Pages

Friday, November 28, 2008

Jamaluddin yang bertanya

Jamaluddin dengan double ’d’ di badge yang terpasang di baju seragam dinasnya. Seperti biasa, mendiamkan diri di salah satu halaman gudang urea yang ada di pabrik ini, UBS V yang dalam bahasa indonesia intinya adalah itu gudang urea nomor V.

Selepas menunaikan sholat ashar, ingin sekedar melepaskan kepenatan sebagai akibat dari kebodohan dan kesombongan sebagai seorang anak manusia yang merasa lebih dari manusia yang lainnya, padahal justru sebaliknya. Mencoba kembali mengayuh sepeda tua milik pak djoko yang belakangan ini setia menemani kemana saja. Gudang urea ini besar, kira-kira hampir mencapai 200 meter atau lebih panjangnya dan lebarnya saya kurang tahu, intinya adalah gudang ini besar, maka patrikan di kepala kalian bahwa gudang yang saya tuju ini memang besar.

Saya parkirkan itu sepeda tua, meletakkan tas ransel dengan segala isinya agar tak begitu sedemikian sehingga membebani punggung yang sudah lelah karena seharian ini selalu dibebani olehnya. Hmmmh, harusnya pandai-pandai bersyukur, dari halaman gudang ini nampak lautan yang biru, nampak pula kapal-kapal yang bersandar, ada yang memuat urea, ada pula yang sedang ’loading ammonia’ begitu katanya.

Tenggelam dalam diam, ditemani MP3 yang baru menjadi kesayangan, ia baru saja menggantikan saudaranya yang lain, yang berwarna biru tua, yang menurut kepala ’self destruction’ si biru merusakkan diri sendiri karena usianya yang tak lagi muda.

Berhenti bercerita tentang MP3 biru tua.

Lama duduk dalam diam, sembari mendekap lutut merasakan betapa seharusnya saya lebih berlutut pada Yang Menciptakan ini lutut, bukannya mendongak dengan pongahnya, berlagak bahwa saya bisa mengalahkan segalanya, sombong sekali rasanya. Masih duduk dalam diam, mencoba menenangkan pikiran dari kesombongan yang membuahkan kepahitan, membuahkan rasa malu pada manusia, lagi-lagi pada manusia, bukan rasa malu pada Yang Menciptakan rasa itu.

Diam itu berubah menjadi sesuatu yang menganggu, mana kala seorang lelaki berseragam biru menghampiri saya yang sedang duduk termangu. Ia mulai bertanya dari mana asal saya, lalu ’jauh ya’ reaksi yang biasa, kemudian ia kembali bertanya, bertanya dan bertanya tentang pertanyaan-pertanyaan yang mulai menjadi pertanyaan yang membosankan. Saya manusia, meskipun mengganggu dirasa, harus tetap sopan saya padanya, karena ia memang layak mendapatkannya.

Mencoba meladeni pria berseragam biru tua berbicara, bercerita, atau curhat lebih tepatnya. Tentang berapa umurnya, dari mana asalnya, alamatnya jalan sekian, nomor sekian, lalu tentang istri yang belum didapatnya hingga sekarang. Hmmmh masya Allah perasaan tidak enak mulai merayap, ada sinyal-sinyal yang saya tidak sukai, bukan karena saya begitu percaya diri, tapi karena ini sudah sering sekali terjadi, dan saya bukanlah anak kecil lagi yang tidak mengerti.

Lelaki berseragam itu mulai bertanya nama, dimana saya tinggal selama 2 bulan ini, MP3 saya hentikan, mencoba menghargai apa yang ia katakan yang ia sampaikan, sembari sesekali melirik pada penunjuk waktu yang menjadi fasilitas dari MP3 ini. Saya mulai tidak tahan, sudah mulai tidak kerasan, waktu merenung, waktu bertafakur, waktu saya berdua, bercerita dengan Nya menjadi terhenti begitu saja ketika lelaki dengan seragam biru tua ini menghampiri lalu mengajak saya bercakap-cakap mendengarkan ceritanya.

Satu menit, sepuluh menit, lima belas menit, sebentar lagi sirine tanda habis jam kerja di pabrik ini akan diperdengarkan. Lelaki berseragam biru tua tetap merasa nyaman, ia nampak tidak melihat gelagat saya yang merasa terganggu karena kedatangannya yang menyita waktu. ’Nama saya Jamaluddin mbak’ begitu terangnya, ya saya tahu, di seragamnya tertera nama dengan jahitan bordir begitu rapinya. Belum menikah, begitu katanya, masih mencari, begitu juga katanya, ia bertanya nama, ya saya beritahu siapa nama saya, ia bertanya saya berapa bersaudara, ya saya beritahu berapa jumlahnya, ia bertanya berapa no handphone saya, ’maaf pak, saya tidak bisa memberikan pada orang yang baru saya kenal’.

Lelaki berseragam biru tua, berumur 28 tahun, bernama jamaluddi dengan double d, berasal dari makassar, berkata ’ya kan biar kenalan mbak, siapa tahu nanti saya ke lampung, karena saya sering keluar kota. Ke sini, ke sana, ke situ...bla..bla..bla’ ia menceritakan semua, entah dengan maksud apa, saya tidak tahu. Lalu, penghasilan sekian, pulang-pergi dengan pesawat terbang, lalu ’jangan panggil saya bapak, saya masih muda mbak’, ’oh maaf pak, itu hanya sebutan hormat saya, lagi pula bapakkan bekerja di sini, makanya saya panggil bapak’ begitu kira-kira jawab saya saat itu.

Akhirnya ’saya pulang dulu pak, sudah sore’, sepeda tua itu pun nampak merasa sudah tidak betah lagi berada di gudang yang tadinya nyaman, saya mencoba menggiringnya, kemudian ’nanti dulu, no handphonenya saja belum dikasih’ saya hanya tersenyum saja, lalu ’siapa tahu mau saya belikan oleh-oleh atau apa gitu mbak’, hmmmh lelaki dengan seragam biru tua. ’wah ndak usah pak, terima kasih banyak, assalammu’alaikum’. Saya pun pergi meninggalkan lelaki seragam biru tua, 28 tahun, jamaluddin namanya dengan double d, berasal dari makassar ia.

Saya tidak tertarik dengan penghasilan perbulannya yang berjuta-juta, tidak pula tertarik dengan ia yang kemana-mana ’naik pesawat’ begitu katanya, saya pun tidak tertarik dengan tawarannya akan oleh-oleh gratis untuk keluarga saya di sana, di sumatera. Akhirnya saya tinggalkan ia, MP3 yang baru menjadi kesayangan, menemani hati dengan volume tinggi. Hmmmh, menarik nafas panjang, mengembuskannya perlahan, mengayuh sepeda tua yang didapat dari pinjaman.

Jamaluddin dengan double d, jamaluddin yang bertanya, jamaluddin security KPI, dan kisah jamaluddin ini terhenti sampai di sini.