Pages

Thursday, September 29, 2016

Mbok suketi sebuah fiksi

Anak lelaki bertubuh tambun itu berlari, tergesa-gesa, tergopoh-gopoh iya. "mbok, itu mbok, danu mbok, danu" terengah-engah iya. Sembari membungkuk menumpukan tubuhnya pada kedua tangannya yang memegang kedua lututnya.

"Danu kenapa, ada apa dengan danu"

Nenek tua dengan kain lusuh berwarna cokelat tua yang semakin pudar warnanya. guratan-guratan garis tua semakin nampak di wajahnya. Mbok suketi, begitu orang-orang desa sukasari memanggilnya. Kapan lahirnya? entahlah, ibu bilang mbok suketi lahir pada saat belanda masih menjajah Indonesia. Mbok suki memang tua tetapi, fisiknya? jangan remehkan ia.

"Anu mbok, danu kelahi mbok, habis main bola tadi dia ditusuk sama anak kampung sebelah mbok. Sekarang sedang di bawa ke puskesmas desa"  ujar prio sembari terengah-engah

Priambodo atau prio, begitulah teman-temannya memanggil dia. Prio adalah teman dekat danu, teman sepermainan danu. Anak lelaki berkulit gelap, bertumbuh tambun, padat, dengan rambut ikal itu nampak begitu kelelahan. Tertatih-tatih iya menahankan rasa lelah, menggapai-gapai dalam meraih oksigen untuk memenuhi paru-parunya. Untuk memperlancar sebaran darah di dalam tubuhnya, bersusah payah ia menormalkan kembali denyut jantungnya.

Mbok suki terdiam sejenak, tubuhnya lunglai, sembari memegang daun pintu, mbok suki mencoba menggapai-gapai prio yang berada tepat di depan pintu. 

"Ayo ngger, antarkan mbok ke puskesmas yo" ujar mbok suki

singkat mbok suki berkata, prio segera bangkit dari rasa lelahnya. Ia lupakan sejenak rasa lelahnya karena harus berlari sejauh kurang lebih 500 meter dari lapangan sepakbola menuju rumah danu prakoso, temannya.

"Mari mbok, lekas. Alon-alon wae yo mbok jalannya" ujar prio
"Yo" sambut mbok suki
"Pintune ndak dikunci mbok, nanti ono maling mbok" tambah prio

Mbok suki memberikan senyumnya pada prio

"Ora ono maling le, rumah mbok yang jelek dari dinding bambu, ora ono isi. Arep maling opo di rumah mbok yang jelek"jawab mbok suki

Anak lelaki itu mengiyakan, memang tidak ada yang dapat diambil dari rumah kecil milik mbok suki. Rumah yang dibuat dari tiang-tiang kayu, ditembok dengan dinding bambu. Rumah yang hanya menggunakan lampu -teplok, lampu dari kaleng susu dengan sumbu sebagai pelita, dengan minyak tanah sebagai bahan bakarnya. Rumah kecil yang hanya terdiri dari dua kamar, dengan ranjang kayu tua yang sudah dimakan rayap, yang hanya menunggu hitungan jari untuk waktu ketumbangannya. Dipan kayu tua beralaskan tikar yang sudah tidak jelas lagi bentuknya.

Daun pintunya pun sudah harus ditopang dengan  kayu agar tidak jatuh ke bumi bila diterpa hujan dan angin yang kencang.

Tidak ada satupun bangunan mbok suki yangn terbuat dari dinding batu, semua hanya terbuat dari bambu dan anyaman bambu. Rumah kecil yang nyaman menurut mbok suki, tempat dia menjalankan hidupnya selama puluhan tahun bersama cucu semata wayangnya Danu prakoso.

