"Yuda, sudah lagi main burung itu. Lihat, sudah banyak lubang itu di kandangnya !!!" begitu kicau ibu di pagi hari. -hahahaha, tega sekali saya menjuluki ibu saya dengan julukan 'kicau'. inilah dia cerita jenaka penuh makna tentang -hilangnya 'burung' adikku yuda-
Gambar ini diambil dari google image. Burung adikku sudah hilang, jadi tidak sempat mengambil gambarnya hahahaha |
Berawal dari kegemaran baru kakak iparku dan seorang pegawai ibuku, yang mencoba keahlian mereka dalam berburu. berburu burung di sekitar pemukiman rumah orang tua ku. selepas bekerja, bisa dipastikan kakak iparku dan seorang temannya yang bernama sama dengan adikku -yuda- beserta seorang karyawan ibuku. mulai mengarahkan moncong senapan angin mereka ke arah langit yang biru. menanti, mengawasi burung yang bertengger di pucuk-pucuk pohon, di cabang-cabang anthena rumah para tetangga.
Pada suatu hari, karyawan ibuku mendapatkan seekor burung yang sudah mati dari teman kakak ku itu, kak yuda. lalu "lumayan, untuk lauk makan" begitu ujar karyawan ibuku itu.
Yuda, itu nama singkat adikku, entah sejak umur berapa aku tak tahu, tapi yang pasti adik lelakiku yang satu-satunya ini, sudah murni 100% mengalami gangguan di syarafnya. Fisiknya memang normal, ia tumbuh seperti anak biasa pada umumnya dan usianya saat ini sudah 20 tahun. tetapi, akal pikirannya hanya terhenti pada usia 7 tahun. tidak berkembang lebih jauh lagi, mungkin memang sudah enggan untuk berkembang.
Tidak ada aktifitas yang berarti, itulah yang adikku lakukan setiap hari. memutar musik yang ada di handphone miliknya, kemudian bernyanyi dengan lirik yang ia gubah sesukanya.
Lalu hari itu adikku melihat ritual penyerahan burung yang sudah mati itu, 'burung yang diserahkan kak yuda kepada karyawan ibuku itu-. dan entah dengan alasan apa, karyawan ibuku itu pun memberikan burung yang sudah mati itu pada adikku. 'bodoh' begitu gumamku begitu mengetahui hal itu.
Adik lelaki ku ini keras kepala, luar biasa, apa yang ia mau harus didapatkannya, bila tidak maka mengamuk dengan caranya sudah menjadi senjata ampuh bagi dirinya. Dia paling pandai membuat kesal orang-orang yang berada di sekitarnya. alhasil, ibu saya pun terkadang melayangkan tangannya di tubuh adik saya, yang tingginya jauh melebihi ibu saya. tak pelak, burung mati itu pun menjadi anggota baru di rumah kami. kerja adikku itu meletakkannya di sebuah tempat sampah, kemudian mengisinya dengan benang-benang bordir sisa dari mesin jahit di rumahku. membawanya ke sana dan ke mari, hingga membuat kesal sekaligus iba ibuku tercinta.
Tiba-tiba, -yah beginilah besarnya rasa cinta ibu pada anaknya- suatu hari ibuku pulang dengan membawa seekor burung terkuku. entah bagaimana asal mula burung itu bisa disebut terkuku, mungkin di dalam bahasa ilmiah burung itu bukan bernama terkuku, aku tak tahu. Dan sejak siang itu, burung terkuku itu menjadi anggota baru keluarga ku.
Adikku, adik lelakiku itu memiliki aktifitas baru. bermain-main dengan burung itu kemana saja di sekitar rumahku. Ke depan, ke belakang, pendek kata, burung itu dibawa kemana saja beserta kandangnya. Memodivikasi kandang burung, memberikan 'makanan dan minuman-, hingga membuat ibu dan ayah saya kesal kepada adik saya itu. Segala macam rerumputan, benang, hingga air minum kemasan dimasukkan adik saya ke dalam kandang burung itu.
Burung itu indah, ya meskipun hanya dominan berwarna abu-abu dan cokelat, tetapi ia terkadang bersuara -terkuku, terkuku- begitu bunyinya. ayah saya menjadi begitu senang mendengarkannya berkicau, -bagus suaranya- begitu kira-kira ayah saya berujar.
Tersiksa, mungkin itu yang dirasakan si burung terkuku. Kandang yang rusak, tak lagi indah seperti ketika ibu saya membawanya pertama kali pulang ke rumah. Kegemaran adik lelaki ku, membuat kandang burung itu berlubang di sana-sini, bambu-bambunya mulai patah. hingga adik saya menambahkan lidi-lidi untuk diselipkan di setiap titik yang ada di kandang burung itu. Tidak terbang, meskipun lubang yang ditinggalkan cukup besar, ibu saya bilang "kata penjualnya, burung ini sudah jadi alias sudah jinak". tetapi apa iya begitu? aha saya tidak tahu, hingga hari ini burung itu terbang, hilang.
Cengar-cengir, itu yang adik saya tampakkan di wajahnya. "terbang, ibu burungnya terbang, gak tau" begitu katanya pada ibu saya. "ya sudah, kalau sudah terbang mau diapakan lagi" begitu ujar ibu saya. Dan ketika ayah saya pulang kantor, iya berkata "itulah jadinya kalau tidak mendengar apa kata orang tua".
Di dalam hati saya tertawa, geli, melihat drama antara ibu, ayah dan adik lelaki saya itu.
Sejinak-jinaknya burung, pasti ada naluri ingin bebas di dalam dirinya. Aha memang seperti apa yang ada di dalam burung terkuku itu? Naluri? apa iya punya naluri? mungkin insting sebagai seekor hewan, mungkin insting sebagai seekor burung yang ingin terbang bebas di luar sana. Yah, mungkin insting itu yang membawanya untuk tidak melewatkan kesempatan untuk terbang, ketika melihat lubang besar di sisi kandangnya.
Lagi pula, kandang yang indah pun tak mampu menahannya dari kebebasan, apalagi kandang yang rusak di sana sini, berlubang, kotor, tak jelas rupanya. Seperti itu pula apa yang dirasakan oleh manusia, berada di dalam istana tetapi bila 'judulnya' terkurung, tetap saja ia ingin kabur tentunya.
Dimana kamu burung terkuku adikku seharga 30 ribu? sudah makan kah kamu? bagaimana minum mu? tidak kedinginan kah kamu? nyenyak kah tidur mu? hahahaha, pertanyaan bodoh, burung itu lebih mampu bertahan di luar sana dari pada aku tentunya.
Baiklah burung terkuku adikku, tak mungkin kamu dapat membaca tulisanku. Tetapi, aku ucapkan selamat kepada mu, kebebasanmu adalah keinginanku. Mengenai adik lelaki ku, tak perlu kau risaukan itu hehehehe, dia baik-baik saja setelah kepergian mu. tetapi kenapa tidak kau bawa serta kandangmu bersama mu? agar tidak menjadi kerja adikku, mondar-mandir di sekitar rumah orang tuaku, sembari membawa kandang kosong mu itu hahahahaha.