampu tersamarkan oleh kacamata yang ia sangkutkan di hidungnya. Benar apa yang pak Henry katakan "Dia macan betina". Berada dalam posisi siaga, dia seperti siap menerkam ku. Waktu serasa terhenti, semua mahasiswa yang lalu lalang tak lagi nampak, suara bising kendaraan samar-samar hilang, yang ada hanya aku dan dia Si Nyonya Tua. 

Benar, dia naik pitam

"Kamu, siapa nama kamu"

Ah Nyonya tua lupa atau pura-pura lupa, karena aku lah yang kerjanya memperbaiki komputer dan jaringan yang berada di ruangan mu. Perdebatan singkat pun terjadi, teman-teman, beberapa orang adik tingkat yang berada di sana, hanya bisa tercengang memperhatikan aku dan si Nyonya tua yang baku hantam dalam kata-kata.

"Tidak punya etika, saya akan persulit kamu bla bla bla".

Aha Nyonya tua mengancam status mahasiswa tingkat akhir ku, masa bodoh terserah saja, aku tidak peduli. Motor tua ku nyalakan, helm pengaman aku kenakan, begitu saja aku tinggalkan dia di dalam kekesalan yang mendalam. Tak ku dengarkan lebih lama loncatan-loncatan api kata-kata yang keluar dari lidahnya. Karena sudah pasti tidak menyenangkan bila di dengarkan oleh telinga.

Aku memang salah, ya aku salah tetapi rasa ego ku membuyarkan semua akal sehat ku, aku tak peduli, kalau memang dia mempersulit ku dan studi S1 ku, terserah saja. Toh, bapak tidak mempermasalahkan ada atau tidaknya ijazah S1 ku. Toh malaikat Izrail tidak akan bertanya tentang ijazah S1 ku.

Hari berlalu, kejadian hari itu sudah buyar dari ingatan ku, sampai seorang teman lama menghubungi ku, meminta ku untuk menemuinya, tepat di depan lab fisika. 

"Kamu, buat masalah dengan Nyonya tua ya"
"Enggak, dia yang mulai duluan, lagi pula bukan cuma aku yang bermasalah dengan dia, tapi banyak" 
"Ya, memang, tapi Tegar, setidaknya pandang lah dia sebagai orang yang lebih tua dari kamu. Kamu kan sudah semester akhir, kalau kamu nantinya dipersulit bagaimana?"
"Masa bodo, bukan cuma sekali itu dia bikin aku kesel 'cha. Kalau dia mau persulit, kita lihat saja nanti".
"Iya saya tau, tapi coba pikirkan ibu sama bapak, kasihan mereka berharap kamu lulus kuliah, tahun ini"
"Ah, ijazah gak akan ditanya oleh malaikat Izrail ini, lagian kata bapak gak apa kalau aku gak lulus. Kalau ibu, tinggal dikasih pengertian aja". 

Ku tinggalkan teman ku tergugu, memaku melihat aku meninggalkannya sendiri di depan Laboratorium. Aku pacu sepeda motor tua, mencoba menghilangkan kepenatan, melupakan sejenak tentang kampus, dosen, serta ketua jurusan yang ku beri gelar -Nyonya tua-, menyebalkan, mengesalkan, 

9 PM i am sleepy

Hari berlalu, kisah tentang baku hantam kata-kata antara aku dan si Nyonya tua lambat laun sampai ke telinga kedua orang pembimbing tugas akhir ku. Ibu sri, si pembimbing dua hanya tersenyum simpul, terkadang mengulum senyum pahit ketika berjumpa dengan ku. Entah iya mendukung aksi melawan ku, atau malah menertawai kebodohanku, yang pasti aku menambah bebannya. Karena si Nyonya tua merupakan atasannya, pembimbing dua ku, menjabat sebagai sekretaris jurusan, dengan Nyonya tua sebagai ketua jurusannya.

Abused of power, itulah istilah yang tepat bagi Nyonya tua, atau macan betina, begitu dosen lain, rekan satu kerjanya, yang pernah berkantor satu gedung dengannya, menyebutnya.

Musim kemarau tiba, hari-hari semakin berganti, draft untuk seminar hasilku sudah rampung, hanya perlu meminjam beberapa alat dari laboratorium, dan sialnya surat peminjaman alat itu harus menggunakan tanda tangannya, nyonya tua, macan betina.

Dia memalingkan wajahnya, atau tepatnya tidak mau memandang ku. Berkas map yang berisi surat izin peminjaman alat milikku sama sekali tidak diliriknya.

"oke, saya sibuk, kalian silahkan keluar"
begitu saja dia berkata
"maaf bu, surat saya belum ibu tanda tangani"
dia melenggang pergi, kata-kata ku bagai angin lalu, dia tidak menganggap aku ada di ruangan itu.
"Tolong yanto, pintu ruangan saya ditutup lagi"
"baik bu"

Aku hanya bisa melangkah keheranan, dia menandatangani surat mahasiswa yang lain, tapi tidak dengan surat milikku. Dia seperti masih menyimpan dendam atas perselisihan beberapa waktu yang lalu.

Waktu semakin berjalan, masa mukim ku di kampus ini mulai dipertanyakan. Semester 14, aku ini semester 14, kalau tahun ini tidak menyelesaikan studi, maka habislah aku, drop out. Beberapa kali aku mencoba menemui Nyonya tua, tetap saja jawaban sama yang ia berikan pada ku

"maaf saya sibuk"

sudah hampir 2 minggu berlalu, ingin rasanya melangkah keluar begitu saja dari kampus ini. Tetapi, wajah ibu selalu melintas di hadapanku. Tidak sanggup mengecewakannya untuk kesekian kalinya.

Pandangan ku melayang entah kemana, daun-daun pepohonan di kampus ini sudah mulai meranggas, musim kemarau membuat mereka mau tidak mau meruntuhkan daunnya, menanggalkan keegoan mereka dari perasaan bangga, dari rasa gagah dengan daun-daun yang melekat pada diri mereka.

"Sudah mas, minta maaf aja. Kan minta maaf belum tentu kita salah. Daripada sampeyan gak lulus? Apa nggak sayang, sudah mau seminar hasil lho mas".

Kata-kata Yanto adik tingkat ku membuyarkif u an lamunan ku, dia benar tetapi rupanya rasa ego di dalam diri ku belum bisa mentolerir kata -maaf- itu. Meminta maaf? untuk apa? Nyonya tua, dia sudah cukup menguji kesabaran ku.


-sebuah analogi-

Kisah di atas merupakan sebuah analogi, sebuah kisa nyata yang mengalami sedikit perubahan dari alur ceritanya. Tetapi tetap sama pada intinya, tentang -abused of power-, tentang penyalahgunaan kekuasaan. Tentang penyalah gunaan jabatan, tentang manusia dewasa yang tua dalam hal usia tetapi dari cara berpikirnya masih belum dewasa nampaknya.