Pages

Wednesday, September 21, 2016

Sarapan

"mak" suara bocah lelaki itu dari jauh, dari dapur, sembari melongok ke atas tungku dapur yang hitam, legam sampai menutupi tingkap dapur, penuh dengan jelaga.
"iyo, ngapo", jawab mak yang mulai menua. "lapar mak, aku nak makan" begitu jawab suara dari bocah lelaki itu. Emak masuk ke dapur, menyingkap tirai gorden yang kusut, masai, ikut renta seiring sejalan dengan si empunya. Jari-jari yang keras, kering, sudah lama kapal-kapal itu hinggap di jari-jemari emak tua. Wanita mendekati paruh baya itu melongokkan kepalanya ke dalam panci pengukus nasi, uap mengepul-ngepul dari dalam kukusan. Panci tua, tambal di sana-sini, dasar luar panci yang menghitam legam, akibat bergumul dengan merahnya api dari kayu bakar yang kadang basah, namun berserah pada si tuan yang mempunyai kuasa, terpaksa, namun berjasa.
Jari mak tua mengambil sejumput nasi dari dalam penanak, memasukkannya ke dalam mulut, mengunyahnya. Dengan wajah datar mak tua berkata "lah masak, ambik lah pinggan aman kau nak masak".
Dengan cekatan bocah tanggung berkulit sawo matang itu melompat mengambil piring seng yang ada pada rak piring. Piring seng berwarna putih, berlapiskan enamel yang sudah mulai mengelupas. Piring seng bergambarkan bunga berwarna merah. Dia berikan pada mak tua, untuk diisikan nasi yang sedari tadi baunya sudah memenuhi ruangan dapur.
Ciduk nasi dari batok kelapa membantu mak tua menyendokkan nasi dari wadah kukusan. "tak ado apo-apo di, ado nasi bae, makanlah yang kenyang, baru bantu mak di kebun", begitu ujar mak tua sembari menyodorkan sepiring nasi putih yang asapnya mengepul ke udara memenuhi dapur, menampakkan asap putih yang membawa uap air. "iyo mak, makaseh", ujar yadi, mulutnya nampak sibuk komat-kamit mengucap doa, "bismillah", lalu suap demi suap masuk memenuhi sistem pencernaannya.
"kalau hari ini dak hujan, dapat lah kito nyadap karet di" ujar mak tua. Yadi mulai sibuk menyiapkan keranjang dari bambu, meletakkan tali keranjang di atas kepalanya. Lalu, mulai beranjak pergi berdua, bersama ibunya.
Satu-satunya harta yang mak tua punya adalah putra semata wayangnya, hari-hari dimana yadi tak pergi belajar di sekolah, dihabiskannya pergi ke kebun, membantu mak tua menyadap karet milik mereka.
Bak, ayah yadi sudah lama meninggal ketika yadi menginjak usia 3 tahun. Sejak saat itu yadi hanya hidup berdua dengan mak tua yang semakin renta. Usia mak tua sudah lebih dari setengah abad. Mak tua menikah sudah lama, namun baru dikaruniai anak ketika mak tua berkepala 4. Kini 12 tahun usia yadi, sudah hendak masuk sekolah menengah pertama. Banyak uang untuk beli seragam, buku tulis, sebelum yadi masuk sekolah lagi.
Tak ada tas baru, yadi pergi sekolah dengan sap anyam dari bumbu. Tak perlu dengan sepatu, cukup berjalan bertelanjangkaki, alhamdulillah bapak dan ibu guru mau menerima yadi. "yang penting, yadi rajin belajar" begitu ujar pak dadang, guru SMP yadi nanti.
Yadi hanya tinggal berdua, tak punya saudara. Seperti halnya emak yang menganggap yadi harta paling berharga baginya. Begitu juga sebaliknya, emak adalah satu-satunya harta bagi yadi. Itu pun baru yadi mengerti, ketika pembagian raport walikelas meminta setiap murid membuat sebuah tulisan, tentang apa itu harta.
Tulisan, yang membuat yadi tak dapat tidur, yang membuat yadi bolak-balik bertanya pada bu yuni, guru kelas 6 tempat yadi sekolah. "aku dak katek harto bu, mak mano nak nulis tentang harto", ujar yadi kebingungan.
"yadi, harta itu dak harus uang, kerito, rumah besak. Harto pacak pulo sesuatu, orang, yang yadi sayang" ujar bu guru yuni di suatu senja.
Yadi pun bergegas lari, pergi, "makaseh bu, assalammualaikum". Setibanya di rumah, yadi mengambil alat tulis dan selembar kertas. Meluncurlah setiap huruf yang ada di kepalanya, menjadi kata, dirangkainya menjadi kalimat, lalu selesailah tulisan singkat yang berkata bahwa "harto ku iyolah mak ku".
"ayo di, lah nak tinggi matahari" panggil mak tua. Ambikkan sap di balik dinding dapur. Ado wadah banyu minum, isikan banyu. Batak nasi, njuk sedikit garam" sambung mak tua. "iyo mak" jawab yadi, sembari mempercepat sarapan paginya. Mak tua tak pernah sarapan, sudah terbiasa sedari kecil katanya. Kesulitan ekonomi membuat mak tua dan orangtuanya terbiasa tak sarapan di pagi hari, bekal yang ada untuk dimakan di siang harinya, selepas bekerja penuh di kebun. Kebiasaan itu menurun pada yadi, namun mulai berubah ketika yadi masuk sekolah. Pak guru dan bu guru mengingatkan yadi bahwa sarapan itu penting untuk otaknya, "supaya yadi bisa memperhatikan pelajaran dengan baik" begitu ujar bu yuni. Dan sejak saat itu, yadi selalu sarapan pagi, sekalipun itu hanya dengan sepotong ubi kayu yang direbus dengan garam. Mak tua pun tak banyak bicara, tak juga bertanya ketika yadi berkata "mak, aku nak makan tiap pagi. Kato bu yuni, makan pagi tu bagus untuk otak ku mak". Mak tua hanya diam mendengarkan sembari mengenyam sap bambu, pesanan warga dusun bandar seberang sungai. Bagi mak tua guru di sekolah adalah manusia-manusia pintar. Dan keesokan harinya, mak tua mulai memasak makanan untuk yadi dan setelah nya selalu ada sesuatu sebagai pengganjal perut yang mak tua masak untuk putra semata wayangnya.

*bersambung mak.....