"Angin dingin bertiup, aku kedinginan, meskipun kamu, matahari, sedari tadi mengikuti aku kesana dan kemari"
Aku bercerita tentang seorang anak manusia, seorang perempuan, yang sudah beranjak matang dalam usianya, tetapi masihlah mentah dalam cara berpikirnya.
Anak perempuan itu mematut dirinya di depan kaca, hampir satu jam lamanya. Dia melilitkan kesana-kemari kain penutup kepalanya. senyumnya beberapa waktu yang lalu kecut bukan alang kepalang, rasa kesalnya meradang memenuhi hati dan kepala. Membuatnya berpikir "ihhhh ini jilbab kenapa sih, susahnya" begitu ujarnya pada dirinya sendiri.
Satu jam hampir berlalu, dia selesai dengan kegiatan merias diri sendiri. Untuk orang lain, mungkin dia tidaklah cantik, tidak begitu menarik. Tetapi untuk dirinya sendiri, untuk ibunya untuk ayahnya, dia tetaplah seorang anak perempuan yang akan selalu cantik di mata kedua orang tuanya.
Angin dingin bertiup, kamar yang berdindingkan triplek, beratapkan asbes itu semakin membuat panas kepalanya. Semakin membuatnya ingin segera beranjak pergi dari tempat dimana saat itu dia berdiri, mematut diri, di depan kaca.
"Aku cukup cantik" begitu ujarnya dengan penuh percaya diri.
Anak gadis ayahnya itu segera membereskan tas ranselnya, memasukkan beberapa perlengkapan menulisnya. Satu unit netbook beserta kabel powernya, tidak lupa satu kotak jus instan dia bawa, untuk pelepas dahaganya.
Hari sudah beranjak sore, hampir pukul 14.00 siang. Tujuan pertama adalah salah satu bank negara yang tak berada jauh dari tempat dia tinggal, kamar kosnya. Dengan langkah kaki yang penuh percaya diri dia menapakkan kaki di bumi "hap hap hap" anak perempuan ayahnya itu menantang matahari.
Senyumnya terkembang, dia lupakan semua kesakitan, dia lupakan semua kesalahan, dia lupakan semua yang ingin dia lupakan, dia anggap tidak pernah ada di dalam hidupnya, bahkan meskipun untuk satu detik saja.
Sesekali ia menghela nafas panjang, entah apa yang ia pikirkan, tetapi sepertinya alam pikiran bawah sadarnya sedang membebankan sesuatu kepada hatinya.
Lamunannya akan indahnya bercengkrama dengan aku Sang matahari, terhenti. Ketika ia sampai di depan sebuah gedung yang bertuliskan Bank Negara Indonesia. Seorang pria berusia hampir 30 tahun membukakan pintu sembari berkata "selamat siang, ada yang bisa saya bantu" begitu ujar lelaki berpostur tegap itu.
"saya mau print buku tabungan" begitu ujar anak perempuan ayahnya itu
Dengan ramah, lelaki yang berprofesi sebagai satpam itu memandu anak perempuan ayahnya itu untuk mengambil nomor antrian, kemudian berkata "mbak ini nomor antriannya, nanti langsung ke teller saja" begitu katanya
Anak perempuan ayahnya itu tersenyum, senyum yang manis untuk seseorang yang sudah mendedikasikan diri untuk pekerjaaannya dengan sepenuh hati, sembari mengucapkan "terima kasih pak"
Tak lama, "nomor A 196 silahkan ke teller ........."
anak perempuan itu segera menyelesaikan urusannya, mencetak bukti transfer yang dibutuhkan oleh ibu dan kakaknya, yang saat ini sedang berada jauh di desa.
"Ada lagi yang bisa saya bantu mbak" begitu ujar teller cantik itu
"Sudah, sudah mbak, terima kasih ya" ujar anak perempuan itu kepada orang yang sudah melayaninya dengan senyuman.
Dia beranjak pergi, lalu duduk sejenak, menghilangkan panas, meredakan produksi keringat yang memenuhi punggungnya, yang mengalir deras karena sinar matahari yang tak henti dari pagi hari hingga siang ini. Anak perempuan itu duduk, sembari melayangkan pandangan matanya ke sana ke mari, kemudian bertumpu pada layar televisi. Melihat apa yang sedang dilakukan semua Anggota Dewan yang terhormat di Gedung DPR hari ini, siang ini, saat ini.
