Lama, menjelang idul adha esok di tanggal 12 September 2016. Duduk sembari mendengarkan sayup-sayup suara lantunan ayat suci Al quran dari masjid-masjid nun jauh di seberang.
Aku termasuk ke dalam manusia yang beruntung, ketika Allah menjaga raga dari menutup mata ketika menjelang waktu biologis bagi tubuh untuk beristirahat, Dia pula yang membuat mata dan raga terjaga se ketika di sepertiga malamnya.
Malas? Iya, tentu saja. Sebagai manusia kekinian, alih-alih segera beranjak menyapa air, jari-jemarj saya malah sibuk melihat timeline dari sebuah aplikasi ternama, karya seorang anak manusia fesbuk namanya.
Ada bagian dari diri yang menolak untuk taat, untuk apa, sesuatu yang tidak bisa dilihat, tetapi bisa dirasa, atau memaksakan untuk mengakui "aku bisa merasakannya". Allah itu dimana? Ataukah ketaatan ini sebagai bentuk ketakutan? Akan alam kubur? Yang gelap, lembab, dingin, sendiri? Karena pada kenyataannya saya yang sekeping ini penakut sekali.
Apapun itu, aku harus bangun, beranjak pergi, menyapa air pagi. Sebelum sesal itu datang, kemudian pergi dan tidak dapat diganti. Karena sesuatu yang sudah pergi, tak dapat kembali. Apakah itu? Waktu yang kita lewatkan dan kematian.
Ada bagian dari diri yang selalu merasa menyesal ketika setiap waktu itu pergi begitu saja, karena menurut ku, kepergiannya itu tak bermakna, sia-sia.
Merasakan angin dingin, sejuk, khas menjelang shubuh tiba. Entah darimana hembusan angin itu datangnya. Sayup-sayup, perasaan ini entah disebut apa. Meletup-letup, bahagia, aku berhasil mengalahkanmu egoku.
Tunggu, aku ini bicara apa? Tentang apa? Tentang enggannya meminta, bersujud dan menghamba, setelah apa yang diharapkan, setelah apa yang tak disangka, tak diminta, ternyata dikabulkan.
Menghela nafas panjang
Aku ingin berjumpa, tapi perjumpaan itu bolehkah aku menangguhkannya? Meskipun hak atas panjang atau singkatnya usia seorang anak manusia, Dia yang menentukan.