Pages

Sunday, August 14, 2011

Iman seharga uang 30 juta,

Tentang bagaimana melihat sesuatu itu tidak bulat sempurna, tentang bagaimana melihat sesuatu itu tidak hanya hitam atau putih saja. Tentang bagaimana melihat bahagia dari sisi yang berbeda, tentang bagaimana menghadirkan rasa bahagia ketika orang-orang lain yang berada di sekitar kita, menangis tersedu sedan sedemikian rupa sehingga.

Bersyukur? itu yang terkadang atau bahkan luput dari ingatan, hilang dari pandangan, lepas dari jangakauan. Masih ada yang lebih menderita, masih banyak yang lebih sakit dan terluka di dalam hidupnya, dari pada luka dan derita, dari pada susah dan sedih yang kamu, yang saya, yang kita saat ini rasakan.

Sebuah cerita, tentang seorang anak manusia, paruh baya, menjelang 40 tahun usianya.

Bukan berasal dari keluarga papa, tidak pula berasal dari keluarga yang begitu kaya rayanya, tetapi dari keluarga yang cukup, serba cukup pada masa itu, hingga wanita paruh baya itu menentukan garis kehidupannya untuk menikah dengan seorang pria, pria yang tercium bau alkohol dari mulutnya.

Singkat kata, saya tidak begitu lama berkenalan dengan dia. Tetapi, seringnya berinteraksi dengan wanita itu, membuat saya tahu sedikit banyak tentang kehidupannya. Salah satunya tentang betapa banyak hutannya, hingga membuat ia harus bersembunyi dari orang-orang yang menagihnya. Dari penuturannya, saya bingung bagaimana bisa dia terlilit hutang, mengingat kedua orang anaknya tidak begitu banyak meminta.

"Saya banyak hutang karena dulu saya belum kerja neng, suami saya juga gak kerja"
"Tadinya cuma pinjam 1 juta, sekarang jadi 5 juta"

Tapi uangnya untuk apa? lari kemana? entahlah, si peminjam uang tidak tahu untuk apa uang pinjaman itu ia gunakan. Uang itu berbunga, yah pergi ke rentenir juga dia rupanya. Gali lobang, tutup lobang, kemana-mana dicari oleh orang si pemberi hutang. Lari ke sana kemari, bersembunyi, keluarga besarnya sudah tidak mampu atau mungkin enggan untuk membayarkan hutang si wanita paruh baya, yang tidak jelas untuk apa uang itu ia gunakan.

Atau mungkin memang "pasak yang ia pasang ternyata lebih besar dari pada tiang yang sudah ia gunakan?"

Suatu hari "neng bisa pinjam uang 1 juta? untuk bayar sekolah anak saya"

Saya tidak bisa berbuat apa-apa, keadaan saya saat ini jauh berbeda dengan ketika saya masih bekerja. Meminta maaf karena tidak bisa membantunya, merupakan hal menyakitkan yang saya rasakan. Melihat wajahnya yang sayu, tatapan mata penuh kecewa, saya tahu bukan jawaban "maaf teh, saya tidak punya uang sebanyak itu saat ini" yang ingin ia dengar. Tapi, apa hendak dikata, saya saat ini berdiri di atas pilar-pilar yang dibangun oleh kedua orang tua saya.

Berhemat, itulah yang saya lakukan, karena S2 tidak sepenuhnya berasa dari tabungan saya yang jumlahnya tidak seberapa.

Menukar akidah demi uang Rp. 30.000.000, ia pun rela

Sampai ketika beberapa kali "saya mah kalau ditawari 30 juta buat pindah agama, mau aja" dia sampaikan itu sembari tertawa. Miris hati saya mendengarnya, tidak bisa berbuat apa-apa, karena saat ini saya masih belum apa-apa. Ingin berbuat sesuatu, tapi masih merasa belum mampu. Beberapa kali, berkali-kali saya putar otak, mengoptimalisasi kemampuan berpikir saya, kiri dan kanan. Membangkitkan rasa -nekad- saya, untuk membawa perubahan bagi kehidupan saya, agar dapat berguna bagi manusia seperti 'teteh' yang satu itu. 

Tapi, masih belum dapat.

Saya terjebak dalam pola pikir pragmatis, terjebak di dalam cara pikir saya yang terkadang tidak beraturan. Sesekali praktis, sesekali rumit silang lintang dan terkadang sulit untuk dihubungkan. 

Menempuh pendidikan S2, mengurangi waktu tidur dan istirahat saya. Karena saya hanya hidup sekali di dunia ini, tidur panjang akan saya rasakan nanti, ketika saya meninggalkan dunia ini. Itulah mengapa saya kurang porsi tidur saya di dunia, untuk mengoptimalkan apa yang Allah titipkan pada saya.

Kelas bahasa, pulang malam, tidak tidur seharian, semua untuk sebuah mimpi yang bagi sebagian orang saya tidak realistis, terlalu ambisius. Tapi, itu bukan untuk saya, tidak untuk diri saya, tapi untuk mereka yang saat ini memerlukan bantuan saya, tetapi saya belum bisa berbuat apa-apa. Untuk manusia lainnya yang jauh tidak beruntung dari pada saya.

Sakit, sedih, susah, lelah, peluh dan keringat saya redam jauh ke dalam hati, menyimpan semua keluhan, mentrasformasinya menjadi energi positif. Untuk mendapatkan bahagia dari sisi yang berbeda, bahagia dari lelah yang menyapa, bahagia dari rumitnya tugas-tugas mata kuliah, bahagia dari padatnya aktifitas saya hingga membuat saya mengabaikan kehidupan pribadi saya.

Bersabar itu yang saat in saya lakukan, berusaha, berdoa, mengumpulkan semua kekuatan positif untuk meredam semua hal yang negatif. Menanamkan ke dalam hati, kepala dan alam pikiran ini, untuk dapat melihat positif dari hal yang orang anggap negatif. Memilih untuk melihat bahagia dari sisi yang berbeda, agar otot-otot wajah dapat mentransformasikannya menjadi seulas senyum, yang dapat menenangkan hati yang melihatnya.

Sedih itu ada, pasti ada, rasa marah, kecewa, sakit hati, itu pun ada, terlintas, mengunjungi ruang-ruang ego di dalam hati. Tetapi, memilih untuk meredam, membenam, mengubah menjadi sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang indah untuk dijalankan, dilalui, dikehidupan yang singkat ini.