Pandangan matanya tertumpu, terdiam, kemudian tiba-tiba nanar, melihat lautan manusia yang berbaju merah, kuning, ungu, hijau, dengan atribut-atribut bendera lengkap di tangan mereka. Anak perempuan itu hanya terdiam, pikirannya silang lintang, hatinya tidak tentu, tidak tenang. Pemandangan seperti itu mengingatkannya pada kejadian di tahun 1998 lalu.
Pikirannya kembali kepada khutbah jumat siang itu "...............mahasiswa merusak fasilitas umum, ini, itu, membakar..........., yang dibakar, yangn dirusak itu dibangun, dibeli dengan uang siapa? uang rakyat? uang saya juga" begitu ujar khotib jumat siang itu
Anak perempuan itu tersenyum kecut, dia memilih berhenti mengarahkan pandangan ke layar televisi berukuran 24" itu. Dia beranjak pergi, kembali diiringi senyuman seorang petugas keamanan bank "terima kasih mbak" dan seperti biasa, dia membalas dengan senyuman yang terbaik yang dapat dia berikan.
Ia melangkahkan kakinya, berat, sembari pikirannya melayang kemana-mana, tentang kenapa, mengapa. Tentang kenapa bangsa ini begini, tentang kenapa mahasiswa yang berbaju warna-warni itu seperti itu. Tentang kenapa mereka harus merusak, tentang kenapa orang-orang yang duduk di kursi nyaman itu berlaku seperti itu. Ia berpikir tentang perkataan khotib jumat siang itu, tentang wakil rakyat yang benar-benar mewakili rakyat
"....., mewakili rakyat untuk tinggal di rumah mewah, mewakili rakyat untuk naik mobil mewah, mewakili rakyat untuk jalan-jalan keluar negeri.........." begitu sindiran sinis khutbah jumat siang itu.
tentang "........, mengantarkan rakyat indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan, hanya sebatas gerbang, pintu gerbang, belumlah sampai ke-kemerdekaan yang sebenarnya, karena dari dulu kita hanya sampai di depan pintu gerbang" begitu seloroh khotib sholat jumat siang itu.
Anak perempuan itu menghentikan langkahnya
"Kita berhenti di sini, angin. Kita akan bersama-sama merenung di sini matahari" begitu ujarnya pada ku dan angin siang ini.
Kami temani dia duduk, aku tetap bersinar, angin tetap bertiup agar dia tidak begitu merasakan panasnya pancaran sinarku siang ini.
Ketika suara azan berkumandang, ketika iqamah mengajak para jamaah yang berada di masjid Salman untuk berdiri, menegakkan sholat, anak perempuan itu khusyuk masyuk dengan netbooknya. Dia menceritakan tentang pengalamannya siang ini, menceritakan tentang kegundahan yang ada di dalam hatinya, mengabaikan keberadaan aku dan angin yang menemaninya.
Katanya
"temani aku, duduk di sini" begitu ujarnya sembari tersenyum
Dan seperti biasa, aku dan angin tak dapat menolak setiap permintaannya.
Jari jemarinya menari ke sana kemari, bertumbukan dengan tuts-tutus keyboard netbooknya yang berwarna putih. Tidak ia pedulikan tiupan angin yang dengan jahilnya membuat daun-daun berterbangan disekelilingnya. Dia tetap dengan kesibukannya, melupakan apa yang terjadi di sekitarnya. Dia terhenti sejenak ketika seorang lelaki yang usianya tak jauh berbeda dengan dia menghampirinya, kemudian berkata
"Assalammu'alaikum teh, bisa minta uang 2000" begitu ujar lelaki tampan itu
Anak perempuan itu hanya tersenyum sembari menggelengkan kepala, kemudian lelaki tampan itu beranjak pergi sembari berbicara pada diri sendiri. Lelaki tampan itu sudah kehilangan kesadarannya akan dirinya sendiri, lelaki itu sudah tidak normal lagi, ia sudah gila, sebenarnya gila.
"Kalian lihat dia, dia gila" begitu ujar anak perempuan itu padaku
"Kemana angin" begitu dia bertanya
"Aku di sini" ujar angin sembari bertiup ke sana kemari. Sibuk dengan kesenangannya menerbangkan dedaunan yang sudah tua, menguning, kemudian jatuh ke tanah, lalu kembali terbang kesana dan kemari. Terkadang membuat kesal petugas taman yang membersihkan taman ini"
Anak perempuan itu tersenyum, melihat ulah temannya yang sedang asyik dengan kesibukan barunya.
