Pages

Tuesday, July 28, 2009

saya tidak lihat mobilnya, tapi lihat orangnya

Pagi, selamat datang pagi. Tidur malam ini benar-benar tidur yang panjang, bagaimana tidak, selepas adzan maghrib berkumandang, selepas memenuhi kebutuhan sistem pencernaan akan makan, saya putuskan untuk istirahat sebentar, melelapkan diri di atas kasur tercinta yang sudah tidak berjumpa beberapa jam lamanya.

Niatan awalnya sih, mau bangun sekitar jam-jam 9 atau sepuluh malam, tapi tiba-tiba ketika adzan kembali berkumandang, yang saya lihat bukan jam 7.30 malam, tetapi jam 5 shubuh. whuaaaa ternyata saya tidurnya kebablasan, tapi gak papa, gak papa, nasi sudah menjadi bubur, niat mau mengerjakan macromedia flash kembali cuma sekedar niat.

Hari sudah pagi, saya beranjak bangun, meninggalkan kasur tercinta dengan berat hati. Air keran kamar mandi mulai mengalir deras, perlahan tapi pasti mulai memenuhi bak kamar mandi yang semalaman tidak terisi. Karena lama, saya pikir 'ngapain berlama-lama di kamar mandi', segera keluar, melangkah pergi. Pagi ini belum ada pekerjaan yang berarti kecuali mencuci, pakaian baru direndam, tidak mungkin langsung dicuci, hasilnya yaaa saya tidur lagi ha...3x, yah namanya mahasiswa, tidak bisa lihat kasur 'nganggur'.

Tapi aksi malas-malasan itu tak lama, hanya beberapa saat saja. Kenapa beberapa saat? ya karena saya ingat, pagi ini saya harus menemui pembimbing saya kalau memang mau wisuda cepat. Byar, byur, semua pekerjaan selesai dalam waktu singkat, dannn aku siap, aku siap, aku siap.

Tiba di kampus, gedung dekanat tempat pada pejabat. Kali ini saya tidak akan salah, tidak saya lihat lagi itu mobil pembimbing, karena memang itu mobil sedang tidak ada di tempat, tidak ada di pelataran parkir dekanat tempat para pejabat. Tap tap tap, ehh ketemu dengan bapak sekretaris dekanat, kata si bapak, kali ini dia ndak akan menunggu di bawah, ndak akan juga memberi informasi pada saya bahwa pak pejabat dekanat yang juga pembimbing saya belum datang karena mobilnya tidak terlihat. Tapi, tak lama office boy dekanat berkata 'pak warsitonya belum tiba', gdubbRAkkkkk ha...3x ternyata kali ini tidak hanya mobilnya yang tidak terlihat, tetapi orangnya pun belum akan tampak.

TApi tak apa, tak mengapa, akan saya tunggu sampai beliau tiba, meskipun dalam keadaan lapar yang mendera, karena pagi ini sarapan itu belum ada satu pun yang 'nyangkut' di sistem pencernaan saya. Tak lama, pak pejabat utama, bapak dekan fakultas MIPA tiba, lalu berkata pada bapak sekretaris dekanat yang sedang bercakap-cakap dengan saya, katanya "pak tolong bukakan pintu saya, kunci saya di dalam mobil, mobilnya dipinjam pak warsito ke metro"

Hahhh, Gdubbrakk, gdubbbraaakk, gdubbbraaakk, ampe tiga kali gdubrakknya. Pantas saja pagi ini mobil pak pembimbing belum terlihat, pantas saja mendekati pkl 8 pagi pak pembimbing belum ada di tempat, ternyata beliau pergi keluar kota, tiba-tiba sepertinya.

Whuaaaahh, ya sudah, hari ini tidak jadi lagi berjumpa dengan pembimbing I tugas akhir saya. Melangkah pergi dengan pasti, karena rasa lapar itu semakin menarik hati untuk segera diisi. Lantai 1 gedung ini, di pelataran parkir saya jumpai mobil pembimbing I tanpa penghuni, yahh lagi-lagi yang saya lihat cuma mobilnya, bukan orangnya.

Monday, July 27, 2009

Jangan lihat mobilnya, tapi lihat orangnya

Pagi, hujan mengguyur kota ini sejak dini hari, dingin, dalam rintik hujan dan kebasahan, dalam ketergesa-gesaan dan kekhawatiran akan 'kesiangan', saya berjalan setengah berlari. Berbekal uang seribu hasil 'meminta' pada seorang kawan untuk 'ongkos pulang' ha..ha...ha, mengingatkan saya pada lirik lagu mbah surip yang terkesan asal comot dan serampangan, tetapi cukup ringan dan mengibur untuk didengarkan.

