“Authenticating”, melulu itu yang nampak di layar netbook yang berukuran tak lebih dari 10 inchi ini.
Menggeleng-gelengkan kepala, ke kiri dan ke kanan. Sesekali menggerakkan punggung yang kelelahan, lelah karena sepanjang hari duduk diam, memperhatikan layar putih yang berkelip-kelip. Bermain-main dengan radiasi dalam skala kecil yang lambat laun pasti mengakumulasi diri sendiri, sampai suatu saat menimbulkan dampak berupa mutasi gen, sebagian besar ke arah yang negatif. Tetapi, semoga saja itu tidak terjadi pada ku, kamu dan mereka semuanya. Lalu, pada siapa? Ya boleh jadi pada manusia yang tidak memiliki hati nurani, seorang pembunuh yang mendapati kesenangan dari aktifitas membunuhnya barangkali. Atau mutasi gen itu terjadi pada manusia yang paling jahat se dunia, dan semoga saja itu bukan aku, kamu, dan mereka.
Sore hari, angin sepoi-sepoi bertiup. Menggerak-gerakkan gorden kamar kosan ku yang berwarna kecokelatan. Cokelat karena memang berwarna cokelat, bukan karena berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun tidak menyentuh apa yang namanya air dan sabun, yang menurut iklan dapat membersihkan segala macam kotoran, termasuk yang tidak terlihat.
Bandung 27 januari....................
Ketika seorang anak manusia bernama dian sekarwangi, seorang anak manusia yang ketika akan lahir disangka jejaka. Tapi ternyata, ia seorang bayi perempuan mungil, yang orang tuanya tidak pernah tahu bahwasannya ia akan tumbuh menjadi anak perempuan yang nakal, keras, tetapi memiliki sekeranjang penuh rasa simpati, empati, dan melankolis dalam skala tinggi.
“kakak, dipanggil nenek” begitu ujar remaja tanggung itu. Dia berbicara sembari sibuk menekan tuts-tuts, tombol –keypad- Hp qwerty-nya.
Dengan perasaan agak masgul, antara ragu dan yakin akan asas praduga tak bersalahku terhadap firasat dan perasaan yang melintas di kepala dan di dalam dadaku.
“iya gitu? Kenapa?” Begitu balasku pada gadis remaja tanggung itu
Usianya masih belia, ya bila dibandingkan aku yang sudah berkepala dua, lebih tepatnya seperempat abad hampir plus satu. Karena beberapa bulan lagi aku genap berusia 26 tahun. Oh tuhan, tetangga kiri kanan sudah berlari bersama pasangan, sedangkan aku? Masih berleha-leha dengan kesendirian.
Tidak laku? Tidak ada yang mau? Belum ada yang cocok? Sampai jodohnya belum sampai, semua kata-kata itu memiliki makna yang serupa meskipun tak sama dalam susunan katanya.
Mari kembali menterjemahkan seperti apa gadis belia yang menjadi cucu dari ibu kost ku itu.
Cantik? Ya bila dibandingkan aku
“hahahaha” aku tertawa
Tingginya mungkin sekitar 155 cm dengan berat badan lebih kurang 45 kg. Wajahnya seperti pualam, meskipun aku tidak tahu seperti apa itu pualam. Tapi kesan mungil, bersih, disertai dengan rambutnya yang terjuntai se-bahu, dilengkapi dengan warna hitam pekat, lebat. Sungguh, Allah menciptakan manusia tidak pernah sama, meskipun satu keturunan dengan ayah dan ibunya. Dan gadis remaja tanggung ini, sedang berada pada titik-titik cantiknya ia.
“hahahhahaha” aku kembali tertawa,
Pikiran nakalku mencoba mendeskripsikan gadis remaja itu, kemudian menyertai penggambaranku dengan sebuah kalimat pamungkas, agar tak iri aku dibuatnya
-----gadis itu cantik karena memang dia sedang berada pada usia yang cantik pula. Tetapi, mendekat masa uzurnya? Ia akan sama seperti neneknya, keriput dan tua------
“hahahaha” aku kembali tertawa di dalam hati
“payah, baru mau sholat ashar. Sudah dipanggil sama ibu kos hadduh, kenapa ya? Jangan-jangan mau ngomong kalau aku terlalalu berisik di lantai atas” begitu firasat ku kira-kira saat itu, karena kamar ibu kos tepat berada di bawah kamar ku.
