Mengapa mereka tidak mencintai Mu
Mengapa mereka tidak mengagumi Mu
Siapa,
Apa,
Hanya seorang anak manusia yang tidak ada apa-apanya bila tak kau tiupkan Ruh itu di dalamnya
Berkali-kali meminta
Cintakan mereka kepada Mu
Semakin cintalah mereka kepada Mu bilamana melihat meskipun hanya sekejap
Tapi tak begitu
Tapi belum begitu
Apa memang harus berdua ya Rabb
Apakah memang harus menggenapkan separuh dien agar mereka mengerti
Bagaimanakah caranya ya Rabb
Ia tak lagi nampak seperti dulu
Ia tak lagi putih seperti dulu
Ada noda yang tak juga mau sirna
Ada noda di dalam dada
Ada noda di dalam segumpal darah
Dan Engkau Maha Tahu bagaimana noda itu bermula
Mengapa mereka tak juga mau mengerti
Mengapa mereka tak juga mau memahami
Engkau Yang Menciptakan manusia ini
Engkau yang membuat kata-kata ini
Engkau pula yang membuat manusia ini menjadi seperti ini
Mengapa tak mereka lihat Engkau saja ya Rabb
Mengapa tak mereka cintai Engkau saja
Mengapa selalu ada kata mengapa di dalam jiwa
Di dalam temaram
Tentramkan jiwa ya Rabb
Tenangkan jiwa
Sendiri tak mengapa
Karena nyata, noda terdahulu belum juga sirna
Karena nyata, segumpal darah itu belum lagi dapat kembali seperti semula
Di dalam temaram
Akan menebus semua dengan apa yang ada
Akan memberikan semua apa yang ku punya
Demi tentram jiwa
Demi tenang jiwa
Diri ini Engkau yang punya
Diri ini Engkau yang miliki kuasa
Maka lakukan apa saja ya Rabb
Maka perbuatlah apa saja
Apa pun itu, agar tenang jiwa, agar tentramlah hati yang berada di dalamnya
Tak ingin berpuisi kepada Sang Maha
Tak juga ingin merangkai kata-kata
Karena kata-kata itu Engkau yang punya
Aku merayu
Aku merayu
Aku merayu
Dengan sepenggal kata-kata yang tak bermakna
Demi perjumpaanku dengan Mu dan entah kapan itu
10 November, hari pahlawan kata seorang teman.
Gamang, dalam diam mencoba berjalan sembari menunggu adzan maghrib dikumandangkan, menunggu waktu berbuka tiba, bukan hal yang istimewa, namun menjadi begitu bermakna manakala ia dilantunkan, permintaan itu diucapkan, dalam lirih meminta diiringi titik-titik yang membasahi ubin kayu camp petrosea ini.
Bontang Kalimantan, hari senin 10 November. Tak perlu manusia yang lain tahu seperti apa yang sedang terjadi di dalam ini, biarkan manusia berkata ‘selalu gembira agaknya’, biarkan semua asumsi-asumsi itu terlontarkan, biarkan semua dugaan-dugaan itu mereka ucapkan.
Allah ciptakan bumi ini begitu luas. Burung-burung itu beterbangan, melayangkan ingatan pada seekor burung yang sempat hinggapi jari-jemari untuk kemudian dilepaskan, tak layak ia berada di dalam sangkar yang menghilangkan kebebasan. Masih dalam diam, duduk diam memperhatikan pemuda-pemuda tanggung yang memang satu camp dengan diri ini, lucu dan terkadang mengurai derai tawa, lumayan sebagai penghilang rasa melankolie yang sedang merayapi hati.
Mari kita tinggalkan mereka, jari-jemari ini dengan senangnya menari-nari di atas tuts-tuts keyboard ini, hingga melahirkan kata-kata yang mewakili betapa melankolie sedang menguasai hati ini. Burung-burung itu beterbangan, membentuk formasi-formasi yang bermakna luar biasa bila manusia mau mempelajari makna apa yang terkandung di dalamnya. Saya manusia, ya saya adalah salah satu dari sekian banyak manusia yang tidak mau belajar dari apa yang ada, dari apa yang Allah tebarkan di dunia di alam raya.
Burung-burung itu terbang tinggi, beramai-ramai tak ada yang sendiri, sekali sendiri, untuk kemudian bersama kembali dengan kawanannya yang terbang ke sana-ke mari. Tapi tak begitu dengan burung elang itu, ia terbang sendiri, ia pergi kemana-mana sendiri, apa ia tak berkawan? Atau memang ia tidak ingin memiliki kawan? Mengapa serasa Elang itu seperti diri, bukan dalam kokoh sayap-sayapnya, bukan pula dalam ketajaman pandangannya, tetapi dalam kesendiriannya, kesendirian dalam pikiran, kesendirian di dalam perjalanan.
Mencoba memahami manusia yang lainnya karena memang nampaknya belum akan ada manusia yang mampu memahami seperti apa jalan pikiran saya. Tak perlu itu, biarkan pikiran-pikiran itu tetap sendiri, biarkan langkah-langkah kaki ini tetap seperti ini, mari mencoba memahami manusia yang lainnya, mari mencoba menjadi pendengar setia meskipun sejatinya tidak pernah ada yang mau mendengarkan jiwa kecuali Allah semata.
Manusia itu lemah, memang begitulah adanya. Maka jadilah yang kuat diantara yang lemah, maka tetaplah berdiri diantara yang tumbang, maka tetaplah tegar diantara yang rapuh, La Tahzan Innallaha ma ana, Innallaha ma ana.
Dalam diam seorang bapak berkata, ‘rumah saya di situ de’, kapan-kapan main saja ke rumah, kalau sedang……’ bapak seperti tahu apa yang sedang terjadi di dalam diri ‘rumah ibu murdiana, itu nama istri saya, saya pulang duluan de’. Taman ini kembali sepi, patung-patung pengabdian itu tetap berdiri dalam diam, matahari senja semakin menuju ke peraduannya, Elang itu tetap terbang sendirian.
Beranjak pergi, melangkahkan kaki, menggegaskan diri, sebentar lagi maghrib tiba, langkah-langkah itu terasa berat, kaki-kaki ini dirasa begitu lelah berjalan, berlari, mencoba berlari agar tenang apa yang ada di dalam diri, agar menguap bersama cucuran keringat, tak jua hilang, belum juga pergi, hanya Sang pemilik jiwa yang mampu mengobatinya, hanya Dia, tidak ada yang lainnya.
Mari menutup pintu-pintu hati, mari menutup bilik-bilik diri, hanya untuk Nya.