Pages

Wednesday, April 27, 2016

Memori

Siang suara deru mesin pendingin udara, sayup terdengar alunan lagu 'memori' vina panduwinata. Saya lupa apa judul tepatnya, yang benar-benar terpatri di kepala saya hanya kata memori. Menghela nafas panjang, berat, mengingatkan saya pada gambaran seorang wanita tua, ibu dari seorang lelaki yang saya panggil ayah.

Mengingatkan kembali sembari menahan titik air dari sudut kedua mata saya. Nenek, embai kalau orang dusun kami menyebutnya. Saya tidak begitu dekat, atau karena luka yang ibu saya derita, membuat saya tidak bisa mendekatkan diri pada embai saya itu.

Lalu lalangnya aktifitas manusia-manusia di jejaring sosial, menampakkan gambar pempek keriting, panganan khas palembang, setidaknya salah satunya. Setiap ulir-ulirnya mengingatkan saya pada sosoknya, yang berdiri di samping meja panjang, dengan tinggi sedikit lebih panjang dari pinggangnya. Saya masih ingat, ketika mengunjunginya, beliau sedang sibuk bekerja, menjemur kerupuk yang baru habis dicetak, kerupuk keriting berwarna kuning. Saya masih ingat, sering memakan adonan yang baru jadi, baru hendak dijemur, belumlah digoreng, masih setengah jadi.

Rasa sedih itu muncul, rasa sesal itu muncul, saya merindukan sosoknya, kenapa saya tidak banyak berbicara dengannya? Waktu yang ada saat itu, ketika beliau tinggal bersama kami, selepas kepergian pasangan hidupnya, kakek, saya tetap tidak banyak bicara, hanya sesekali bertegur sapa, sedih, sakit, saya merasakan sedih itu sekarang, sedih yang tak berdaya, selain titik air mata, karena embai sudah tak ada, sudah tiada.

Tinggal berjauhan, semakin membuat jarak yang jauh antara saya dengannya. Konflik yang ada antara ibu dan beliau, membuat kami jauh secara emosional dengan beliau. Saya masih ingat, ketika duduk di bangku SMP, saya ingin mengajak bakas dan embai untuk tinggal bersama saya ketika dewasa. Tapi bakas meninggal di tahun 2000, ketika saya duduk di bangku SMA kelas 1. Ketika menikah, saya kembali berkata, akan membawa embai pulang ke baturaja, membuatkannya rumah sederhana, daripada dia jauh di sana, Batam riau. Tapi, kembali, tahun 2016 di awal tahun, beliau pergi dalam tidurnya. Dengan penyakit katarak yang diidapnya, yang ia tidak ingin siapapun mengoperasinya.

Menyesal, saya menyedal, satu-satunya yang bisa saya berikan, sebuah mukena hasil saya berdagang, doa saya untuk embai, nenek, ibu dari ayah, semoga Allah melapangkan kuburmu, menghilangkan siksa kubur dan neraka dari kulitmu