Semalaman sudah merepotkan beberapa orang kawan, salah satunya bernama Dyan, hanya demi tugas akhir saya, temannya. Sepulang kantor pkl 21.00 malam ia langsung meluncur bersama sepeda motornya, untuk menghinggapkan diri di laboratorium pemodelan fisika kampus ini. Dengan alasan 'besok pagi, saya ada janji dengan pembimbing skripsi, mau memperlihatkan alat tugas akhir saya' begitu alasan saya padanya, hingga kesimpulan bersama dibuat, dan inilah dia, pagi-pagi saya sudah kembali berada di kampus ini, setelah sebelumnya bersama teman-teman mencoba menembus batas kemampuan tubuh untuk tetap terjaga. Teman saya yang satu ini, hampir serupa dengan seorang teman saya yang berada jauh beberapa ratus kilometer dari saya, khafidl namanya.

Pagi pun tiba, tak nampak hujan akan reda, hingga akhirnya saya putuskan untuk pulang, janji dengan pembimbing I, harus ditunaikan, menemui beliau pkl 7.30 pagi, atau bahkan lebih pagi karena beliau memang sudah punya janji dengan orang lain lagi.

Kampus ini masih sepi, tidak ada mahasiswa yang terlihat, mungkin masih setia bergumul dengan selimut mereka yang sudah nampak usang dan tua, karena sejak tahun 2004 hingga tahun 2009 selalu bersama atau masih betah berdiam diri di dalam sarungnya karena hujan yang masih belum juga mau reda, turut meramaikan suasana, hingga aksi bangun kesiangan mereka lakukan bersama-sama.

Lupakan, semua alur cerita bertele-tele yang saya sampaikan sebagai pembuka. Pagar pembatas antara fakultas dengan kantor POS unila pun dibuka. Suatu ketika saya sempat bertanya pada pak pos yang bertugas di kantor itu mungkin sejak beberapa tahun yang lalu, 'kenapa pintu gerbangnya ditutup pak?', 'satpamnya reseh, waktu itu pernah nggak ditutup, trus satpamnya marah-marah, katanya -kalau ada yang hilang gimana, bapak mau tanggung jawab-', begitu ujar si bapak pos pada saya.

'whuaaahh' bergaya juga itu satpam fakultas MIPA, padahal biasanya kerja mereka hanya duduk-duduk sambil menghisap racun nikotin dan menghembuskan asapnya ke udara. Atau, mencari mangsa dengan mengerjai mahasiswa-mahasiswi unila yang kedapatan duduk berduaan, dan sebagian mahasiswa/i UNILA tahu apa yang saya maksudkan.

Pintu pun dibuka, orang DEKANAT yang pertama kali saya temui adalah bapak sekretaris Dekan FMIPA yang merangkap sebagai sekretaris bagi pejabat-pejabat dekanat lantai 2 lainnya.
'pripun kabare?' bapak bertanya 'sae mawon jawab saya' lalu 'pak war nya ada ndak pak?', agak ragu si bapak menjawab, lalu 'belum datang sepertinya.

Duduk dalam diam, di dalam gedung dekanat FMIPA unila. Rasa dingin itu masih merayap saja, meskipun saya sudah memakai pakaian tebal sebagai pelindung bagi tubuh saya yang beratnya tidak seberapa. Tak lama, bayangan kaca itu menampakkan sesosok yang saya amat sangat mengenalnya, sejak tahun 2005, saya mengenali hentakan kakinya, cara berjalannya, meskipun saya tidak melihatnya melainkan hanya melalui pantulan kaca, dia lah pembimbing saya, rupanya dia benar-benar sudah datang sejak pagi-pagi buta (hiperbola).

Senyum simpul saya berkata 'bapak sudah datang ya?', lalu 'bapak sudah mau pergi ya?', ya tanpa beliau jawab pun saya sudah tahu dia akan segera pergi, meninggalkan gedung ini. 'Saya sudah dari tadi sefta' begitu katanya. 'Mobil bapak nggak ada di parkiran' hingga saya pikir beliau belum datang. Lalu beliau pun menjawab 'jangan liat mobilnya sefta, tapi liat orangnya', tak lama, bapak pun pergi melangkahkan kaki setelah sebelumnya bertanya apa yang ingin saya sampaikan padanya. 'Draftnya dititip sama sekretaris saja', kira-kira begitu instruksinya.