Bunyi derit yang terjadi sebagai akibat dari gesekan roda pintu dengan besi yang menjadi lintasannya. Karena pintu kamar nenek bukan menerapkan sistem buka dan menutup dengan gagang pintu. Melainkan dengan cara digeser ke kiri dan ke kanan.
Seorang wanita berusia 60 tahun, kurus, keriput, layu, kusam. Maafkan aku nek, aku menjadi terlalu kurang ajar dalam mendeskripsikan kecantikan mu.
Wanita yang sudah tua itu duduk di atas kasurnya, dengan selimut yang menyelimuti kakinya.
Beberapa waktu yang lalu, nenek masih gemuk, padat, berisi, putih, ah gagahnya si nenek. Berjalan beberapa kilometer masih sanggup dia, hebat, begitu yang berputar-putar di kepalaku, beberapa waktu yang lalu. Tapi kini? Nenek tak lagi sepeti dulu, berat badannya menghilang, kekuatannya yang dahulu pergi entah kemana. Meninggalkan nenek seorang diri, menjadi wanita yang kurus. Nampak seperti menahun sudah penyakit itu bersarang di dalam tubuh nenek.
Bukan penyakit yang elit, tidak pula berbahaya kalau menurut orang-orang lulusan kedokteran yang didatanginya.
“kata dokter, nenek cuma sakit batuk biasa” begitu ceritanya beberapa waktu yang lalu padaku.
Dengan potongan rambut yang pendeknya kira-kira lebih kurang 5 cm, nenek terlihat kurus. Aku berandai-andai bilamana nenek berambut panjang, tentu lebih nampak garis-garis tirus di wajahnya, dan kesan kurus itu, pasti semakin kentara.
“kenapa nek?” begitu aku bertanya
Beliau duduk sembari sesekali memperbaiki letak selimut yang membalut dari pinggang sampai ke ujung kakinya.
Sembari mengusap-usap wajahnya, membelai sendiri rambut pendeknya. Nenek memulai ceritanya
“............ uang listrik bulan ini 600 ribu neng, paling lambat tanggal 28..........”
“....nenek gak punya uang, uang laundry diambil semua sama anak lelaki nenek....”
“..........nenek pinjam uang....., anak sholeh seperti neng ini sebenarnya gak perlu bayar kostan. .........., dulu kan nenek punya hutang 500 ribu, kalau ada nenek pinjam 600 ribu....”
Ceritanya, nenek meminta aku untuk membayar uang kostan yang harusnya aku bayarkan di bulan Juli, untuk dibayarkan sekarang. Setidaknya 600 ribu, untuk membayar listrik bulan ini.
Aduh, mulailah bingung aku dibuatnya. Wajah mengiba si nenek, ya baiklah dia tidak mengiba. Tetapi, aku, hey aku ini perempuan, namaku dian sekarwangi. Kamu tau kan, dari awal aku katakan, aku ceritakan, aku ini keras. Ya dan kamu tau kalau aku ini dari lahir sudah berwatak keras.
Ibu bilang“cah wedok gak oleh koyo cah lanang” sembari mengetuk-ngetuk kepala ku, sembari mengusap-usap ubun-ubunku, kemudian“fyuhh fyuuuhh” ibu meniup ubun-ubun kepalaku
Ketika aku bersikeras membenci tetanggaku yang usianya tak jauh berbeda dari bapak ku. Kenapa? Karena menyebabkan gagang sapu milik ibu mendarat telak dikedua kaki ku.
“bapak gak mau tau, kamu gak boleh manjat-manjat atap genteng lagi. Nek tibo, jadi urusan, cah wedok kok koyo ngono........” begitu ujar bapak saat itu, hampir 10 tahun yang lalu
Baiklah, aku keras, tapi aku perempuan keras yang mewarisi sekeranjang penuh sifat empati, simpati ibu. Dan kalau sudah tersentuh, air mata ku bisa tak henti mengalir, mungkin seperti mata air zamzam yang ada nun jauh di tempat kabah berada.
Aku juga sudah ceritakan pada kamu, bahwa aku memiliki sifat melankolis dengan kadar yang tinggi. Maka ketika melihat nenek dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Ditambah lagi dengan efek suara yang sesekali disertai dengan batuknya. Kemudian semakin dipercantik dengan suara gemeretuk giginya, yang menghasilkan suara sama persis seperti ketika mbah kakung ku mengunyah makanan di giginya yang sudah tua.