Di sebelah selatan rumah mbok suki terdapat jalan setapak menuju hutan desa, Di sebelah utara terbentang jalan berbatu menuju desa, puskesmas desa, sedangkan di sebelah barat yang nampak  tanaman-tanaman perdu, semak belukar dan timur sejauh mata memandang yang nampak melulu tanaman-tanaman yang ditanam oleh mbok suki. Ada umbi-umbian sampai pohon-pohon bambu yang mbok suki jual sebagai salah satu mata pencahariannya

Tertatih-tatih mbok suki berjalan, ditemani prio yang menuntun mbok suki yang sudah renta dan buta pada sebelah wajahnya. Entah bagaimana ceritanya hingga mbok suki bisa kehilangan salah satu indera penglihatannya. Ada yang bilang karena dahulu mbok suki pernah tertangkap Belanda, dan karena tidak mau memberi tahu dimana markas pejuang, Belanda mencungkil salah satu bola matanya. Ada juga yang bilang, memang mbok suki sudah sejak lahir buta sebelah. Dan ketika suatu kali ada yang bertanya 

"percaya mbok ngger, kamu ndak akan mau tau seperti apa ceritanya" begitu jawab mbok suki suatu waktu

Berjalan beriringan, prio memastikan mbok suki tidak akan menambrak atau tersandung sesuatu. Kiri kanan jalan dipenuhi tanaman perdu, yang kata orang-orang kampung, mbok suki dan suaminya mbah truno yang menanam tanaman perdu itu. Tak berapa lama 

"nengdi mbok?" tiba-tiba dari arah belakang seorang penggembala sapi menegur aku dan si mbok
"sopo le?" ujar mbo suki
"iku mbok, le' tukimin. Arep neng puskesmas Le', Danu ditusuk piso le', abis maen bola tadi" ujarku
"Masya Allah, kok iso tho? yo wes naik gerobak pak le' ae, ben gak kesuwen, kesian mbok suki jalan kaki capek. Ayo le bantu mbok suki naik" ujar Le tukimin

Gerobak sapi milik le' tukimin, lelaki bertubuh pendek, berkulit sawo matang, dan kulitnya semakin nampak legam akibat terpanggang matahari setiap menggembala sapi.

"Habis nggoleki rumput Le'" begitu ujar prio sembari membantu mbok suki naik gerobak sapi Le' tukimin
"Ati-ati mbok" ujar Le tukimin
"alon mbok alon" ujar prio

"ho oh le, ini si ireng mau makan rumput di desa seberang" begitu ujar le' tukimin.
Pak le' tukimin sehari-harinya bekerja sebagai petani, menggarap sawah miliknya sendiri. Sesekali pak le' membawa sapi-sapinya seperti Ireng untuk pergi mencari rumput sembari melepaskan sapi miliknya ke tengah-tengah padang rumput.

Prio duduk di depan, di sebelah Le' tukimin sedangkan mbok suki duduk di belakang, bersama rumput-rumput yang Le' tukimin dapatkan hari ini. Sembari berbisik, le' tukimin bertanya pada prio tentang hal ihwal mengapa Danu bisa sampai ditusuk oleh anak kampung sebelah.

"iku le, kan desa kita menang, trus yang anak kampung sebelah gak terima Le. Gak tau gimana, tiba-tiba ada yang nusuk danu Le'. Padahal mainnya wes rampung le', untungnya Le', pak kades nonton tanding kita Le', jadi Danu langsung dibawa sama Pak kades ke puskesmas desa" cerita prio

"Lukane piye pri, lebar ndak? dalem ndak? darahnya okeh ora' le?"
begitu cecar Le' tukimin

"Seingatku sih" sembari memelankan suaranya karena khawatir mbok suki mendengar, prio mendekatkan bibirnya ke telinga Le' Tukimin
"darahnya okeh Le', aku wae gemeter le. Aduh le, semoga danu gak ngopo-ngopo, kasian mbok suki Le'"

"ya berdoa wae pada Gusti Allah le, semoga temenmu itu gak ngopo-ngopo yo" harap Le tukimin
"iyo Le', pasti, amin" ujar prio

Percakapan pun terhenti, semua diam tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. Prio memikirkan betapa mengerikan ketika pertama kali di dalam hidupnya dia melihat darah keluar, mengalir dari tubuh seorang manusia. Pak Le' tukimin sibuk dengan angan-angannya tentang keinginannya untuk dapat membeli sapi lagi. Sedang mbok suki, iya hanya bisa menahankan rasa sedihnya, menahankan air mata kepedihan. Menutupi rasa takut kehilangan akan cucu semata wayangnya yang sudah yatim piatu sejak dalam buaian.

"Kalau kamu ndak ada, mbok sama siapa Le'" begitu mbok suki menggumam di dalam hati

*bersambung mak....