Pages

Monday, March 16, 2009

si titi

Eksis, 11 januari 2009 salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia

Adalah Titi, gadis jepara yang dengan bangga hidup serumah dengan yang bukan muhrim, orang asing, bertubuh tambun, berambut 1 cm agaknya.

Setelah beberapa tahun, baru menikah ia, mengukuhkan statusnya di kantor urusan agama (KUA), pikir saya, ini titi sepertinya muslim untuk status agama di dalam KTP nya. Umurnya sudah hampir separuh baya agaknya atau hanya boros pada wajahnya.

Bila di jawa barat, kawin kontrak begitu marak, bumi jepara lebih memilih kumpul kebo sebagai sarana orang asing, bule, jepang, korea, untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya. Patung R. A kartini, berdiri tegak, kokoh, dan kepala saya ini berpikir bahwa kiranya si raden ajeng itu tidak tahu tentunya bila generasi berikutnya, wanita-wanita setelah ia, beberapa abad berikutnya akan sangat jauh berbeda dengan cita-cita dan harapannya.

Adalah titi, wanita asal jepara, tidak ada raut penyesalan di wajahnya atas ke-anomali-an yang ia lakukan tidak seperti narasumber lainnya, yang berbicara dengan disamarkan dalam hal wajah dan suara. Bu de titi, dengan tenang, dengan santai berbicara di depan kamera, tanpa ada kata ‘samaran’. Bu de titi tidak merasa malu, mungkin sudah hilang sejak beberapa tahun yang lalu, atau memang sama sejak awal, rasa malu itu sudah tidak ada sama sekali.

Adalah titi, tak apa ‘kumpul kebo’ katanya. Sejarahnya, cerita hidupnya, ‘orang tua saya miskin, gimana ya, saya sudah bosan hidup miskin’ begitu katanya. Dengan hidup serumah dengan pak de bule, ‘saya jadi tau jogja, bali, bisa nginap di hotel-hotel yang wah’, begitu ujar titi pada pewawancara, polos atau apa? Subhanallah, pikiran ini hilir mudik, centang perenang, tarik ulur benang merah yang ada, menghubungkan yang satu dengan yang lainnya. Hampir pukul 00.00 malam, beginilah kiranya keadaan di luar sana. Sungguh, betapa dunia merupakan sekeping taman surga yang masih belum ada apa-apanya bila dibandingkan dengan surga yang telah dijanjikan oleh Nya.

Sungguh, melihat, mendengar, betapa banyak di luar sana manusia yang mencintai dunia melebihi batasnya, melampaui porsinya hingga mengabaikan segalanya, hingga melupakan bahwa hidup hanya sementara, dan dunia nampak sudah begitu melenakan bagi manusia yang tidak sadar akannya, saya juga kadang begitu, terkadang seperti itu, nampaknya, sepertinya.