Hati ku berlonjak-lonjak, tak tahan aku dibuatnya.
Lalu “nanti ya nek, tanya sama orang rumah dulu” begitu ujar ku.
Aku tak dapat langsung mengiyakan, 600 ribu buat pengangguran sepertiku, oh itu jumlah yang besar
“ya, nenek juga bingung mau pinjam kemana. Semalam nenek gak bisa tidur,..........” begitu tambahnya
Sisanya? Aku tak lagi mendengarkan secara seksama apa yang nenek katakan.
“berdoa aja nek, siapa tau nanti malem saya ketemu uang di bawah kasur” begitu selorohku
Candaan yang sama sekali tidak lucu, sungguh tidak lucu.
Aku beranjak pergi, mohon diri, karena waktu ashar sudah lewat lebih dari setengah jam yang lalu.
“neng sudah makan?” begitu tanya nenek
Entah nenek serius bertanya atau sekedar basa-basi karena merasa tidak enak dengan maksud dan tujuannya memanggilku demi uang 600 ribu itu.
“sudah nek, yang belum makan malam” jawab ku
Aku beranjak pergi, melangkahkan kaki menuju kamar mandi.
Baiklah, aku mulai berbicara dengan hati dan kepalaku. Bertiga kami merumuskan bahwa sekarang saatnya untuk meratapi nasib, kemalangan diri sendiri. Atau sebenarnya aku tidak lah malang.
Dengan hilangnya netbook ku, disusul kemudian jam tangan ku dan baru aku sadari sekembalinya aku dari libur semester pertamaku. Lalu, beberapa waktu yang lalu, tanggal 24 januari, tepat ketika warga keturunan tiong hoa merayakan tahun baru, tahun naga, aku si dian sekarwangi, secara bodohnya kehilangan telepon genggam qwerty-ku, yang aku beli beberapa bulan yang lalu.
Hati dan kepala ku semakin bersitegang ketika kepala ku mengingatkan aku, bahwa minggu depan aku harus melakukan medical check up terhadap penyakit tumor ku.
“gdebuk............?#$%#&%$&$” seperti itu yang ada di dalam kepala ku.
Semua berujung pada uang
Susah payah aku bertahan belum mengganti Hp ku yang hilang, dengan alasan aku masih bisa bertahan dengan hp tua yang menjadi sarang kartu IM-three-ku. Dan untuk kartu sim-pati ku? Aku istirahatkan dia, karena kepalaku masih mengukur seberapa penting hp qwerty pengganti itu.
Nenek tau itu, nenek tau kemalangan yang menimpaku itu, heran aku dibuatnya, apa nenek tidak ada rasa kasihan kepada ku? Atas kemalangan yang menimpaku.
Aku bisa mengeluarkan 600 ribu itu, sekarang, saat ini juga. Tapi? Medical check up ku? Bagaimana pula dengan rencanaku untuk mengganti handphone yang hilang? Lalu bagaimana pula dengan netbook ku yang diambil orang, pada saat aku sedang tidak berada di kostan. Lalu dengan jam tangan ku? Oh Masya Allah semua berawal dari kata –bagaimana-
Aku katakan pada hatiku, untuk apa menyimpan uang di dalam bank kalau tidak digunakan.
Ya kalau ada yang disimpan, tapi aku?
“hahahaha” aku tertawa, menertawai diri sendiri
Aku berbangga diri dengan berpikir tentang betapa malangnya diri. Tapi, sebenarnya aku tidak semalang itu.
“Dan kamu tau? Sepertinya aku akan keluarkan uang 600 ribu itu dari genggaman tanganku” ujarku
Aku segera beranjak, meninggalkan angin yang bertiup sepoi-sepoi menyejukkan.
“apapun keputusanmu, aku ucapkan selamat untuk itu” begitu ujar angin dari kejauhan.
Aku berjalan, tersenyum, sesekali mengeluarkan gigiku yang menurut bapak dan ibu
“bagus nduk, lumayan rapi”
Sebagai akibat dari pengekangan selama hampir dua tahun, pengekangan yang dilakukan oleh kawat-kawat yang dipasangkan oleh seorang dokter gigi muda, beberapa waktu yang lalu.
“......ya, terima kasih untuk ucapan selamat mu itu” begitu balasku dari kejauhan.
Aku berlari, semakin lama, aku semakin menjauh dari sejuknya tiupan angin petang yang menemaniku merenungkan tentang lembar 600ribu itu.