Pages

Wednesday, October 24, 2012

Ketika seorang teman bertanya

Hari ini masih dengan sukarela bed rest di kamar. Mengikuti saran pak dokter dan permintaan suami bahwa saya harus bed rest.

Menjelang sore hari, mendekat pukul 14.15 sebuah pesan singkat dari seorang teman lama, yang berkata bahwa saya sombong *dengan nada bercanda tentunya. Menurutnya, setelah menikah, saya jadi sombong. Lalu dia bertanya tentang bagaimana rasanya menjadi seorang istri. Dengan santai saya menjawab, tidak ada yang berbeda, karena saya dan suami bertemu tidak setiap hari.

Teman saya terus bertanya, dan dalam kebingungan saya masih tidak mengenali siapa dia. Karena, no simcardnya tidak ada di Hp saya. Tetapi, saya tetap meladeninya, karena dia sepertinya benar-benar seorang teman lama. Kenapa? Karena dia memanggil nama saya dengan sebutan yang begitu familiar di mata dan telinga saya.

Saya masih terus berbalas pesan dengan teman tanpa nama, sampai ketika dia bertanya "sudah sukses belum?", tadinya saya ingin menjawab "sukses dalam hal apa? Materi? Kekayaan?". Tapi saya urungkan, saya kemudian menggantinya dengan "sukses? Maksudnya?". Saya ingin mengetahui terminologi sukses menurut cara pandangnya. Lalu, dia menjawab "sukses tuk punya jundi?".

Sejenak, saya terdiam, sedang memikirkan jawaban yang tepat. Sebenarnya saya bisa dengan mudah menjawab "iya" atau "belum". Tetapi, tidak menarik bila membuat ini begitu mudah. Jadi, saya jawab dengan sebuah kalimat panjang, tentang siklus pertanyaan yang akan selalu dihadapi oleh manusia.

"Jundi itu keturunan ya maksudnya?

-Ada pattern orang indonesia yang saya pelajari pas S1 dulu. Pada saat kuliah orang akan bertanya -kapan lulusnya?-, setelah lulus kembali ditanya -kapan kerja, kerja dimana?-, setelah bekerja kembali ada lagi yang bertanya -kapan nikahnya-, setelah menikah -kapan punya anaknya?-, setelah punya anak -anaknya sudah bisa apa?-, begitu seterusnya....."

Dst dst dst lalu ranking berapa, anaknya sekolah dimana?, anaknya kuliah dimana?, dan anak kita pun akan menghadapi pertanyaan yang sama seperti orang tuanya dahulu.

Tetapi, tidak pernah ada yang bertanya kepada orang yang sudah begitu lanjut usia, yang sudah ditinggalkan meninggal lebih dulu oleh rekan-rekannya. Orang tua itu tidak pernah akan menghadapi pertanyaan "kapan matinya?".

Lucu
Ada kesulitan bagi saya untuk membedakan antara rasa peduli dengan rasa ingin tahu yang berlebihan. Ada kesulitan juga membedakan antara patut dan tak patut, sopan dan tidak sopan mengenai bertanya tentang kehidupan pribadi seseorang. Menurut saya, sudah sewajarnya, sebagai manusia kita membatasi tentang apa apa yang kita bisa bertanya tentangnya, tentang apa yang kita harus menahan lisan, diri kita untuk bertanya.

Dan begitu saya membalas pesan teman lama dengan siklus pertanyaan yang menjadi pattern orang Indonesia kebanyakan tersebut, dia tidak membalas pesan saya. Entahlah, tapi semoga dia tidak berkecil hati dengan pesan singkat yang saya kirimkan saat itu.

Lesson learn

Kadang kita lebih baik tidak bertanya tentang hal yang kita tidak ingin mendengar jawabannya. Kadang, lebih bijak bagi kita untuk diam, daripada membiarkan lisan kita bertanya tentang kehidupan pribadi seseorang. Kenapa? Karena kita tidak pernah tahu keadaan psikologi seseorang itu saat itu. Bisa jadi seseorang itu terganggu, merasa tersinggung, atau mungkin senang, entahlah. Dan untuk sesuatu yang entahlah itu, diam memang benar-benar bernilai emas.."