"Aihat lelaki tadi wahai matahari?" begitu dia bertanya padaku
"Iya, jelas sekali" begitu jawabnya
Sembari mendongakkan kepalanya, melihat ke arahku. Dia memejamkan matanya, kemudian tersenyum, sembari berkata "aku sedih melihatnya. Aku tersenyum dibalik kegilaannya, aku menghela nafas menyadari seperti apa yang ada di dalam hati dan pikirannya saat ini"
aku terdiam, mendengarkan anak perempuan itu bercerita.
Anak perempuan itu kembali terdiam, kembali sibuk dengan jari-jemarinya yang berlari kesana dan kemari. Aku tinggalkan dia sendiri, sibuk dengan kesenangannya bercerita di dalam dunianya.
Tak lama, banyak manusia menghampirinya, manusia yang berpakaian merah, kuning, hijau, ungu, semua warna lengkap dengan bendera di tangan mereka. Persis sama seperti apa yang anak perempuan itu lihat di televisi siang ini.
Aku memanggil angin dari kejauhan, bergegas menghampiri anak perempuan itu yang tak menyadari apa yang akan dia hadapi, apa yang akan dia alami siang ini.
"Aku gak suka lihat kekerasan, lihat dari televisi aja bisa bikin nangis. Jadi inget tragedi tahun 1998" begitu ujarnya padaku ketika bercerita tentang apa yang dilihatnya dari televisi yang berukuran kira-kira 24" siang ini.
Aku terlambat, orang-orang itu sudah meringsek masuk ke dalam taman yang berada di belakang masjid salman itu. Semakin lama semakin mendekat ke arah anak perempuan itu. Aku hanya terdiam, memejamkan mata tak ingin melihat apa yang akan terjadi pada anak perempuan ayahnya itu.
Aku melewatkan kejadian dimana anak perempuan itu terbelalak kedua matanya, duduk diam tak beranjak dari tempat awal dia berada. Ketika orang-orang yang berpakaian warna-warni itu, yang berteriak-teriak "tolak kenaikan harga BBM" itu, berkejar-kejaran dengan aparat keamanan, yang secara sadar atau pun tidak tiba-tiba mengambil netbook putih anak perempuan itu. Kemudian terhempas ke tanah, terinjak, patah menjadi dua. Dan ketika tas anak perempuan itu melayang, terlempar beberapa meter dari tempat dia berada. Anak perempuan itu masih terdiam, terbengong-bengong dengan apa yang terjadi pada dirinya, termenung melihat netbooknya satu-satunya terbagi menjadi dua.
Tak sampai beberapa menit, kerumunan itu sudah menjauh, terbawa angin, pergi ke tempat yang lain, masih berkejar-kejaran dengan aparat kepolisian. Taman itu kembali hening, angin tetap bertiup memberikan kesejukan pada anak perempuan itu, agar berkurang sedih di dalam dadanya.
Anak perempuan itu beranjak dari tempat duduknya, aku beranjak mendekatinya, ku isyaratkan pada angin agar tak bertiup terlalu kencang,
"berikan anak perempuan itu kesejukan, supaya tak terlampau sedih hatinya" begitu ujarku pada angin
"Maafkan aku........." begitu ujarku dan belum selesai aku mengemukakan alasan mengapa aku tak dapat membantunya, anak perempuan itu berkata sembali memungut kertas-kertas yang berterbangan, sembari mengambil tas ranselnya yang terlempar, sembari memungut layar netbook beserta keyboardnya yang sudah terpisah.
"itulah kenapa aku tidak suka kekerasan"
"itu kenapa sedari tadi rasanya aku ingin berkata pada manusia yang berpakaian warna-warni yang berada di dalam televisi itu untuk pulang" anak perempuan itu berbicara dengan ekspresinya yang datar.
"Seperti inilah negeriku" begitu ujarnya sembari berusaha menyatukan layar dengan keyboard netbooknya
Ia memasukkan kedua benda yang sudah terpisah itu ke dalam tas ranselnya, lalu
"mari kita pulang" begitu ujarnya padaku
aku mengajak angin beranjak pergi, memaksanya berhenti bermain-main dengan dedaunan yang berguguran.
Anak perempuan itu beranjak pergi meninggalkan taman yang hening itu, meninggalkan burung-burung yang berkicau bebas di taman itu.
Dia melangkahkan kaki, derap langkahnya "hap hap hap" sembari tersenyum kepada ku dan angin di sore itu.