Pages

Tuesday, August 16, 2011

Memprioritaskan sebelum meminta diprioritaskan

Pukul 4.39 pagi dini hari

Lantunan ayat suci Al qur'an itu terdengar jelas dari masjid yang terletak tidak jauh dari rumah ku, rumah orang tua ku. Islam, itu agama ku, tetapi yang menjadi pertanyaannya adalah sudah pantaskah saya menjadi seorang muslim? atau sudah kah saya menjalankan semua perintah Nya dan menjauhi semua larangan Nya, rahasia tentang itu semua, hanya aku dan Dia yang tahu, Dia yang Maha Tahu.

Adzan shubuh berkumandang dari salah satu sudut bumi ini, angin dingin musim kemarau bertiup, aku sudah lupa kapan tepatnya musim kemarau itu tiba. -Global warming- membuat perubahan cuaca tak menentu, mereka menjadi sesuka hati atau karena ulah manusia yang sesuka hati, membuat cuaca mengikuti kemana hasrat duniawai manusia pergi.

Aku ingin berbicara tentang memahami tentang mengerti,
mengerti tentang hasrat manusia tentang dunia, mengerti bagaimana caranya mendefinisikan apakah sikap -polos dan sombong- itu berbeda tipis? atau sebenarnya sama atau mungkin memang 100% berbeda. 

Lantunan ayat suci pengantar shubuh pun terhenti, hanya adzan shubuh yang terdengar dari masjid itu, bersahut-sahutan, bergantian, frekwensi-frekwensi yang para muadzin ciptakan, saling bertabrakan di udara. Tak kasat mata, frekwensi-frekwensi itu hilir mudik, keluar masuk telinga-telinga manusia. Mungkin mereka berharap ada yang terbangun karenanya, lalu menegakkan sholatnya, kewajibannya. Atau mungkin pula, frekwensi-frekwensi suara itu hanya hilir mudik saja, sekenanya, tidak tahu untuk tujuan apa mereka terlahir ke dunia. Terlahir dari alat bicara manusia.

prioritas, semua ingin menjadi yang utama, yang pertama, yang terdahulukan dalam segala hal, termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhannya. Menarik, ketika kamu ingin menjadi nomor satu dalam hal prestasi mu. Menarik, ketika kamu ingin dikabulkan semua pinta dan harap mu, menarik ketika kamu ingin diprioritaskan dalam semua sendi-sendi kehidupan mu.

Manusia itu lemah, alpa, lupa merupakan sifat, sikap, warisan mendasar yang terbawa oleh semua anak manusia sejakia lahir ke dunia. Buntut dari ketidak sempurnaan, imbas dari ketidak stabilan emosi dan psikologi dalam taraf yang normal, manusia ingin diprioritaskan dalam kehidupan. Entah prioritas sebagai seorang anak, sebagai seorang murid, sebagai seorang pelanggan yang sedang mengantri, termasuk prioritas sebagai seorang hamba yang menghamba kepada Tuhannya, Allah SWT.

Tetapi, sudah kah kita memprioritaskannya? sudah kah kita menempatkan hak Nya di atas segalanya? sudah kah kita meninggalkan semua kepentingan kita, ketika adzan yang dikumandangkan oleh muadzin menggema di udara? sudah kah kita membayarkan kewajiban kita pada Nya sebelum kita berkata "mana hak saya?".

Pertanyaan tentang kejujuran hati, pertanyaan tentang mengakui kelemahan sebagai seorang manusia, untuk kemudian tidak menjadikannya sebagai senjata untuk melawan teori yang ada tentang sikap ego sentris manusia. Belajar dari kesalahan yang sudah dan belum terlahir ke dunia, belajarlah untuk 'memenuhi hak - NYA sebelum meminta'. Mencoba bersinergi dengan akal pikiran dan seluruh anggota tubuh ini, untuk memprioritaskan Dia di atas segala-galanya