Bapak pun pergi meninggalkan saya dengan mobil dinasnya. Mau tertawa rasanya, benar-benar mau tertawa bila mengingat sehari sebelumnya saya sudah merepotkan teman-teman untuk menemani saya merampungkan alat tugas akhir sampai membuka mata hingga pagi tiba. Dan pada akhirnya, hasil dari perjuangan yang sampai sempat membuat saya lumpuh tidak dapat bergerak untuk beberapa saat itu, adalah bahwa pembimbing saya pergi meninggalkan saya ke rektorat UNILA untuk beberapa saat lamanya.

Beberapa jam untuk perjumpaan yang tidak sampai 5 menit rasanya. Ah, maaf, maaf sekali pada mereka-mereka yang sudah direpotkan untuk berada di laboratorium pemodelan malam ni. Mungkin lain kali, saya memang benar-benar harus "melihat orangnya, bukan sekedar mobilnya".

Thursday, July 23, 2009

Pandai-pandailah bersyukur

Sebuah kontemplasi bagi cacat diri
Keenam


Sehari yang lalu, rawa belakang asrama, langit-langit yang dipenuhi awan putih yang beranjak kelabu, burung-burung yang terbang sore itu, senja itu, angin yang tak berhembus itu, mereka mengajak saya berpikir akan sesuatu.

Ada yang membuat saya kecewa, ada yang membuat saya sakit hati, ada yang membuat saya ingin dihargai, ingin dihormati, ada pula yang membuat saya tersinggung.

Burung-burung layang itu terbang, hilir mudik, menjelang senja mereka semakin ramai berkumpul di angkasa. Berpikir, kenapa harus kecewa, kecewa akan apa, untuk apa, pada siapa. Mengapa harus sakit hati, pada apa, pada siapa? Manusia? Untuk apa? Karena toh manusia wajar berbuat salah pada manusia yang lainnya. Untuk apa sakit hati, karena hati ini bukan saya yang punya, bukan saya yang miliki kuasa atasnya.

Untuk apa ingin dihargai, untuk apa ingin dipuji, untuk apa pula saya merasa tersinggung. Untuk apa ingin dipahami, untuk apa pula ingin dimengerti, untuk apa pula ingin di dengarkan, tidak menjadi begitu penting itu semua, ketika, manakala saya menyadari bahwa saya tidak punya hak apa-apa atas diri saya, atas pemikiran, atas perasaan, atas hati, atas fisik yang Allah anugerahkan.

Lebih baik menghargai, lebih baik memuji, lebih baik memahami, lebih baik mengerti, lebih baik mendengarkan, lebih baik menjaga perasaan, lebih baik mengalah, lebih baik diam. Pujian-pujian yang manusia tujukan pada saya, saya tidak punya sedikit pun hak atasnya, melainkan Allah yang memiliki kuasa, hak atas segalanya.

Pujian dalam hal fisik? Tak punya hak untuk bangga, karena Allah yang berikan, anugerahkan fisik, rupa, bentuk, ini pada saya. Pujian karena pola pikir, karena tulisan, tak perlu merasa senang, karena akal dan pikiran itu Allah yang berikan dan mengapa saya bisa menulis, mengapa saya bisa berpikir sedikit berbeda dari manusia yang lainnya, semua itu karena Allah, karena Rabb, karena Dia yang arahkan, saya hanya menjalankan, saya hanya meneruskan, saya hanya menikmati hasil.

Dan bilamana saya dikatakan sopan, berbudi pekerti baik dan terpuji, jangan merasa senang hati wahai manusia, karena saya bisa seperti ini karena peran serta mereka-mereka yang berada di dekat saya, yang sudah membantu proses terbentuknya watak dan paradigm berpikir saya saat ini. Hingga, sampailah pada intinya bahwasannya, saya benar-benar tidak memiliki apa-apa untuk disombongkan, bahwasannya saya tidak pula memiliki sesuatu sehingga layak untuk dipuji akan sesuatu itu.

Saya tidak pernah dapat menciptakan karena Mencipta itu adalah kuasa Nya, tidak pula dapat menghasilkan sesuatu yang bermakna kecuali kotoran hasil pembuangan dari system pencernaan. Sisanya, semua Allah yang punya, dan bila mereka memuji saya, tak perlu merasa senang, tak perlu merasa bangga cukuplah berkata Alhamdulillah karena setidaknya kamu tidak membuat Allah malu, tidak membuat Allah murka, tidak membuat Allah marah dan kecewa. Dan bila manusia yang lainnya menyakiti hati, melukai perasaan ini, menyinggung sisi sensitive dari diri ini, maka agar rasa sakit itu tidak ada, katakanlah bahwa “mereka manusia, wajar kiranya berbuat salah” dan “kembalikanlah kepada Yang Memiliki hati agar kiranya Dia berkenan menentramkan hati hingga tidak pernah merasa tersakiti”.

Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.
QS. al-Isra' (17) : 37

Mencoba mensyukuri semua yang Dia berikan, meskipun ada yang katakan bahwa suara yang saya punya seperti suara lelaki begitu kata mereka, bahwa tubuh saya tidak proporsional adanya, dan masih banyak lagi kekurangan lainnya.

Berpikir-berpikir, sampai ketika ada seorang wanita yang berkata “bla…bla…”, saya menjawabnya dengan berkata “ini yang Allah berikan pada saya, saya hanya mencoba mensyukuri dengan menjaganya”, seperti ini pun, saya sudah merasa begitu sempurna, begitu subhanallah karena saya tidak pernah bisa menciptakannya. Hingga ketika mereka katakan suara saya begini, rupa saya begini, bentuk saya begini dan cara berjalan saya begini, maka saya balas dengan berkata bahwa “saya hanya mensyukuri apa yang Allah berikan pada saya”.

--selesai--

00:46 dini hari

Memanajemen sedih
menghisap semua energi yang ingin mengeluarkan air mata
tak banyak yang keluar, kecuali hanya beberapa titik saja
karena ia jatuh tertahan

Memanajemen sedih agar tidak berkepanjangan
Ya Rabbi, izinkanlah aku kembali pada Mu

Membuka lembaran layer Macromedia Flash 8
bereksperimen dengan layer-layer yang ada
membuat animasi-animasi picisan agar dapat bergerak menyegarkan mata yang melihatnya,
sedih itu lambat laun hilang, ia tergantikan

helaan nafas panjang
semua sudah Allah gariskan
semua ada hikmahnya meskipun bukan sekarang ini saya melihatnya
semua demi kebaikan saya juga pada akhirnya
maka, bersabarlah, lambat laun kamu akan berkata
Alhamdulillah semua itu terjadi pada saya

Lebih baik terzalimi daripada sebaliknya
terzalimi hati, berusaha sekuat tenaga, dengan segala daya upaya untuk memaafkan si manusia dengan berkata "dia hanya manusia, tak luput dari kesalahan seperti halnya manusia yang lainnya. Dari pada menzalimi, belumlah tentu si terzalimi mau dengan lapang hati memaafkan diri.

Angin malam berhembus, dingin menusuk.

Mencoba menembus batas dengan membuka mata hingga waktu sepertiga malam tiba. Nyamuk-nyamuk itu hilir mudik, sesekali hinggap, namun tak lama. Anggota tubuh ini dengan refleknya mengibas-ngibaskan diri agar nyamuk-nyamuk itu tak berlama-lama hinggap untuk kemudian menghisap.

Saya sedih
Aku sedih

Putus asa, inginnya, tapi Allah melarang hamba Nya yang beriman untuk berputus asa. Teori itu lebih mudah dari pada prakteknya. Mencoba menanamkan bahwa semua yang terjadi saat ini, belakangan ini, pasti ada hikmahnya, insya Allah akan berbuah manis pada akhirnya. Dan bila frasa-frasa itu diucapkan oleh hati, hingga menstimulus otak untuk bekerja, hingga diri dapat dengan tegarnya menegakkan kepala, dengan penuh semangat. Maka semua penat, sedih, sakit, marah, itu sirna dalam sekejap mata.

Tapi, ada kala dia datang lagi, putus asa itu melambai-lambaikan tangannya, hingga yang ada hanyalah air mata. Bodohnya saya, 'cengeng' sebagai seorang anak manusia. Baiklah blog, untuk kali ini izinkan saya berkata "saya juga manusia, tempatnya lupa dan alpa, pernah pula merasa putus asa, ingin pula rasanya berkeluh kesah. Meskipun hanya pada kamu, benda mati tak bernyawa. Tapi tak apa, melegakan rasanya, membuat beban yang menimpa terasa ringan meskipun tidak semuanya.

Beri saya kesabaran ya Allah, beri saya kemampuan untuk memaafkan, melupakan dan tidak mendendam. Beri saya kesabaran ya Rabb, karena hanya itu yang saya punya, karena hanya itu pula yang tersisa dari diri saya.

Wednesday, July 22, 2009

---- ---- ---

Oke Blog, kali ini izinkan saya menangis,

izinkan saya menangis,
izinkan saya menangis,
izinkan saya menangis,
izinkan saya menangis.

Temani saya menangis
temani saya menangis
temani saya menangis
temani saya menangis
temani saya menangis
temani saya menangis

ternyata saya bisa juga menangis
maka menangis lah