Pages

Sunday, April 17, 2011

Jangan pernah ada kata -rencana terakhir-

Pikiran ku menerawang jauh, melampaui sela-sela besi tua, yang nampak langit biru tanpa awan putih yang berarak. Setiap simpul-simpul syaraf berkata 'tuliskan sesuatu untuk kami, tentang apa yang dapat kamu dapatkan dari kami'. Begitu kira-kira mereka berkata, aku pikir saatnya aku untuk bercerita, menjadi manusia ketiga, manusia yang berada di luar kotak, manusia yang menjadi pengamat. Manusia yang jiwa dan alam pikirannya terbang keluar dari raga yang stagnan, terpaut dan tergantung pada ruang dan waktu.

Alunan lagu it might been you yang dinyanyikan oleh Stephen bishop, mendampingi alam pikiranku. Membawa jiwaku semakin melambung jauh. Berpikir tentang kehidupan, tentang arti dan makna sesungguhnya dari kata kesempatan, dari sebuah umpama bahwa setiap manusia harus punya rencana. Rencana A, B, C, D dan seterusnya bila memang itu ada.

Panasnya cuaca, melihat matahari begitu riang menebarkan sinarnya, sebagai ujud -kewajiban-. Lihat dinding rumah tetangga, diliputi lumut yang tersebar secara sporadis, sesuka hati mereka kemana saja. Tetapi, apakah lumut memiliki hati? Biarlah pikiran yang berimajinasi tentang itu semua.

Aku memiliki rencana, banyak rencana, meskipun terkadang secara tak sadar, semua terlaksana secara tidak sengaja. Atau, ketika aku memaksakan memiliki rencana, dan tak satu pun yang terlahir ke dunia, atau ia lahir tapi dalam ujud yang tak kasat mata. Manusia seperti aku, terbiasa membuat banyak rencana, bila mungkin dari A sampai Z, dari 1 hingga angka terakhir yang ingin aku tetapkan sebagai rencana terakhir. Rencana yang mungkin tidak menyenangkan psikologi tetapi sebenarnya ia adalah yang terbaik dari semua rencana yang ada, untuk subjek yang sama.

Beberapa waktu yang lalu, simpul-simpul syarafku memaksaku berpikir, bahwa tidak pernah ada abjad terakhir dari apa yang namanya rencana. Tidak juga angka terakhir dari rencana, tidak juga kata -rencana terakhir- karena kata tersebut, sugesti tersebut, pemikiran tersebut hanya rekayasa buah pikir manusia semata. Seperti halnya ketika seorang bijak berkata -ketika nasi telah menjadi bubur, mengapa tidak kita perindah, percantik tampilan bubur dengan taburan bawang goreng? Lalu, kenapa tidak kita buat bubur itu menjadi lebih lezat dengan tambahan potongan daging ayam? Atau apapun yang kita suka, sebelum melumat habis bubur itu, menjatuhkannya telak ke dalam saluran pencernaan kita?

Seperti itulah seharusnya aku, kita, manusia berpikir tentang rencana. Kenyataan bahwa pikiran kita telah menstimulus jiwa dan raga untuk berbuat segala sesuatu yang sesuai dengan zona nyaman kita sebagai seorang anak manusia. Yang terkadang, membuat kita terjatuh, ketika rencana yang kita katakan -rencana terakhir- itu, merupakan hal yang kita anggap paling akhir. Mungkin rencana yang paling tidak diinginkan, padahal sebenarnya rencana itu lah yang paling baik, dari rencana sebelumnya yang katanya -rencana pertama, rencana yang jika terlaksana, realisasinya merupakan impian kita, manusia-.

Take a bow madonna, mengakhiri kontemplasi saya siang hari ini.